Erfaldi, Demonstran di Parigi Moutong, Terbukti Tewas Ditembak Polisi
Penembakan demonstran di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, terbukti dilakukan polisi. Hal ini membuktikan pelanggaran prosedur pengamanan unjuk rasa yang melarang aparat membawa senjata api dan peluru tajam.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji balistik yang dilakukan Polda Sulawesi Tengah terhadap proyektil senjata api di lokasi unjuk rasa di Parigi Moutong, Sulteng, menemukan bukti bahwa penembakan terhadap salah satu demonstran, Erfaldi (21), dilakukan oleh Brigadir Kepala H. Seluruh jajaran kepolisian diingatkan untuk mengamankan unjuk rasa sesuai prosedur, yakni dilarang membawa senjata api berpeluru tajam.
Dari temuan itu, Bripka H ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Bripka H merupakan bintara di Polres Parigi Moutong yang saat peristiwa terjadi bertugas mengamankan unjuk rasa.
Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal (Irjen) Rudy Sufahriadi di sela-sela Rapat Pimpinan Polri di Jakarta, Rabu (2/3/2022), mengatakan, pihaknya telah menuntaskan uji balistik terhadap proyektil yang ditemukan di lokasi unjuk rasa di Parigi Moutong, pertengahan Februari lalu. Hasilnya ditemukan bahwa proyektil tersebut identik dengan anak peluru dan proyektil pembanding yang ditembakkan dari senjata organik, pistol HS9 bernomor seri H239748, atas nama pemegang Bripka H.
Selain uji balistik, Polda Sulteng juga memeriksa DNA dari sampel darah di proyektil di laboratorium forensik. Pemeriksaan menunjukkan DNA identik dengan darah Erfaldi yang tewas dalam unjuk rasa itu. ”Karena itu, penyidik telah menetapkan Bripka H sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu barang siapa karena kesalahannya, kealpaannya, menyebabkan orang lain meninggal dunia, diancam dengan pidana lima tahun penjara,” papar Rudy.
Ia menambahkan, hingga saat ini penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Sulteng telah memeriksa 14 saksi, termasuk Bripka H. Adapun barang bukti yang disita adalah satu butir proyektil, sebuah jaket kuning, sebuah kaus biru dongker, dan tiga selongsong peluru.
Rudy menegaskan, pihaknya akan bekerja secara profesional. Anggota Polri yang terbukti bersalah dan melanggar prosedur standar operasi akan ditindak tegas.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, uji balistik merupakan pembuktian secara ilmiah terhadap dugaan peristiwa pidana yang terjadi saat unjuk rasa di Parigi Moutong. Unjuk rasa tersebut mengakibatkan satu demonstran bernama Erfaldi tewas dengan luka tembak.
Uji balistik merupakan pembuktian secara ilmiah terhadap dugaan peristiwa pidana yang terjadi saat unjuk rasa di Parigi Moutong. Unjuk rasa tersebut mengakibatkan satu demonstran bernama Erfaldi tewas dengan luka tembak.
Taati prosedur
Peristiwa ini, kata Dedi, menjadi evaluasi bagi seluruh polres dan polda mengenai implementasi prosedur standar operasi pengamanan unjuk rasa. Sesuai standar yang berlaku, semua anggota Polri yang bertugas mengamankan unjuk rasa tidak diperbolehkan membawa senjata api dan peluru tajam.
Standar yang dimaksud mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Perkap No 16/2006 disebutkan bahwa anggota satuan pengendalian massa dalam unjuk rasa dilarang melakukan delapan hal. Salah satunya membawa senjata tajam dan peluru tajam.
”Sesuai dengan SOP (prosedur standar operasi), dalam pengamanan dan pelayanan pengunjuk rasa, semua anggota Polri tidak diperbolehkan membawa senjata api dan peluru tajam,” kata Dedi.
Oleh karena itu, ia meminta seluruh jajaran kepolisian untuk menaati peraturan dan prosedur standar operasi yang berlaku. Pimpinan Polri berkomitmen untuk menindak tegas semua anggota yang melanggar. ”Apabila dilanggar, ada konsekuensinya, ditindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Unjuk rasa yang dimaksud merupakan aksi penolakan tambang emas yang dilakukan warga di Parigi Moutong pada Sabtu (12/2/2022). Demonstrasi itu dibubarkan polisi karena memblokade jalan Trans-Sulawesi pada Minggu (13/2/2022) pukul 12.00 hingga pukul 24.00. Pembubaran berakhir ricuh, kemudian salah satu pengunjuk rasa tewas dengan luka tembak.
Unjuk rasa yang berujung tewasnya satu demonstran ini memicu kecaman dari berbagai pihak. Komisi III DPR pun mendalaminya secara langsung ke tempat kejadian hampir sepekan setelahnya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Obon Tabroni, mengatakan, siapa pun yang terbukti menembak berdasarkan hasil uji balistik harus diproses hukum. Selain itu, kepolisian ke depan harus mematuhi prosedur yang dibuat untuk pengendalian massa dan unjuk rasa. ”Jangan tiba-tiba di situasi yang masih memungkinkan untuk dialog, lalu ditertibkan dengan senjata api atau peluru tajam,” katanya.
Periksa atasan
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengapresiasi upaya Polri untuk mengungkap kasus penembakan demonstran dengan metode scientific crime investigation. Metode tersebut terbukti efektif untuk menemukan pelaku yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun, penegakan hukum tak boleh berhenti pada penembak. Diperlukan pula pemeriksaan terhadap pimpinan operasional pengamanan unjuk rasa. Sebab, mereka wajib memeriksa senjata yang dibawa para anggota saat bertugas agar sesuai dengan prosedur. Ia menduga ada pimpinan yang luput untuk melakukannya.
”Kami merekomendasikan agar atasan langsung yang lalai membiarkan pelaku membawa senjata api berpeluru tajam dapat diperiksa dan dijatuhi sanksi,” kata Poengky.
Penegakan hukum tak boleh berhenti pada penembak. Diperlukan pula pemeriksaan terhadap pimpinan operasional pengamanan unjuk rasa.
Pemeriksaan senjata api dan peluru tajam yang dibawa oleh aparat saat mengamankan unjuk rasa, kata Poengky, ke depan juga harus digencarkan. Tidak bisa dimungkiri, emosi aparat rentan terpancing saat menghadapi banyak demonstran selama berjam-jam, apalagi aksi tidak berlangsung damai. Oleh karena itu, mereka dilarang membawa peluru tajam.
Terlebih, penembakan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa bukan pertama kali terjadi. Catatan Kompas, setidaknya hal itu juga terjadi saat demonstrasi menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi di Kendari, Sulawesi Tenggara, September 2019. Dua mahasiswa pengunjuk rasa tewas dalam unjuk rasa, salah satunya terbukti karena tertembak aparat.