Reuni Jokowi-JK di Poso dan Ikhtiar Mencegah Konflik Terulang
Jokowi-JK kembali berdampingan saat meresmikan sejumlah PLTA di Poso serta meninjau vaksinasi Covid-19 di Poso. Meski tak lagi bersama-sama memimpin pemerintahan, relasi keduanya masih terjalin erat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO, MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
·5 menit baca
Untuk pertama kalinya, Presiden Joko Widodo menginjakkan kaki di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kunjungan kerja di wilayah yang pernah dilanda konflik agama ini kian berkesan karena Presiden Jokowi kembali reuni dengan Jusuf Kalla, pendamping Jokowi di periode pertama pemerintahannya.
Sejak Kamis (24/2/2022) sore, Presiden Jokowi bertolak menuju Sulawesi Tengah. Dalam kunjungan kerja kali ini, Presiden meninjau kegiatan vaksinasi Covid-19 di Kota Palu dan Poso. Presiden juga meresmikan sejumlah pembangkit listrik tenaga air (PLTA) PT Poso Energy dengan kapasitas 515 megawatt di Poso yang dikerjakan oleh Kalla Group.
Setibanya di helipad PLTA Poso Energy, Jumat (25/2/2022), Jusuf Kalla langsung menjemput Presiden. Kehangatan di antara keduanya langsung terasa. Jokowi-JK lantas bersama-sama melihat ruang kendali PLTA Poso Energy sebelum ke lokasi peresmian PLTA.
Seusai acara peresmian, JK menemani Presiden meninjau vaksinasi Covid-19 yang digelar di ruang serba guna PLTA Poso Energy. ”Pak JK satu mobil dengan Pak Jokowi waktu menjemput dan mengantarkan dari dan ke helipad. Jadi bisa dikata memang mesra keduanya di Poso,” ujar juru bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah.
Keakraban tersebut seakan menyambung sejumlah pertemuan JK dengan Presiden Jokowi kendati JK sudah tak mendampingi sebagai wakil presiden.
Pada 11 Oktober 2021, misalnya, JK sempat bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta. Sebelumnya setidaknya terdapat tiga pertemuan lain antara JK dan Presiden Jokowi. Pertemuan itu terjadi pada awal 2020 saat Covid-19 mulai masuk Indonesia, pada pertengahan Juni, dan kemudian pertemuan pada November 2020.
Dalam pidato ketika meresmikan PLTA, Presiden Jokowi mengapresiasi pembangunan PLTA di sejumlah daerah di Tanah Air yang bermanfaat untuk mendukung transformasi energi baru terbarukan. Presiden menyebut, Indonesia memiliki potensi besar di energi hijau, baik dari hidro, geotermal, tenaga surya, angin, maupun panas permukaan air laut.
”Sekali lagi sangat menghargai, mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan oleh Kalla Group dalam hal membangun hydropower, baik yang ada di Sulawesi Tengah maupun yang nanti juga akan selesai di Mamuju dan di Kerinci di Jambi,” ujar Presiden Jokowi yang pada kesempatan tersebut juga meresmikan PLTA PT Malea Energy dengan kapasitas 90 megawatt yang terletak di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Cegah konflik
Membuka sambutannya, JK yang sekaligus pendiri Kalla Group menyampaikan sejarah berdirinya PLTA tersebut. ”Pada tahun 2000 sampai 2001, Poso berhasil menyelesaikan konfliknya dengan baik, dengan dialog. Pertanyaan kemudian, bagaimana mencegah konflik itu apabila kegiatan masyarakat ekonomi tidak berjalan?” ucapnya.
Berangkat dari upaya untuk menyejahterakan masyarakat dengan pemenuhan kebutuhan energi ini, Kalla berupaya mencari jalan keluar untuk turut terlibat meningkatkan ekonomi daerah. ”Maka, salah satu upaya kami berpikir kekurangan di Sulawesi Tengah di antaranya kebutuhan listrik yang tidak bisa menggerakkan industri ataupun rumah tangga masyarakat secara khusus,” tambahnya.
Melongok sejarah ke belakang, JK menjadi tokoh yang berperan besar dalam penyelesaian konflik Poso yang berlangsung dalam rentang tahun 1998-2001.
Seperti ditulis di harian Kompas pada 14 Desember 2012, sejak Indonesia merdeka, terjadi 15 konflik besar dengan korban tewas lebih dari 1.000 jiwa. Dari 15 konflik besar tersebut, 11 konflik diselesaikan dengan perang dan hanya 4 konflik yang diselesaikan melalui mediasi.
”Cara mediasi perlu didorong. Sebab, ini menjadi solusi pencapaian kesepakatan yang bermartabat bagi pihak-pihak yang sedang bertikai,” ujar Kalla dalam Seminar dan Rembuk Nasional Mediator bertajuk ”Peace Within Conflict Solution” di Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (13/12/2012).
Menurut Kalla, konflik umumnya disebabkan ketidakadilan, seperti yang terjadi di Poso. ”Di tengah konflik, dibutuhkan mediator yang benar-benar mengetahui dan menjiwai persoalan serta tahu solusinya apa. Saat para pihak yang berkonflik membuat kesepakatan, mediator harus bersikap netral,” ujarnya.
Seperti diberitakan harian Kompas pada Jumat, 21 Desember 2001, pihak Muslim ataupun Kristiani yang terlibat langsung dalam konflik di Poso sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Pernyataan tersebut tertuang dalam sepuluh butir kesepakatan Deklarasi Malino untuk Poso yang dibacakan Jusuf Kalla yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Kalla pun memiliki pandangan mengenai arti penting keadilan dan kemakmuran untuk mencegah konflik. Pandangan itu sempat disuarakan dalam diskusi publik lewat Twitter Spaces Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini dengan tema ”Cak Nur, Pancasila, dan Indonesia yang Adil”, Jumat (14/1/2022).
Kalla menuturkan, dari sejumlah pengalamannya menyelesaikan konflik, pemicu utama konflik adalah ketidakadilan. ”Konflik di Aceh, contohnya, itu bukanlah tentang bagaimana syariat Islam dilaksanakan karena memang sudah dilaksanakan oleh masing-masing. Tetapi, (konflik) itu karena rasa tidak adil dalam ekonomi. Di Aceh banyak sumber daya alam, tetapi masyarakat tidak menikmati kemakmuran itu, kekayaan itu, dengan baik,” ujarnya.
Demikian pula pada konflik Poso dan konflik Ambon ada ketidakadilan dalam hal politik. Mundur beberapa dekade ke belakang, semua konflik kedaerahan seperti peristiwa PRRI dan Permesta pun dapat diselesaikan apabila ada keadilan.
Pencapaian keadilan ini harus diupayakan dengan manajemen pemerintahan yang baik. Bidang ekonomi dan sosial merupakan pendorong utama kemajuan karena dapat memakmurkan masyarakat.
Kembali ke Poso, peresmian PLTA menjadi salah satu jalan untuk meretas ketidakadilan ekonomi sehingga konflik tidak pecah kembali. Tak hanya Kalla, Gubernur Sulawesi Tengah H Rudy Mastura menekankan pula hal ini.
”Listrik adalah kebutuhan masa depan Sulawesi Tengah. Tanpa energi, kita tidak bisa mendorong industri untuk bergerak. Karena itu, daya dukung energi menjadi kunci bagi masa depan Sulawesi Tengah, bahkan dunia,” tambah Rudy.
Kehadiran PLTA juga diyakini akan menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat. ”Bahwa Poso bukan hanya dikenal sebagai daerah konflik, tetapi Poso adalah sumber energi baru yang menerangi Sulawesi Tengah, bahkan nasional,” ucap Rudy.
Agar rakyat bisa hidup dengan tenang dan sejahtera, filsuf China, Lao Zi, dalam bukunya yang terkenal, Dao De Jing, menulis konsep bagaimana seharusnya pemimpin sejati (sheng ren) mengelola negara dan mengurus rakyatnya. Lao Zi, yang hidup sekitar 500 tahun sebelum Masehi, menyebut bahwa pemimpin sejati, antara lain, harus mampu mencukupi kebutuhan sandang-pangan rakyatnya agar tubuh mereka hangat dan perut mereka kenyang.
Apabila seluruh kebutuhan dasar itu terpenuhi, rakyat hidup tenang dan tidak akan punya pikiran macam-macam. Ketika kesejahteraan di Bumi Sintuwu Maroso—yang dalam bahasa masyarakat Poso berarti ikatan persaudaraan yang kuat—tercapai, diharapkan warisan konflik masa lalu tak lagi tersulut pada masa mendatang.