Presiden: Istana Negara dan 4 Kementerian Pindah 2024
Selain Istana Negara, empat kementerian akan pindah ke ibu kota negara yang baru di fase awal. Pemindahan ibu kota negara menjadi strategi baru pemerataan ekonomi dan magnet bagi talenta-talenta digital.
Oleh
SUTTA DHARMASAPUTRA, HELENA FRANSISCA NABABAN, DIAN DEWI PURNAMASARI, SUCIPTO, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS - Megaproyek pemindahan ibu kota negara akan dilaksanakan secara bertahap dan diperkirakan membutuhkan waktu sekitar 15 hingga 20 tahun. Pada fase awal, pada 2024, Istana Negara dan empat kementerian akan berpindah ke ibu kota negara baru yang berlokasi di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Keempat kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Sekretaris Negara. Presiden Joko Widodo menyampaikan hal itu saat berbincang-bincang dengan pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Rabu (19/1/2022).
Presiden menegaskan, pemindahan ibu kota negara (IKN) jangan hanya dilihat sebagai pemindahan gedung dan pembangunan fisik semata. Yang terpenting justru membangun pola pikir baru, yakni adanya pusat pemerintahan yang berbasis inovasi dan teknologi, serta hijau.
Rumah sakit dan universitas dengan reputasi internasional pun akan segera difasilitasi di sana, termasuk pembangunan basis mahadata. ”Kita ingin ibu kota negara baru menjadi magnet bagi talenta-talenta digital untuk melakukan banyak inovasi,” kata Presiden.
Pemindahan IKN juga menjadi strategi baru pemerataan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang tak lagi bertumpu di Jawa. ”Sekarang ini beban besar di Jawa,” ujarnya.
Suku-suku adat setempat juga akan mendapat perhatian. Menurut Presiden, mereka memang sempat khawatir akan ditinggal. Akan tetapi, pemerintah akan memperhatikan dengan sebaik-baiknya. ”Saya sudah bicara dengan ketua-ketua adat di sana,” ujar Presiden.
Presiden meyakini bahwa megaproyek ini akan berkelanjutan meski kelak pemerintahan berganti, mengingat pemindahan IKN ini didasarkan pada undang-undang. Hal ini bukan kebijakan presiden semata dan sudah disetujui DPR meski satu fraksi, yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menolaknya. ”Kita punya spirit yang sama,” ujarnya.
Mengenai siapa yang akan ditunjuk sebagai Kepala Pemerintahan Khusus IKN, Presiden Jokowi belum menyebutkan nama. Namun, Presiden menyebutkan sejumlah kriteria. ”Mungkin yang punya latar belakang arsitek. Yang pernah memimpin daerah bisa lebih baik lagi. Kita harapkan begitu, tetapi kenyataannya bisa lain,” ujar Presiden seraya tertawa memberikan sejumlah sinyal.
Argumentasi hukum
Terkait otorita sebagai bentuk pemerintahan di IKN, peneliti otonomi daerah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mardyanto, meminta pembentuk UU, pemerintah dan DPR, mampu menghadirkan argumentasi hukum yang kuat jika bentuk pemerintahan itu diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Meski pembentuk UU telah mendasarkan bentuk pemerintahan itu pada Pasal 18 dan Pasal 18 B UUD 1945, maknanya bisa jadi berbeda dengan maksud konstitusi.
”Kekhususan daerah itu larinya bukan ke situ. Sebab, sekalipun dia merupakan daerah khusus atau istimewa, dia masih memiliki otonomi, baik secara politik, fiskal, maupun administratif. Berbeda dengan konsep pemerintahan IKN yang menunjukkan tidak adanya otonomi sendiri,” ujarnya.
Dalam RUU IKN yang telah disetujui disahkan DPR, Selasa (18/1), otorita IKN akan dipimpin pejabat setingkat menteri yang ditunjuk oleh presiden, bukan dipilih rakyat. Tak ada DPRD ataupun pilkada di IKN.
Uji konstitusionalitas UU IKN kini tengah didiskusikan sebagai opsi oleh sejumlah akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda. Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai, DPR dan pemerintah cenderung memaksakan pengesahan RUU IKN. Itu terlihat dari waktu pembahasan yang singkat, yakni 43 hari, ditambah lagi minimnya partisipasi publik.
Salah satu pasal yang dipersoalkan di RUU IKN adalah Pasal 10 yang mengatur masa jabatan kepala dan wakil kepala otorita IKN. Pasal itu, kata Herdiansyah, tidak membatasi masa jabatan pemimpin IKN. Penunjukan yang hanya bisa dilakukan presiden juga minim partisipasi publik karena bergantung pada selera dan penilaian subyektif presiden.
Penolakan atas pengesahan RUU IKN juga disuarakan Koalisi Masyarakat Kaltim Menolak IKN. Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menilai, pembahasan RUU IKN cacat prosedural, salah satunya karena minim partisipasi publik. Meski sebelumnya pernah digelar konsultasi publik RUU IKN, acara itu tertutup, terbatas, dan tak melibatkan warga yang terdampak langsung.
”Pemerintah melakukan kesalahan yang sama seperti saat pengesahan omnibus law (RUU Cipta Kerja),” ujar Rupang.