Polisi Tahan Ferdinand Hutahaean, DPR Ingatkan Publik Bijak Bermedia Sosial
Bareskrim Polri menetapkan eks politisi Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean, sebagai tersangka ujaran kebencian atas cuitannya di media sosial yang bernada SARA. Ia ditahan di Rutan Mabes Polri sejak Senin malam.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Ferdinand Hutahaean sebagai tersangka ujaran kebencian. Pegiat media sosial itu terancam hukuman penjara 10 tahun karena sebuah cuitan bernada suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA di media sosial.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan menjelaskan, Tim Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri melanjutkan penyidikan dugaan ujaran kebencian di media sosial yang dilakukan Ferdinand Hutahaean. Seusai memeriksa 17 saksi dan 21 saksi ahli, pihaknya juga memeriksa Ferdinand pada Senin (10/1/2022). Pemeriksaan yang dilakukan selama 11 jam atau pada pukul 10.30-21.30 itu dilanjutkan dengan gelar perkara.
”Setelah gelar perkara, tim penyidik telah mendapatkan dua alat bukti sesuai dengan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga menaikkan status FH dari saksi menjadi tersangka,” kata Ramadhan dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/1/2021). Bukti yang dimaksud berupa dua keping cakram penyimpan data (DVD), tangkapan layar cuitan di media sosial, serta ponsel milik Ferdinand.
Ferdinand dijerat Pasal 14 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Pasal 45 Ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari sejumlah pasal tersebut, ancaman hukuman maksimal yang diterima Ferdinand adalah 10 tahun penjara.
Ramadhan mengatakan, Ferdinand ditahan di Rumah Tahanan Mabes Polri Cabang Jakarta Pusat sejak semalam hingga 20 hari ke depan. Penahanan diperlukan karena alasan subyektif polisi, yakni dikhawatirkan tersangka akan melarikan diri, mengulangi penyebaran ujaran kebencian, dan menghilangkan barang bukti. Adapun secara obyektif, penahanan dilakukan karena ancaman hukuman yang dikenakan kepada Ferdinand adalah penjara di atas lima tahun.
Menurut Ramadhan, pemeriksaan berjalan lancar saat Ferdinand masih berstatus saksi. Namun, ketika telah ditetapkan sebagai tersangka, pegiat media sosial itu menolak pemeriksaan lanjutan dengan alasan kesehatan. ”Hasil pemeriksaan dokter dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri pun menunjukkan Ferdinand dalam kondisi sehat sehingga layak dilakukan penahanan,” katanya.
Sebelumnya, ketika tiba di Bareskrim Polri untuk menjalani pemeriksaan pada Senin siang, Ferdinand mengaku membuat cuitan yang saat ini dipersoalkan dalam keadaan sakit. Selain itu, cuitan yang ia buat itu untuk diri sendiri dan tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak tertentu. ”Saya membawa salah satunya riwayat kesehatan saya, yang memang inilah penyebabnya bahwa yang saya sampaikan kemarin bahwa saya itu menderita sebuah penyakit sehingga timbullah percakapan antara pikiran dan hati,” ujarnya.
Kasus yang melibatkan Ferdinand bermula dari cuitan bernada SARA yang ia buat dan sebarkan melalui akun Twitter @FerdinanddHaean3 pada awal Januari. Cuitan tersebut memicu pelaporan ke Bareskrim Polri oleh Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Laporan diproses dengan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk Ferdinand.
Bijak bermedia sosial
Menanggapi penetapan Ferdinand, mantan politisi Partai Demokrat, sebagai tersangka ujaran kebencian, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Ahmad M Ali, meminta seluruh pihak lebih bijak dalam bermedia sosial. Media sosial bukan tempat untuk mengeluarkan pendapat pribadi yang bersinggungan langsung dengan kepercayaan orang lain atau terindikasi mengandung unsur kebencian dan SARA.
Ali menambahkan, kasus yang menimpa Ferdinand perlu menjadi pelajaran bagi semua pihak. Ruang publik tidak semestinya diisi dengan pendapat yang bisa memicu perpecahan dalam semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
”Ini yang harus betul-betul kita hindari. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Maka itu, opini yang memuat kebencian dan SARA bisa mengganggu keinginan kita tetap bersatu,” ujarnya.
Meski yakin atas kinerja Polri yang didasarkan pada bukti kuat terhadap unsur pidana, Ali meminta agar proses hukum yang dilakukan terhadap Ferdinand tetap dilakukan secara transparan. Publik perlu mengetahui perkembangan pengusutan kasus ini sehingga tidak ada lagi dampak buruk yang berkembang, baik di tengah masyarakat maupun warganet, karena kasus ini.