YLBHI: Kondisi Hukum dan HAM Tak Kunjung Membaik, Perlu Parlemen Jalanan
YLBHI menilai orientasi pemerintah pada pembangunan skala besar menyebabkan tidak ada perubahan positif dalam penegakan HAM di Indonesia. Selama 2021, contohnya, terjadi serangan terhadap pembela HAM sebanyak 42 kasus.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Tangkapan layar konferensi pers ”Peluncuran Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia YLBHI 2021: Oligarki, Pandemi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, Jumat (31/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mencatat kondisi hukum dan hak asasi manusia sepanjang 2021 tidak ada perbaikan yang signifikan. Karena institusi legislatif dan eksekutif dinilai tidak lagi mendengar suara rakyat, maka upaya perbaikan dinilai hanya mungkin dilakukan melalui parlemen jalanan.
Dalam ”Peluncuran Laporan Hukum dan Hak Asasi Manusia YLBHI 2021: Oligarki, Pandemi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia”, Jumat (31/12/2021), YLBHI merilis laporan yang merupakan kompilasi dari 17 kantor lembaga bantuan hukum (LBH) yang ada di seluruh Indonesia.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rahma Mary mengatakan, sepanjang 2021 terdapat 2.598 pengaduan yang masuk ke kantor-kantor LBH di seluruh Indonesia. Dari berbagai pengaduan tersebut, terdapat berbagai jenis pelanggaran, yakni pelanggaran hak sipil (34 persen), hak atas pekerjaan (24 persen), peradilan yang adil (16 persen), hak perempuan dan anak (12 persen), lingkungan hidup (9,3 persen), hak hidup (6 persen), hak agraria (4 persen), dan hak politik (2,1 persen).
”Situasi hak asasi manusia di tengah pandemi tidak banyak berubah. Dari catatan kami, 2021 diawali kriminalisasi 3 buruh di Surabaya karena unjuk rasa. Di tingkat nasional, pemerintah terus membuat kebijakan yang melanggar HAM. Lalu DPR yang tidak peduli dengan tidak disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan represi terhadap pengunjuk rasa yang terus dilakukan khususnya di Papua,” kata Rahma.
Polisi melakukan olah tempat kejadian perkara terkait pelemparan bom molotov di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, Sabtu (18/9/2021) sore.
Dalam pelanggaran hak sipil, YLBHI mencatat terdapat 104 kasus. Dari kasus yang terjadi, didominasi oleh pelanggaran hak berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum. Bentuknya berupa penyiksaan, penangkapan paksa, dan penghilangan nyawa. Selain itu, dalam merespons aksi unjuk rasa, aparat keamanan melakukan pembubaran paksa disertai kekerasan fisik, seperti pemukulan, penangkapan, penahanan yang kemudian berujung pada kriminalisasi.
Dalam bidang lain, terjadi pelanggaran hak hidup yang terekam melalui konflik agraria. Menurut Rahma, YLBHI menilai bahwa baik kasus-kasus pertanahan yang lama maupun kasus yang baru tidak ada kemajuan penelesaian yang berarti.
YLBHI menilai, yang terjadi justru pemerintah menjadi pelaku dengan perampasan tanah dengan mengatasnamakan pembangunan atau proyek strategis nasional.
YLBHI menilai, yang terjadi justru pemerintah menjadi pelaku dengan perampasan tanah dengan mengatasnamakan pembangunan atau proyek strategis nasional. Di sisi lain, rencana proyek tidak melibatkan masyarakat dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Dari seluruh kasus ini penegakan hukum dan pengawasan pemerintah justru sangat lemah. Sebaliknya, pemerintah justru memberikan izin dan membiarkan aktivitas yang merusak itu terus berjalan,” tutur Rahma.
Kendaraan melintasi peserta aksi unjuk rasa damai memperingati Hari Anti Tambang 2021 di depan Markas Polda Kaltim di Balikpapan, Sabtu (29/5/2021).
Pelanggaran lain yang dicatat YLBHI adalah pelanggaran peradilan yang adil (fair trial). Ketua Umum YLBHI terpilih periode 2022-2026, Muhammad Isnur, mengatakan, dari kasus yang terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Semarang dapat disimpulkan bahwa praktik penyiksaan masih terus berlangsung dan tidak ada perbaikan meski selama ini telah menjadi sorotan. Hal itu diperparah dengan pelaku penyiksaan tidak dikenai sanksi atau terjadi impunitas.
Demikian pula pada 2021, terjadi penangkapan terhadap 8 pengabdi bantuan hukum (PBH) dan serangan terhadap pembela HAM sebanyak 42 kasus. Bentuk serangan terhadap pembela ham yakni, kriminalisasi, ancaman kriminalisasi, teror bom, intimidasi, dan penyiksaan.
Terhadap pelanggaran hak perempuan dan anak, situasi yang dihadapi korban adalah proses hukum yang tidak berpihak kepada korban, minim akses ruang aman, serta korban yang tidak berani bersuara. Karena korban kekerasan terhadap perempuan yang masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan proses hukum, maka RUU Penghapusan Kekerasan Seksual relevan untuk terus didorong pengesahannya.
Untuk pelanggaran hak atas pekerjaan, kebanyakan pengaduan berasal dari wilayah kota yang kawasan industrinya berkembang, yakni sekitar jakarta, Surabaya, Palembang, Semarang, dan Makassar. Selama pandemi, banyak buruh menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) yang didominasi PHK sepihak. Isu lain yang mengemuka adalah upah murah yang sangat terkait dengan agenda pembangunan ekonomi dan perluasan kawasan industri.
Pengunjuk rasa membawa spanduk ”Tolak Omnibus Law” di depan Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/10/2020). Unjuk rasa berlangsung dengan tertib dan damai.
Terkait dengan hak politik, modus pelanggaran yang terjadi adalah tidak melibatkan masyarakat, hanya melibatkan golongan yang setuju mengabaikan tuntutan masyarakat, hingga kriminalisasi terhadap peserta demonstrasi. Setidaknya terjadi kriminalisasi pada 20 demonstran yang menolak UU Cipta Kerja.
Dalam kesimpulan, Rahma mengatakan, tidak adanya perubahan positif dalam kondisi HAM di Indonesia disebabkan orientasi pemerintah melakukan pembangunan skala besar. Sementara orientasi pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, bukan pemerataan ekonomi.
Selain itu, pemberlakuan UU Cipta Kerja dan UU Minerba telah merampas hak-hak rakyat atas agraria dan lingkungan hidup. Di sisi lain, militerisme dan militerisasi justru menguat, yang terwujud dalam kebijakan dan hukum terkait operasi militer yang ilegal di Papua hingga penanganan Covid-19.
Pemberlakuan UU Cipta Kerja dan UU Minerba telah merampas hak-hak rakyat atas agraria dan lingkungan hidup.
Menurut Ketua Umum YLBHI 2017-2021 Asfinawati, YLBHI memberikan rekomendasi gerakan terhadap kesimpulan tersebut, antara lain reformasi peradilan, perubahan sistem politik, pemcabutan UU Cipta Kerja dan UU Minerba, serta demiliterisasi dan demiliterisme berbagai sektor. Namun, karena institusi legislatif maupun eksekutif tidak mendengar suara rakyat, rekomendasi tersebut hanya bisa diwujudkan melalui gerak rakyat bersama-sama.
”Perubahan-perubahan di atas hanya mungkin dilakukan melalui parlemen jalanan. Dalam hal ini, rakyat perlu memperkuat solidaritas untuk gerak bersama perubahan ini,” kata Asfinawati.