Sepanjang tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengidentifikasi lebih dari 600 situs berpotensi menyebarkan konten radikal. Generasi muda jadi target.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun tren aksi terorisme di Indonesia cenderung menurun, proses radikalisasi melalui penyebaran konten radikal di internet semakin menguat. Terkait dengan hal itu, kontranarasi terfokus dengan bahasa yang mudah dipahami anak muda harus terus dilakukan, selain menempuh penegakan hukum.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar dalam Pernyataan Pers Akhir Tahun BNPT, Selasa (28/12/2021), mengatakan, fenomena pelaku teror individu masih menjadi perhatian khusus BNPT. Sebab, pelaku teror mengalami radikalisasi melalui dunia maya yang kemudian menjadikannya sebagai sosok berbahaya yang siap melakukan aksi teror.
”Fenomena mengikuti pelatihan di dunia maya tentu berbahaya. Maka kami antisipasi, mulai dari level keluarga dilakukan literasi digital bagi masyarakat sehingga tidak mudah percaya dengan narasi-narasi terkait terorisme,” katanya.
Sejak Januari hingga Desember 2021, lebih dari 600 situs atau akun yang berpotensi radikal telah diidentifikasi BNPT untuk kemudian dihapus (take down) melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Situs yang dihapus itu berisi konten propaganda dengan rincian informasi serangan (409), anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (147), anti-Pancasila (85), intoleran (7), dan takfiri (2). Selain itu, juga terdapat konten mengenai pendanaan dan pelatihan terorisme.
Menurut Boy Rafli, konten tersebut merupakan propaganda yang terus berlangsung. Oleh karena itu, dia memastikan BNPT juga akan terus mengantisipasinya. Jika terdapat konten yang mengarah pada pelanggaran hukum, BNPT akan menghubungkannya dengan penyidik Badan Reserse Kriminal Polri, juga dengan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
”Selama masa pandemi, tren terorisme cenderung mengecil. Namun, tetap ada ancaman melalui media digital. Radikalisasi itu menyasar anak muda karena telah menggunakan media digital, demikian pula propaganda terorisme menggunakan media digital,” ujar Boy Rafli.
Masih dalam upaya pencegahan, BNPT juga melakukan upaya kontra-radikalisasi melalui publikasi dan melalui platform media sosial. Selain itu, BNPT juga melibatkan masyarakat melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme yang ada di 32 provinsi.
Di bidang penegakan hukum, lanjut Boy Rafli, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menindak 364 orang. Dari jumlah itu, 332 orang diperiksa dan disidik, 3 orang dilimpahkan ke pidana umum, 13 orang meninggal dunia, dan 16 orang dipulangkan.
Dari sisi afiliasi jaringan teroris, 178 orang terafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI), 154 orang terafiliasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD), 16 orang terafiliasi dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dan jaringan lainnya.
Selain itu, BNPT telah turut serta merilis Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Tahun 2021. Di dalamnya tercatat beberapa modus pendanaan di Indonesia, yakni memanfaatkan kotak amal dan sumbangan, menggalang dana melalui bisnis lokal, penjualan aset pribadi, pengumpulan dana oleh individu yang bekerja di luar negeri, serta pengumpulan dana dengan memanfaatkan media sosial dengan skema ponzi atau MLM.
”Jadi, kegiatannya tercatat, bahkan berizin. Namun, dalam praktiknya terjadi penyimpangan. Siapa yang melakukan penyimpangan? Pengurus-pengurusnya,” kata Boy Rafli.
Mengenai kombatan pelintas batas (FTF), pada 2021 BNPT telah memulangkan 13 Warga Negara Indonesia (WNI) yang dideportasi dari beberapa negara. Sebanyak 3 orang telah dipulangkan ke daerah asal, 10 orang lainnya masih menjalani proses deradikalisasi.
Secara terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar berpandangan, ancaman narasi terorisme terbesar saat ini adalah dari internet. Jika pada masa sebelum pandemi Covid-19 penyebaran paham radikal sudah banyak dilakukan melalui internet, khususnya medsos, pada masa pandemi, penyebaran melalui internet sudah mencapai 80 persen.
”Jadi, transmisi pengetahuan, epistemologi, dan ide-ide radikal dilakukan melalui media sosial dan kini sudah sangat lazim,” kata Al Chaidar.
Oleh karena itu, Al Chaidar menilai, upaya kontranarasi BNPT dengan menyebarkan paham-paham kebangsaan tidak menjawab narasi yang disebarkan jaringan teroris. Sebab, jaringan teroris menyebarkan wacana yang sangat spesifik, seperti jihad, separatisme, juga baiat.
Al Chaidar berharap agar BNPT lebih fokus dalam melakukan kontrawacana yang lebih terarah dalam menghadapi propaganda mengenai radikalisme tersebut, semisal wacana mengenai jihad, baiat, dan syariat. Penyebaran wacana tersebut mesti dikemas secara sederhana dan menarik sehingga diharapkan anak muda yang selama ini menjadi sasaran perekrutan jaringan teroris lebih tertarik dengan wacana yang ditawarkan BNPT.