Keteladanan Pemimpin Efektif Cegah Kekerasan Aparat
Tindakan tak manusiawi tiga anggota TNI AD dalam kasus kecelakaan di Nagreg kian memperpanjang jumlah kasus kekerasan oleh aparat. Masalahnya ada pada kultur, keteladanan pimpinan, serta sistem pengawasan dan pendidikan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan tak manusiawi tiga anggota TNI Angkatan Darat dalam kasus kecelakaan di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kian memperpanjang jumlah kasus kekerasan oleh aparat keamanan, baik anggota TNI ataupun Polri, terhadap warga sipil. Setumpuk aturan hukum yang dibuat tidak cukup untuk mencegah terus berulangnya kasus kekerasan. Harus disertai keteladanan pimpinan selain pentingnya mengevaluasi sistem pendidikan dan pengawasan.
”Masalahnya ada pada soal kultur, kemudian keteladanan dari pimpinan, lalu soal pengawasan dan pengendaliannya. Kalau aturannya sudah banyak, tapi ternyata itu saja tidak cukup,” ujar Direktur Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi saat ditanya pendapatnya terkait kejadian kecelakaan Nagreg dan sejumlah kasus kekerasan terhadap masyarakat oleh anggota TNI dan Polri sebelumnya, Selasa (28/12/2021).
Kecelakaan di Nagreg terjadi pada Rabu (8/12/2021). Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14) tewas ditabrak mobil yang berisi Kolonel P, Kopral Satu DA, dan Kopral Dua A. Alih-alih dibawa ke rumah sakit, kedua korban justru dibuang ke Sungai Serayu, Jawa Tengah.
Dalam paparan Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sepanjang 2021, Selasa, Komisi Nasional (Komnas) HAM menyampaikan telah menerima 2.516 pengaduan dari masyarakat sejak awal 2021 hingga 15 Desember lalu. Pihak yang paling banyak diadukan adalah kepolisian yang sebanyak 661 pengaduan, sedangkan TNI sebanyak 73 pengaduan. Di antara yang diadukan, kekerasan oleh aparat dalam bentuk penggunaan kekuatan berlebih, penyiksaan, dan tindakan lain yang kejam dan tidak manusiawi. Berbagai kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan, misalnya, terjadi saat penanganan unjuk rasa di hampir semua daerah.
Untuk mengubah kultur, Khairul melanjutkan, pembinaan terus-menerus di masing-masing internal instansi keamanan memegang peranan penting. Dengan demikian, setiap anggota TNI ataupun Polri akan selalu ingat tugas pokok mereka, dan lebih utama, tugas untuk melindungi masyarakat dan menjauhi tindakan kekerasan. Ujung tombak dari pembinaan ini salah satunya ada di unsur pimpinan. Oleh karena itu, pimpinan harus menunjukkan keteladanan dan komitmen selain pentingnya tindakan tegas bagi anggotanya yang melanggar aturan agar menciptakan efek jera.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, sepakat dengan pentingnya aspek keteladanan dari pimpinan untuk mencegah kekerasan oleh aparat terus berulang. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya sistem pendidikan yang dijalani oleh anggota TNI dan Polri dievaluasi. Berkaca pada sejumlah tindakan kekerasan yang melibatkan anggota aparat keamanan, ke depan, materi soal pentingnya perlindungan HAM harus diperbanyak diajarkan kepada anggota sehingga dapat mencegah tindakan kekerasan terus berulang.
Khusus terkait kasus Nagreg, ia mendesak agar kasus itu diusut tuntas dan pelaku dihukum setimpal dengan perbuatannya. Kasus tersebut bahkan, menurut dia, seharusnya diproses dengan sistem peradilan umum untuk mendapatkan obyektivitas dalam peradilan, bukan di peradilan militer.
”Sayangnya, dalam kasus seperti ini biasanya pelaku dibawa ke peradilan militer dengan dasar Undang-Undang 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Peradilan militer berdasarkan UU tersebut cenderung menjadi sarana impunitas bagi oknum TNI yang terlibat kekerasan terhadap warga sipil,” kata Al Araf.
Oleh karena itu, sudah semestinya DPR dan pemerintah segera melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi UU Peradilan Militer yang telah dimandatkan dalam Tap MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000. Kasus tabrakan dan pembuangan korban kecelakaan oleh oknum TNI tersebut mestinya menjadi dasar agar pemerintah dan DPR segera merevisi UU tersebut.
Hukuman seumur hidup
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan telah mengumpulkan tim penyidik maupun oditur militer yang menangani kasus Nagreg. Kepada tim ini, ia meminta tiga anggota TNI AD yang terlibat dituntut hukuman penjara seumur hidup meski Pasal 340 KUHP menyebutkan hukuman maksimal adalah hukuman mati.
Saat ini, ketiga tersangka telah dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebelumnya, mereka menjalani pemeriksaan di markas Kodam III/Siliwangi mengingat lokasi kejadian berada di wilayah Jawa Barat.
Komandan Pusat Polisi Militer TNI AD Letnan Jenderal Chandra Sukotjo mengatakan, dalam pemeriksaan lebih lanjut di Jakarta, keterangan setiap tersangka dikonfrontasi dengan tersangka lainnya.