Jejak Kelam Hukuman Mati di Masa Silam
Saat ini, penerapan hukuman mati telah dihapuskan di banyak negara. Namun, beribu-ribu tahun lalu, beragam hukuman mati pernah diterapkan untuk menghukum penjahat. Cukup jadi catatan sejarah, tak perlu diulang.
Hukuman mati dikenal sejak beribu-ribu tahun yang lampau. Sejarah mencatat, Hukum Hammurabi yang berlaku di Kerajaan Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi melakukan kodifikasi terhadap 35 jenis kejahatan yang berujung pada vonis mati. Jenis hukuman ini juga dikenal pada abad ke-14 SM dengan Hukum Hittite serta Hukum Draconian Athena pada abad ke-7 SM yang membuat hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Keberadaannya langgeng hingga saat ini.
Pada mulanya, khususnya pada abad ke-10, tiang gantungan menjadi tempat yang paling umum dipakai untuk mengeksekusi orang-orang yang dipidana mati. Bersamaan dengan itu, ada metode-metode lain yang digunakan, seperti direbus ataupun dibakar hidup-hidup, dipenggal dengan menggunakan kapak ataupun pedang, ditenggelamkan, ataupun dipotong-potong.
Geoffrey Abbot, dalam bukunya Execution, yang diterbitkan pada 2005, mencatat setidaknya 69 metode eksekusi yang ada sejak jaman kuno hingga saat ini. Dalam bukunya tersebut, ia juga membahas secara cukup mendetail mengenai prosedur yang digunakan serta berbagai pertanyaan yang sering kali tak terjawab. Misalnya, metode mana yang paling tidak menyakitkan atau yang paling cepat atau paling lambat mengantarkan terpidana ke alam berikutnya.
Salah satu metode yang sering digunakan di abad pertengahan, misalnya, penenggelaman, sering digunakan untuk mengidentifikasi apakah benar seseorang merupakan penyihir atau bukan. Sebab, ada anggapan bahwa orang yang bersekutu dengan iblis memiliki kemampuan unik di dalam tubuhnya, yaitu berat bedannya menjadi lebih ringan sehingga tak bisa tenggelam. Atau, model penghukuman yang lain, yaitu dibakar hidup-hidup di tiang pancang atau dijadikan santapan singa, leopard, beruang, babi hutan, anjing, buaya, dan hewan lain yang memang dibuat kelaparan.
Baca juga: Merinding di Ruang Eksekusi Mati yang Baru di Nusakambangan
Tulisan ini akan mengutip buku Abbot tentang sejumlah metode eksekusi yang pernah ada di dalam sejarah umat manusia.
”Brazen bull” (dipanggang dalam perut banteng buatan)
Metode eksekusi ini ditemukan seniman Athena, Perillus. Terbuat dari kuningan, bahan yang cepat menghantarkan panas, banteng buatan ini memiliki lubang di bagian pantat (belakang). Ukurannya cukup besar sehingga perutnya mampu menampung tubuh manusia. Di bagian hidung, Perillus memasukkan seruling kecil yang mampu mengubah jerit kesakitan orang yang dieksekusi menjadi suara lenguhan banteng.
Berharap mendapatkan penghargaan dari Tiran Agrigentum yang berkuasa ketika itu, yakni Phalaris, Perillus justru terjebak saat raja meminta bukti bagaimana alat tersebut bisa mengubah tangisan orang yang tersiksa menjadi sebuah musik yang menyenangkan.
Phalaris pun meminta Perillus mendemonstrasikannya. Akhirnya, Perillus memasuki tubuh banteng buatan itu, kemudian Phalaris memerintahkan lubang dibagian pantat banteng ditutup dan api dinyalakan di bawah perut banteng. Perillus menjadi korban alat eksekusi buatannya sendiri.
Phalaris kemudian memerintahkan agar Perillus dikeluarkan dari perut banteng ketika masih hidup. Namun, nasibnya tidak lantas menjadi baik karena kemudian ia dilemparkan dari ketinggian. Jenazahnya ditinggalkan begitu saja tanpa dikubur secara layak.
Banteng kuningan itu kemudian digunakan untuk mengeksekusi martir-martir Kristiani, seperti Santo Antipas, Santo Pelagia the Virgin, Santo Eustachius, dan istrinya, Theopistes, dan anak-anak mereka, Agapius dan Theopistus. Hal tersebut memicu kemarahan publik sehingga pemberontakan pun terjadi. Phalaris pun berhasil dilengserkan, ia ditangkap dan meninggal dengan dihukum panggang dalam perut banteng.
”Crucifixion” (penyaliban)
Metode eksekusi ini akan mengingatkan orang kepada Yesus Kristus yang menderita sengsara di kayu salib. Catatan kontemporer, seperti disebutkan Abbot, menunjukkan bahwa korban, setelah dilecut, akan dipaksa untuk membawa kayu salibnya ke tempat eksekusi.
Di sana, ia akan ditelanjangi, kemudian diminta tidur telentang, tangannya direntangkan di sepanjang kayu salib, kemudian diikat dengan tali atau telapak tangannya ditembus dengan paku panjang. Di bagian kaki, dipasang sebuah balok menjadi penahan tubuh yang menjalani hukuman. Paku panjang kembali ditancapkan ke kakinya agar tubuh korban tak melorot jatuh.
Seakan belum lengkap penderitaan korban, eksekutor akan memperlakukan secara brutal bagian anggota tubuh, seperti wajah dan dada, dengan dipukul memakai alat berujung runcing (seperti kail). Madu dioleskan di wajah sehingga menarik perhatian serangga. Metode eksekusi ini membuat pihak yang dieksekusi menderita dalam waktu yang cukup lama karena terkadang korban baru meninggal beberapa hari kemudian.
Hukuman penyaliban di masa-masa awal diterapkan hanya dengan menggunakan batang pohon sebagai tempat korban dipaku. Hal ini umum digunakan di Yunani, Romawi, Peria, dan Charthaginians. Dalam perkembangannya, bentuk salib menjadi bermacam-macam. Demi menyediakan sebuah tontonan untuk publik, terkadang penyaliban dilakukan bersamaan terhadap beberapa orang dalam satu waktu. Ada pula berbagai variasi dengan menggantungkan secara terbalik.
Ketika korban sudah meninggal, tubuh-tubuh tersebut dibiarkan begitu saja selama berbulan-bulan sampai akhirnya tinggal paku dan tulang saja yang tersisa.
”Burned internally” (membakar organ dalam)
Ini merupakan salah satu metode eksekusi yang cukup langka. Terpidana mati diikat lehernya menggunakan tali yang tidak kasar sehingga mulutnya menganga. Pada saat itulah, sendok besi digunakan untuk menuangkan timah panas/cair ke dalam tenggorokan, mengubah tubuh mereka menjadi kuali yang terbakar.
Salah satu orang yang dihukum dengan cara ini adalah Raja Kerajaan Inggris Edward II, yang dihabisi oleh lawan politiknya, Roger Mortimer, yang berkolaborasi dengan istrinya, Ratu Isabella, atau yang lebih dikenal dengan ”Serigala Betina dari Perancis”. Namun, Roger Mortimer kemudian ditangkap oleh Raja Edward III dan dibawa Tyburn.
”Cyphon”
Metode eksekusi ini termasuk jarang digunakan, tetapi tidak berarti tak kurang mengerikan. Seperti digambarkan oleh Aristophanes (448-388 BC), metode eksekusi ini dilakukan dengan cara meletakkan seseorang yang sudah ditelanjangi ke dalam pillory (kerangka kayu dengan lubang untuk kepala dan tangan), kemudian ditinggalkan di bawah sinar matahari dan serangga yang tertarik pada madu yang telah dioleskan ke tubuh korban.
Apabila orang tersebut bertahan hidup dalam 20 hari, ia lalu dilepaskan dari pasungan kemudian didandani dengan baju perempuan untuk diarak ke tebing tinggi. Setelah itu, dari atas tebing, ia dijatuhkan dengan posisi kepala lebih dulu.
Dikuliti hidup-hidup
Metode eksekusi dengan menguliti terpidana hidup-hidup ini dipraktikkan pada abad ke-2 Sebelum Masehi, mulai dari Turki dalam melawan bajak laut yang beroperasi di lepas pantai negara tersebut hingga ke China dan negara-negara timur lainnya.
Tragedi sejarah pernah terjadi ketika tawanan perang ditangkap oleh Kekaisaran Asyur. Patung Niniwe menggambarkan dengan detail proses tersebut dilakukan terhadap para tawanan perang. Saat sebuah kota berhasil ditaklukkan, orang-orang Asyur atau Asiria akan menyiksa warga kota yang ditaklukkan, membuat piramida kepala di perempatan-perempatan umum, anak-anak dibakar hidup-hidup, para laki-laki disiksa dan dikuliti hidup-hidup, dibutakan, serta bagian tubuh dipotong-potong.
Laporan dari Eropa juga mengungkapkan bahwa pada 1655, model eksekusi ini dilakukan terhadap dua saudara, Jocopo dan David Perrin, selama masa persekusi terhadap kaum Waldenses. Atau Count de Rouci yang meninggal dengan cara yang sama pada 1356 dan Paolo Garnier dari Roras.
”Guillotine”
Sebagai Wakil Lembaga Perwakilan Rakyat, Joseph Ignace Guillotine menaruh perhatian terhadap kekejaman dan ketidaksetaraan dalam pelaksanakan hukuman mati. Perampok menyerahkan hidupnya di roda tempat eksekusi, penyihir dan tukang sihir dibakar di tiang pancang, pengkhianat digantung dan dipotong-potong, sementara pelanggar yang berpangkat tinggi diberi keistimewaan dengan cara dipenggal menggunakan pedang.
Ia mengadvokasi agar eksekusi mati terhadap penjahat dari semua golongan/kelas dilakukan dengan cara yang sama dan dengan menggunakan metode yang mematikan (membawa kematian secepat mungkin). Pemenggalan kepala dinilai sebagai cara tercepat. Namun, meski dilakukan oleh eksekutor yang ahli sekalipun, human error masih terjadi. Maka, pemenggalan kepala seharusnya dilakukan menggunakan sebuah mesin.
Pada 1789, ia menyampaikan usulannya tersebut kepada parlemen. Pada Juni 1971, usulan itu disetujui. Tak ada lagi eksekusi dengan menggunakan cara-cara lama. Setahun berikutnya, perintah mendesain alat eksekusi diterbitkan. Maka, terciptalah alat eksekusi yang kemudian dikembangkan berdasarkan gagasan Guillotine. Di Italia, alat serupa dinamai mannaia, di Inggris halifax gibbet, di Skotlandia dikenal dengan scotland’s maiden, dan diele untuk Jerman.
Dimutilasi
Mutilasi merupakan eksekusi yang dilakukan dengan memotong tubuh terpidana menjadi bagian-bagian kecil atau dikenal dengan cutting into ten thousand pieces. Ini merupakan salah satu metode eksekusi yang sangat mengerikan. Tak hanya terjadi di zaman kuno, praktik ini juga diterapkan di awal abad ke-20, seperti dilaporkan The Time pada Desember 1929. Di China, metode ini dikenal dengan ling-chy.
Dalam bukunya, Abbot menggambarkan, tahanan tersebut diikat di kayu salib, sementara di depannya terdapat meja dengan sebuah tempat yang berisi peralatan yang diperlukan. Algojo akan memotong bagian-bagian tubuh secara metodis mulai dari memisahkan pergelangan tangan, kaki, siku, bahu, pinggul, hingga bagian lainnya. Jika kerabatnya memiliki uang untuk menyuap sang algojo, mereka akan meminta agar tahanan tersebut dibunuh terlebih dahulu dengan menusuk jantungnya.
Dijahit di perut keledai
Penulis Yunani, Lucian (117-180 AD), menggambarkan metode eksekusi mati yang diterapkan untuk para perempuan martir Kristiani. Disebutkan bahwa seorang pejabat mengungkapkan, mereka harus menemukan sebuah cara menghukum yang berujung pada kematian secara perlahan dan sangat menyiksa untuk perempuan martir. Ide pun muncul. Dibunuhlah seekor keledai, kemudian organ dalamnya dikeluarkan. Perempuan tersebut dimasukkan ke dalam perut hewan tersebut dengan menyisakan hanya bagian kepala yang berada di luar. Perut binatang itu kemudian dijahit.
Setelah itu, bangkai hewan dan perempuan tersebut diletakkan di tempat terbuka sehingga burung-burung nasar melihatnya. Perempuan tersebut itu juga akan tersiksa karena terpanggang matahari. Tanpa diberi makan, orang tersebut akan kelaparan, terpaksa menahan bau busuk bangkai keledai, dan menahan segerombolan burung nasar serta cacing yang memakan bangkai tersebut. Hingga akhirnya, tubuh perempuan tersebut turut menjadi mangsa burung-burung dan cacing yang menggerogoti bangkai keledai.
Suntik mati
Peradaban yang lebih manusiawi menuntut eksekusi mati dilakukan secepat mungkin dan bebas penderitaan. Namun, hanya sedikit metode eksekusi yang dapat memberikan hal itu.
Pada 1970-an, Amerika menggunakan metode ini. Setelah penelitian yang telah dilakukan, terpidana mati akan dibuat rileks dan tidak sadar terlebih dahulu menggunakan obat-obatan tertentu (sodium thiopentone kemudian pancuronium bromide). Setelah itu, suntikan potassium chloride digunakan untuk menghentikan kerja jantung.
Jika obat yang dimasukkan dalam dosis yang tepat dan disuntikkan dalam waktu yang telah diperhitungkan, terpidana mati akan hilang kesadaran dalam 10 hingga 15 detik. Kemudian, ia akan meninggal akibat serangan jantung dan berhentinya pernapasan dalam waktu 2 hingga 4 menit.
Oklahoma menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi metode suntik mati pada 1977 dan eksekusi pertama baru dilakukan tahun 1982 terhadap Charles Brooks di Penjara Huntsville, Texas. Saat proses eksekusi dilakukan, petugas mengamati bahwa yang bersangkutan menguap, matanya menutup, tubuhnya menjadi lemas, dan 7 menit kemudian dokter menyatakan Brooks telah meninggal.
Meski prosedur sudah dipikirkan masak-masak, terkadang kesalahan selalu terjadi. Misalnya, Peter Morin yang dihukum mati pada 1985 harus mengalami penderitaan mental selama 40 menit sebab petugas kesulitan saat berusaha menemukan dan memasukkan jarum ke dalam pembuluh darahnya.
Di kesempatan lain, ada kesalahan dalam jumlah obat yang harus diberikan sehingga menyebabkan tersedak dan kejang, suntikan yang meleset tidak di pembuluh darah, atau pipa yang rusak yang menimbulkan gangguan dalam proses yang tengah berjalan dan lain sebagainya.
Di Inggris, praktik suntik mati telah dikaji oleh Komisi Kerajaan untuk Hukuman Mati (Royal Commission on Capital Punishment) pada 1949-1953. Empat dokter penjara memberikan bukti bahwa suntik mati tidak praktis dan Asosiasi Kedokteran Inggris menyatakan mereka melarang dokter untuk meresepkan obat. Maka, komisi sampai pada kesimpulan bahwa hal tersebut harus diuji secara periodik.
Masih banyak metode eksekusi yang berlaku saat ini, misalnya menghadapi regu tembak, dipancung, atau dimasukkan ke dalam kamar gas. Di Indonesia, saat ini masih memberlakukan hukuman mati dengan metode eksekusi menghadapi regu tembak. Eksekusi terakhir dilakukan oleh pemerintahan periode pertama Joko Widodo pada 2016.
Mengenal berbagai jenis eksekusi yang pernah ada dalam peradaban manusia, setidaknya ada rasa syukur bahwa kita dilahirkan di era ini. Saat ini, makin banyak negara yang menghapuskan hukuman mati. Jumlahnya bertambah dari tahun ke tahun.
Baca Juga: Vonis Mati Tak Ciptakan Efek Jera
Konsep pemidanaan yang mengedepankan keadilan restoratif, bukan lagi sarana balas dendam, semakin mendasari sendi-sendi hidup bernegara dan bermasyarakat. Meski belum sepenuhnya hilang dari muka bumi, ada harapan eksekusi mati tidak lagi diterapkan pada saat ini.