Ambang Batas Pencalonan Presiden yang Moderat Dibutuhkan
”Presidential threshold itu masih diperlukan untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan di parlemen. Tetapi, masih harus dicari angka moderat. Angka 15 persen cukup," kata peneliti politik CSIS, Arya Fernandes.
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan untuk menjadikan ambang batas pencalonan presiden nol persen dipandang sebagai sesuatu hal yang sulit direalisasikan dalam praktik politik di Indonesia. Sebab, dengan ambang batas nol persen, presiden terpilih akan kesulitan mewujudkan programnya lantaran tidak memiliki dukungan yang kuat di parlemen.
Namun, untuk memastikan lebih banyak calon yang berkontestasi, alternatif yang dapat ditempuh ialah menurunkan angka ambang batas tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, Sabtu (18/12/2021), mengatakan, praktik politik di Indonesia menempatkan presiden terpilih harus memiliki dukungan yang cukup di parlemen. Hal itu diperlukan untuk memudahkan presiden dalam mengusulkan suatu kebijakan. Misalnya, rancangan undang-undang (RUU) tertentu. Hal ini juga berlaku dalam pencalonan kepala daerah.
Namun, ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi parlemen yang diterapkan saat ini dinilai masih terlalu tinggi. Sebagai dampaknya, sulit muncul calon-calon alternatif dalam kontestasi pemilu presiden (pilpres) atau calon presiden yang ada jumlahnya terbatas.
Baca juga: Menyoal Kembali ”Presidential Threshold”
”Presidential threshold itu masih diperlukan untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan di parlemen. Tetapi, masih harus dicari angka moderat. Dalam bayangan saya, angka 15 persen itu cukup. Dengan angka moderat ini, peluang pencalonan akan lebih banyak dan terbuka kesempatan bagi lebih banyak calon untuk mencalonkan diri,” katanya.
Baca juga: Silang Pendapat Parpol soal ”Presidential Threshold” Kembali Mengemuka
Dengan angka yang moderat, koalisi antarpartai juga akan lebih dilakukan. Partai-partai yang memiliki calon sendiri, seperti Gerindra dan Golkar, menurut Arya, akan lebih mudah untuk menggandeng partai lain jika angka ambang batas pencapresan itu diturunkan menjadi 15 persen.
Dalam sejarahnya, Indonesia juga pernah menetapkan ambang batas 15 persen kursi DPR pada Pemilu 2004. Ketika itu, ada lima pasangan calon yang dapat maju dalam kontestasi pilpres, yakni Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz-Agum Gumelar, Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla, dan Wiranto-Salahuddin Wahid.
Berkaca dari pengalaman itu, menurut Arya, ambang batas dapat diturunkan sehingga lebih banyak pilihan calon. Penurunan ambang batas memungkinkan munculnya lebih banyak calon di samping juga tetap memungkinkan dukungan kuat kepada presiden terpilih.
”Pilihan untuk menurunkan presidential threshold lebih rasional daripada menghapuskan ambang batas itu sama sekali. Sebab, tanpa dukungan dari parlemen, sulit bagi presiden terpilih untuk menjalankan program-programnya,” kata Arya.
Lebih jauh, apabila ambang batas itu dihapuskan, sekalipun terlihat demokratis karena membuka keran seluas-luasnya bagi semua pihak untuk mengusung calon, pada akhirnya politik transaksional rentan terjadi. Presiden terpilih yang mendapatkan dukungan minim di parlemen bagaimanapun harus bekerja keras untuk menjalin koalisi dan komunikasi dengan partai-partai lainnya.
”Pada akhirnya sama saja, presiden harus melakukan negosiasi dengan partai-partai lain untuk memperoleh dukungan. Di dalamnya ada tawar-menawar soal jatah menteri dan segala macam. Ujung-ujungnya negosiasi. Sebaliknya, kalau ambang batas dipertahankan dengan angka moderat, partai-partai akan terdorong melakukan koalisi sejak awal,” ujarnya.
Upaya menurunkan ambang batas pencalonan itu dapat dilakukan melalui revisi UU Pemilu. Namun, dapat juga terjadi jika Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan lain mengenai ketentuan tersebut. Sebelumnya, MK telah menerima tiga uji materi lagi terkait dengan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur presidential threshold. Mereka yang menjadi pemohon ialah kader Gerindra, Ferry Juliantono, dua anggota Dewan Perwakilan Daerah (Fachrul Razi dan Bustami Zainudin), dan mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 yang mengatur soal ambang batas pencapresan itu 20 persen kursi parlemen dan 25 persen suara sah nasional agar dihapuskan.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan, mengatakan, saat pemilu legislatif (pileg) dan pilpres digelar bersamaan, seharusnya PT nol persen. Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009, yang ketika itu pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden tak digelar berbarengan. Dengan demikian, ambang batas pencapresan ditetapkan berbasis hasil pileg tahun itu.
”Kalau PT yang dipakai sekarang ialah hasil Pileg 2019 sehingga tidak menggambarkan keinginan rakyat yang sebenarnya,” katanya.
Selain itu, menurut Wakil Ketua MPR itu, ketika PT nol persen akan memberikan lebih banyak alternatif bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya yang berkualitas dan memiliki visi yang bagus. ”Calon yang bagus bisa tereliminasi oleh PT 20 persen,” katanya.
Basis dukungan
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, kualitas demokrasi di dalam menghasilkan pemimpin tidak diukur dari banyak sedikitnya calon, tetapi dari proses kaderisasi kepemimpinan dan gemblengan seorang pemimpin agar mumpuni.
”Pendukung PT nol persen memiliki asumsi yang salah terhadap kualitas kepemimpinan yang sepertinya ditentukan melalui proses kontestasi dengan memperbanyak calon. Kualitas kepemimpinan lahir dari proses kaderisasi yang sistemik dan gemblengan seorang pemimpin. Kontestasi melalui pilpres untuk mempertajam visi, misi, dan program serta komitmen bagi bangsa dan negara. Sedangkan kualitas penimpin berproses jauh lebih awal, bahkan sejak embrio kehidupan terbentuk di rahim ibu,” katanya.
Hasto mengatakan, kalau partai baru ikut pemilu lalu mencalonkan presiden tanpa basis dukungan dan pengalaman di parlemen, akan terjadi risiko instabilitas politik yang besar. Sebab, presiden tidak memiliki basis dukungan minimum 20 persen di parlemen.
”Dengan dukungan 20 persen untuk kepemimpinan Pak Jokowi yang begitu berpengalaman dan memiliki legitimasi kuat dari rakyat saja tidak mudah untuk melakukan konsolidasi. Pengalaman Pak Jokowi pada periode pertama dibutuhkan hampir 1,5 tahun untuk melakukan konsolidasi politik, apalagi kalau dukungan itu nol persen,” katanya.