Pascapembakaran Sekolah oleh KKB, Polri Optimalkan Operasi Nemangkawi
Selain mengoptimalkan kerja Operasi Nemangkawi, kekerasan yang masih kerap terjadi di Papua akan menjadi salah satu bahan evaluasi ketika masa Operasi Nemangkawi berakhir akhir tahun ini.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Fabio Maria Lopes Costa
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul pembakaran 10 sekolah dan tiga pusat kesehatan masyarakat oleh kelompok kriminal bersenjata di Pegunungan Bintang, Papua, selama tiga bulan terakhir, Polri berkomitmen mengoptimalkan Operasi Nemangkawi. Tak hanya itu, kekerasan yang masih kerap terjadi di Papua menjadi salah satu bahan evaluasi pada akhir Desember 2021.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, peran Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi untuk menangani gangguan keamanan di Papua akan dioptimalkan. Optimalisasi dilakukan dengan peningkatan patroli dan koordinasi di lapangan.
”Polri tetap pada pola preemtif, preventif, dan penegakan hukum. Itu yang akan dioptimalkan,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/12/2021).
Masa Operasi Nemangkawi, kata Ramadhan, akan habis pada akhir Desember 2021. Bersamaan dengan itu, Polri juga akan mengevaluasi penyelenggaraan evaluasi secara menyeluruh. Mulai dari segi personel, anggaran, dan materiil. Berbagai kekerasan dan kontak tembak yang masih terus terjadi antara kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan aparat juga akan menjadi bahan evaluasi.
”Hasil evaluasi akan dijadikan bahan untuk menentukan langkah-langkah ke depan,” kata Ramadhan. Namun, ia belum bisa menjelaskan kapan evaluasi komprehensif atas penyelenggaraan Operasi Nemangkawi akan dilaksanakan. Begitu pula kepastian kelanjutan operasi penegakan hukum tersebut.
Operasi Nemangkawi merupakan operasi gabungan TNI/Polri untuk mengatasi gangguan keamanan yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Papua. Operasi dimulai pada awal Januari 2018 dengan durasi waktu enam bulan. Artinya, sejak operasi dimulai, masa tugasnya sudah diperpanjang berulang kali.
Sudah kondusif
Kepala Satgas Penegakan Hukum Nemangkawi Komisaris Besar Faizal Ramadhani di Jayapura, Kamis, mengatakan, pascapembakaran 10 sekolah dan tiga puskesmas dalam tiga bulan terakhir, pihaknya menyiagakan 300 personel di Distrik (kecamatan) Oksibil, Serambakon, dan Kiwirok. Sejauh ini, tiga distrik tersebut termasuk dalam wilayah yang rawan gangguan KKB pimpinan Tamek Taplo.
Kelompok tersebut mulai membakar fasilitas umum di Kiwirok pada 13 September 2021. Pembakaran mengakibatkan seorang tenaga kesehatan di Puskesmas Kiwirok tewas serta enam tenaga kesehatan dan satu anggota TNI terluka. Pembakaran juga dilakukan terhadap 10 sekolah yang terdiri dari 5 gedung sekolah menengah pertama (SMP), 3 gedung sekolah dasar (SD), dan 2 gedung sekolah menengah atas (SMA).
Meski demikian, Faizal memastikan kondisi Pegunungan Bintang masih kondusif. ”Situasi di Pegunungan Bintang hingga saat ini masih kondusif. Semua anggota kami bersama TNI terus bersiaga dan meningkatkan patroli untuk mencegah pembakaran fasilitas umum terjadi kembali,” ujarnya.
Pelajar SMA Negeri 1 Oksibil yang sekolahnya dibakar KKB, Maklon Alimdam, sangat sedih dengan adanya pembakaran fasilitas pendidikan. Hal ini dinilai dapat menghambat pendidikan anak-anak setempat untuk meraih cita-cita mereka.
”Hati saya sangat sedih ketika melihat puing-puing ruang kelas sekolah kami. Setiap hari saya berjalan kaki sejauh 5 kilometer untuk menimba ilmu di sekolah ini,” ungkapnya.
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, pembakaran sekolah dan puskesmas yang terjadi selama beberapa bulan terakhir perlu diinvestigasi secara obyektif dan independen. Penegak hukum harus mengusut peristiwa tersebut hingga tuntas mengungkap pelakunya.
Cahyo sepakat, penyelenggaraan Operasi Nemangkawi perlu segera dievaluasi. Sebab, selama operasi tersebut digelar, kekerasan dan kontak tembak yang mengakibatkan jatuhnya korban dari berbagai pihak terus terjadi, bahkan cenderung meningkat.
”Operasi Nemangkawi harus memiliki indikator kuantitatif yang jelas. Operasi ini dilakukan untuk apa dan sampai kapan akan dilaksanakan,” kata Cahyo.
Ia menambahkan, pendekatan yang dilakukan dalam operasi saat ini masih cenderung top down. Padahal, penyelesaian masalah di Papua membutuhkan metode dialog untuk menyerap aspirasi warga setempat, termasuk mereka yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka.
Sebelumnya, Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka Sebby Sambom mengklaim pihaknya bertanggung jawab atas segala aksi teror di Pegunungan Bintang sepanjang tahun ini. Pihaknya meminta agar diselenggarakan dialog yang melibatkan pihak netral untuk menentukan masa depan Papua.