RJ Lino Divonis 4 Tahun Penjara, Hakim Ketua Berbeda Pendapat
Meski divonis 4 tahun dan dinilai terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan korporasi asing dalam pengadaan tiga ”quayside container crane” di sejumlah pelabuhan, ketua majelis justru menilai sebaliknya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa perkara dugaan korupsi pengadaan dan pemeliharaan crane untuk tiga pelabuhan yang dikelola PT Pelindo II, Richard Joost Lino, divonis pidana 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Namun, berbeda dari kedua hakim anggota, hakim ketua menilai bahwa tidak terjadi kerugian negara sebagaimana dilaporkan oleh Unit Forensik Akuntansi di Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi dan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Vonis tersebut dibacakan hakim anggota, Teguh Santoso, dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (14/12/2021). Sidang tersebut dipimpin hakim ketua Rosmina bersama hakim anggota lainnya, Moh Agus Salim.
”Menyatakan terdakwa RJ Lino telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda sebesar 500 juta subsider 6 bulan kurungan,” kata hakim Agus Salim.
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II tersebut dinilai terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan korporasi asing dalam pengadaan tiga unit quayside container crane (QCC) di Pelabuhan Panjang di Lampung, Pelabuhan Palembang, dan Pelabuhan Pontianak tahun 2010 dan pemeliharaannya selama 5 tahun. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yakni pidana 6 tahun penjara.
Menyatakan terdakwa RJ Lino telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda sebesar 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hal yang dinilai memberatkan adalah terdakwa dinilai tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa dinilai bersikap sopan dan tidak berbelit-belit selama persidangan. Selain itu, terdakwa dinilai telah bekerja bagi perseroan sehingga memperoleh keuntungan.
Hakim juga memutus bahwa tuntutan untuk membayar uang pengganti kepada Wuxi Hua Dong Heavy Machine Science and Technology Group Co Ltd (HDHM) China berjumlah 1,99 juta dollar AS ditolak atau dikesampingkan. Sebab, selama persidangan, pihak HDHM China tidak dihadirkan untuk diperiksa.
Tingkatkatkan produktivitas pelabuhan
Sebelum putusan tersebut dibacakan, hakim ketua Rosmina mengatakan bahwa dirinya sependapat dengan kedua hakim lainnya mengenai pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri BUMN dan Surat keputusan Direksi PT Pelindo II. Namun, berbeda kedua hakim anggota lainnya, Rosmina menyatakan bahwa terdakwa tidak memperoleh keuntungan dari perbuatan tersebut.
Hakim ketua juga menilai bahwa, dalam pengadaan dan pemeliharaan tiga QCC tersebut, terdakwa juga berpikir untuk meningkatkan produktivitas pelabuhan. Oleh karena itu, hakim ketua berpendapat, meski perbuatan terdakwa melanggar prosedur, pemilihan QCC tersebut untuk meningkatkan produktivitas pelabuhan. Selain itu, hakim ketua menilai adanya niat terdakwa untuk menekan harga QCC demi keuntungan perseroan.
Penghitungan oleh Unit Forensik Akuntansi di Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan tidak cermat dan melanggar asas penghitungan kerugian negara. Maka, pantas dikesampingkan.
Sebaliknya, lanjut Rosmina, penghitungan kerugian negara oleh Unit Forensik Akuntansi di Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengadaan tiga unit QCC tersebut dinilai tidak cermat. Sebab, jumlah kerugian sebesar 15,55 juta dollar AS tersebut belum dikurangi dengan denda yang dijatuhkan kepada HDHM China akibat keterlambatan pengiriman barang.
”Penghitungan oleh Unit Forensik Akuntansi di Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan tidak cermat dan melanggar asas penghitungan kerugian negara. Maka, pantas dikesampingkan,” kata hakim ketua.
Selain itu, penghitungan kerugian negara oleh BPK terhadap pembayaran biaya pemeliharaan QCC selama 5 tahun disebut hakim ketua sebagai tidak berdasar. Sebab, selisih harga yang diperhitungkan sebagai kerugian negara sekitar 22.000 dollar AS adalah penghitungan antara HDHM China dan perusahaan subkontraktor. Adapun PT Pelindo II tetap membayar sebagaimana kontrak yang disepakati.
Terhadap vonis tersebut, penasihat hukum RJ Lino, Agus Dwi Warsono, menyatakan pikir-pikir. ”Kami akan mendalami pertimbangan dari majelis hakim, baik yang dissenting opinion maupun dari hakim anggota.”
Demikian pula jaksa penuntut umum juga menyatakan pikir-pikir.