”Dunia Lain” di Istana Kepresidenan
Kisah hantu diwariskan turun-temurun dan hingga kini selalu memantik atensi publik. Salah satunya kisah hantu di Istana Kepresidenan. Ada yang berbeda dalam struktur nalar masyarakat dengan teori-teori sosial modern.
Utasan soal keberadaan hantu di Istana Kepresidenan Jakarta oleh mantan pegawai Istana sempat menjadi topik hangat di media sosial. Tak hanya soal hantu Istana, kisah lain soal hantu kerap memantik perbincangan hangat, bahkan turun-temurun, ”dunia lain” diyakini eksistensinya. Ada yang menyimpang dari struktur nalar masyarakat.
Mendengar akan bermalam di Istana Kepresidenan Tampaksiring, Bali, wartawan yang meliput kunjungan kerja Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada 4 dan 5 Desember lalu antusias, tetapi sekaligus bergidik. ”Kalau cari (data) Istana Tampaksiring, yang keluar ceritanya ’begitu’ (kisah-kisah hantu),” tutur salah seorang wartawan.
Kebetulan, lima wartawan yang bertugas perempuan. Entah menyadari kegalauan yang umum dirasakan atau karena memang keterbatasan ruang, kelima wartawan ditempatkan dalam satu kamar.
Kisah-kisah hantu di Istana Kepresidenan, seperti di Istana Tampaksiring, banyak diceritakan. Bukan saja karena umumnya bangunan-bangunan tersebut sudah tua usianya, juga tak banyak yang ditempati. Dari enam Istana Kepresidenan yang ada, yakni Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, Gedung Agung Yogyakarta, dan Istana Tampaksiring, hanya Istana Negara, Istana Merdeka, dan Istana Bogor yang sering digunakan dalam aktivitas keseharian Presiden Joko Widodo saat ini.
Baca juga : Bung Karno, Istana, dan Simbol Padma
Sehari-hari, Presiden Jokowi, Nyonya Iriana, dan keluarga, tinggal di Paviliun Dyah Bayurini di Istana Kepresidenan Bogor. Gedung Induk Istana Bogor hanya digunakan untuk rapat dan menerima tamu, baik dari dalam maupun luar negeri.
Paviliun Bayurini dibangun di tahun 1964, masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Adapun Istana Merdeka sering digunakan untuk rapat dan audiensi. Istana Negara yang menghadap ke Jalan Veteran, Jakarta, lebih banyak dimanfaatkan untuk acara-acara kenegaraan seperti pelantikan pejabat negara.
Presiden pertama Indonesia, Presiden Soekarno, pernah tinggal di keenam istana tersebut. Namun setelahnya, hanya Presiden Abdurrahman Wahid yang tinggal di Istana Merdeka. Dalam buku biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid karya Greg Barton, disebutkan bahwa sebelum Gus Dur sekeluarga dapat pindah ke Istana Merdeka, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberi tahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan orang halus penjaga Istana.
Salah satu yang diingat orang adalah kamar di ujung ruang utama yang lampunya tak pernah padam. Kamar ini hanya dimasuki sekali setahun, yakni setiap 17 Agustus, untuk memindahkan bendera pusaka dari peti tempatnya diperlihatkan di tengah ruang. ”Segera setelah pindah ke Istana, Gus Dur berkomentar tanpa basa-basi bahwa kamar itu katanya dihuni oleh orang halus,” tulis Greg Barton.
Asti Kleinsteuber dalam buku Istana-istana Kepresidenan di Indonesia menyebutkan, kamar tempat menyimpan Bendera Pusaka tersebut sebelumnya bekas kamar tidur Bung Karno yang pernah direnovasi pada 1997. Ruangan itu tak pernah digunakan Presiden Kedua RI Soeharto karena ia memilih tinggal di kediaman pribadinya di Jalan Cendana, Jakarta.
Selain itu, ruang kerjanya ada dua di Gedung Bina Graha, di lantai dasar dan lantai atas yang dihubungkan tangga. Ruang kerja lantai atas biasa dipakai sebelum menghadiri sidang-sidang kabinet terbatas.
Adapun ruang kerja lantai bawah untuk menerima tamu-tamu yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Kini, ruang kerja di lantai atas menjadi ruang kerja Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Presiden Soeharto menggunakan ruang kerja di Istana Merdeka tersebut saat menerima tamu negara dan pejabat lembaga tinggi negara.
Adapun bekas ruang tidur Fatmawati, istri Presiden Soekarno, berada di sisi barat, di belakang ruang kerja Presiden Soeharto diubah menjadi dua ruang tidur untuk istirahat kepala negara yang dilengkapi dengan kamar mandi. ”Soeharto hanya menggunakan ruang ini untuk bermalam tiap tanggal 16 Agustus setelah mengikuti upacara renungan suci di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, menjelang upacara peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan,” tulis Asti.
Utasan hantu Istana
Kembali ke soal kisah ”penunggu” Istana Kepresidenan, kisah itu kembali ramai setelah utasan dari mantan pegawai Istana, Priyo Sambadha, pada Rabu (8/12/2021). Utasan Priyo yang mengaku hampir 30 tahun bekerja di Istana, lebih khusus bercerita soal Istana Merdeka, Istana Negara, dan bangunan Wisma Negara di Jakarta, yang berada dalam satu kompleks.
”Di zaman Pak Harto (Presiden Soeharto), enggak ada staf Istana di malam hari yang berani masuk ke bangunan Istana. Selain memang gak ada perlunya, juga karena selalu aja ada yang ’ganggu’,” tulisnya.
Priyo kemudian mengisahkan pengalamannya menginap di kamar di Wisma Negara pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Wisma Negara merupakan bangunan tua enam lantai dengan banyak kamar seperti hotel yang bertahun-tahun tak pernah di huni. Kisah hantu lantas bermula ketika ia naik lift menuju lantai 3, tetapi lift tak mau berhenti dan terus naik hingga ke lantai 6 yang dikenal angker.
”Dengan perlahan pintu lift terbuka perlahan. Ting! Saya saksikan ruangan di lantai 6 itu gelap gulita. Tapi dalam temaram saya masih bisa saksikan meja-meja bundar dengan beberapa kursi di tiap meja layaknya untuk jamuan atau pertemuan. Semua kosong sepi, kecuali satu meja di sudut kiri. Di satu meja di sudut kiri itu saya lihat perempuan duduk sendirian membelakangi saya sambil menangis,” ujarnya.
Priyo lantas membagikan foto kamar tidur di Wisma Negara di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta yang dideskripsikan: luas, sunyi dan ”dingin” dengan aroma khas ruangan jarang terpakai.
Di Istana Bogor, kisah hantu juga tak ada habisnya. Endang Sumitra (61) yang lahir dari keluarga pegawai Istana dan menghabiskan masa kecilnya di paviliun karyawan Istana menceritakan beberapa kejadian yang menurut dia menunjukkan eksistensi makhluk dari ”dunia lain” tersebut. Ia tak pernah melihatnya langsung, tetapi bisa merasakan keberadaan mereka. Namun, kejadian janggal biasa terjadi saat ada yang berucap sombong dan bersikap tak sopan di sekitar Istana dan Kebun Raya.
Soal Istana Bogor, Asti dalam bukunya juga menuliskan bahwa menurut dongeng, Istana ini merupakan bangunan yang angker, terutama ruang raja. Hal ini mungkin karena sejak masa kolonial Belanda, di era sudut-sudut tertentu Iselalu diberi sesajen. Setiap kali akan mengadakan acara, para karyawan Istana selalu minta izin kepada Mbah Jepra yang dimakamkan di Kebun Raya Bogor.
Nalar masyarakat
Mengenai kisah-kisah hantu yang terus dipercaya sebagian masyarakat, tidak hanya kisah hantu di Istana, psikolog sosial dan peneliti sosial Risa Permanadeli, yang selama 10 tahun terakhir meneliti masyarakat melalui cerita hantu, menyebut ada yang berbeda dalam struktur nalar yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan beragam teori sosial modern.
”Masalahnya bukan di masyarakat, masalahnya di kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia. Kok bisa dalam keadaan yang begitu sulit seperti ini, sedang ada bencana alam Gunung Semeru dan pandemi, tetapi justru masyarakat tertarik pada hantu,” ujar Risa yang dihubungi Jumat (10/12/2021).
Ketertarikan masyarakat pada kisah hantu ini juga dinilai bukan tergolong sekadar hiburan. Menurut Risa, masyarakat cenderung menyukai kisah seputaran hantu hampir seharian. Masyarakat terkesan lebih memilih kisah hantu dibandingkan berupaya menyelesaikan masalah bangsa seperti banjir atau pandemi sehingga seolah tidak terkoneksi pada kehidupan bersama sebagai bangsa.
”Dia terkoneksi pada hal-hal yang sifatnya sepele dan enggak ada kaitannya pada penyelesaian masalah bangsa. Jangan-jangan bangsa yang dibikin oleh negara itu enggak pernah ada. Yang ada orang Jawa ya kayak Jawa zaman dulu, tapi intervensi negara untuk membikin sebuah pengetahuan bersama untuk membikin bangsa tidak ada,” ucap doktor psikologi sosial dari École des Hautes Études di Paris ini.
Risa menyebut masyarakat Indonesia tidak mengikuti bangunan masyarakat sebagaimana diterangkan oleh beragam teori seperti teori ekonomi, teori politik, dan teori sosiologi. Di masa pandemi ketika ekonomi seharusnya terpuruk, misalnya, masyarakat justru bisa bertahan. Secara sosiologis, ketika jurang antara si kaya dan si miskin semakin jomplang, kondisi masyarakat justru tidak kacau. Masyarakat pun tetap menggandrungi kisah hantu di tengah situasi tak menentu pandemi.
”Ada yang mengikat masyarakat untuk bersama. Tidak ada orang Indonesia yang tidak tumbuh dengan cerita hantu. Siapa saja mau presiden, profesor, mau santri, semua tumbuh dengan cerita hantu. Sistem kepercayaan yang mengeratkan satu orang dengan orang lainnya sebagai bangsa Indonesia itu adalah cerita hantu,” ujar Risa.
Menurut Risa, struktur nalar masyarakat tidak pernah dibangun dari sistem politik, sistem ekonomi, maupun sistem sosial modern, melainkan dari tradisi nenek moyang yang praktis tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.
”Justru memperlihatkan jangan-jangan (dari) abad ke-5, abad ke-10, sampai abad ke-21, nalar kita tetap. Jadi gampang sekali disuntik dengan sesuatu untuk secara kolektif kemudian bergerak bersama tanpa harus menimbulkan keadaan chaotic,” tambahnya.
Nalar masyarakat tentang hantu ini juga dibangun berlandaskan tradisi oral. ”Tradisi oral ini sepenuhnya berdasarkan reseptivitas indrawi. Apa yang saya dengar, apa yang saya rasakan, secara visual auditif. Imajinasi auditif maupun visual yang menemani tradisi oral tersebut,” katanya.
Efek indrawi
Berawal dari proses mendengar atau membaca, maka muncul imajinasi visual yang berujung pada munculnya efek indrawi. Efek seolah-olah kita mengalami, ini yang menjadi alasan kenapa kisah tentang hantu begitu diminati dan bisa bertahan sangat lama. ”Karena memiliki efek indrawi. Efek indrawi itu kan langsung. Kamu dengar, tiba-tiba bulu kuduk berdiri, padahal belum tentu (benar). Jadi cerita yang beredar terus karena memiliki efek indrawi langsung,” tambahnya.
Latar tentang Istana Kepresidenan memenuhi salah satu unsur lokalitas hantu yang percaya bahwa hantu biasanya terikat ruang dan waktu.
Latar lainnya, ruang yang jarang bersentuhan dengan manusia itu selalu dianggap ada hantunya. Begitu pula lokasi di hutan belantara, sungai, hingga lautan yang jarang disentuh manusia. Hantu juga biasanya hanya muncul di waktu tertentu, yaitu malam hari.
Baca juga : Membaca Jejak Sejarah dari Mebel di Istana
Bukan hanya di gedung tua, hantu juga dikisahkan melekat dengan tempat di mana pernah terjadi satu fenomena di mana kematian itu tidak sempurna. Hantu yang disebut Risa sebagai hantu aktual ini terkait dengan kematian yang tidak sekadar berasal dari tradisi leluhur, tetapi juga diaktualisasi dengan cerita yang dibawa agama tentang kematian yang tak sempurna. ”Viral atau tidak viral itu hanya sekadar karena sekarang punya peralatan jadi multiplikasinya cepat. Kalau pada zaman dulu, cerita hantu bertahan lama dikisahkan turun temurun,” tambahnya.
Bagi Risa sebagai peneliti, cerita hantu adalah representasi tentang pengetahuan sosial atau cara berpikir masyarakat dengan memakai obyek hantu untuk memahami masyarakat.
”Kemudian saya tahu, meneliti cerita hantu bukan sekadar membikin sebuah pengembaraan intelektual, tapi juga pengembaraan kemanusiaan untuk menerima, saya harus berbagi dengan banyak makhluk termasuk hantu. Dimensinya banyak dan saya harus terima, saya enggak boleh sembrono atau mereduksi pada kompleksitas keberadaan hantu,” tambahnya.