Menurut sejumlah cendekiawan dan akademisi dari dalam dan luar negeri, terdapat sejumlah tanda demokrasi Indonesia menuju mundur. Namun, ada pula yang memaparkan, masih ada sisi yang memberikan harapan.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Buku Democracy in Indonesia, From Stagnation to Regression? diluncurkan pada akhir tahun 2020, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diluncurkan pada akhir Oktober 2021. Menurut sejumlah cendekiawan dan akademisi dari dalam dan luar negeri, terdapat sejumlah tanda demokrasi Indonesia menuju mundur.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat menjadi tanda independensi lembaga penentu akuntabilitas pemerintah tetap bekerja dengan baik.
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menyebut keputusan MK itu sebagai putusan bersejarah karena untuk pertama kali pengujian formil UU dikabulkan, yaitu mengenai pembentukannya oleh pemerintah dan DPR dinilai inkonstitusional karena melanggar UUD 1945 dan prosedur pembentukan UU. Jimly menyebut putusan itu menunjukkan fungsi penting MK sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi agar berjalan di rel yang benar dan adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Keberhasilan Indonesia melalui tsunami politik pergantian kekuasaan dari Orde Baru serta krisis ekonomi dan keuangan tahun 1998 mencengangkan banyak peneliti dan pengamat perbandingan demokratisasi. Indonesia berhasil melakukan reformasi demokratis selama satu dekade pertama pasca-1998 dalam keadaan politik dan ekonomi stabil.
Memasuki perjalanan selanjutnya, muncul tanda-tanda demokrasi mengalami stagnasi dan bahkan sejumlah akademisi serta pengamat Indonesia menandai terjadi kemunduran. Diskusi mengenai situasi demokrasi Indonesia mengisi buku Democracy in Indonesia, From Stagnation to Regression? dengan Thomas Power dan Eve Warburton sebagai editor (ISEAS, 2020).
Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia; Demokrasi di Indonesia, Dari Stagnasi ke Regresi? oleh Usman Hamid, Darmawan Triwibowo, dan Anita Wahid, serta diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, Public Virtue, dan Kurawal Foundation. Dalam buku ini ada 17 artikel yang ditulis 21 kontributor.
Buku dibagi menjadi lima bagian; perspektif historis dan komparatif; polarisasi dan populisme; dukungan populer untuk demokrasi; institusi demokrasi; serta hukum, keamanan, dan ketidakteraturan.
Judul buku menggunakan tanda tanya, mengindikasikan sesuatu hal yang bersifat dinamis. Terdapat sejumlah peristiwa atau kebijakan yang menunjukkan tanda-tanda demokrasi menurun, tetapi juga ada titik-titik cerah.
Di antara tanda-tanda cerah itu adalah masih kuatnya dukungan masyarakat pada demokrasi yang ditunjukkan melalui pembelaan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Masyarakat juga masih antusias mengikuti pemilu.
Di luar buku, survei Litbang Kompas menunjukkan, meski menurun, warga masih memberikan nilai di atas 70 persen untuk kepuasan kinerja pemerintahan bidang politik dan keamanan, penegakan hukum, serta kesejahteraan sosial (Kompas, 18/10/2021).
Penting
Dalam diskusi peluncuran buku Demokrasi di Indonesia edisi bahasa Indonesia 24 Oktober 2021, Jaksa Agung 1999-2001 Marzuki Darusman menyebut buku ini karya terpenting setelah buku Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (1986).
Buku Robison yang menjadi klasik mengenai politik dan ekonomi Indonesia itu menganalisis pembentukan modal di Indonesia melalui perusahaan milik negara, militer, dan swasta, benturan antara modal asing dan dalam negeri, antara pribumi dan nonpribumi, serta antara perusahaan milik negara dan swasta. Buku ini sempat dilarang di Indonesia karena mengungkap praktik KKN penguasa.
Demokrasi di Indonesia ditulis cendekiawan serta peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga kajian di Amerika Serikat, Australia, Indonesia, dan Singapura. Materi di dalam buku ini sebagian besar berasal dari pengembangan makalah dalam pertemuan tahunan ke-37 Indonesia Update yang diadakan Australian National University, di Canberra, 6-7 September 2019.
Argumentasi buku ini dibangun dengan melihat institusi penentu akuntabilitas pemerintahan sebagai salah satu indikator demokrasi. Power menyebut, institusi tersebut adalah adanya pemilu dan oposisi resmi berupa partai politik, lembaga penegakan hukum dan lembaga yudisial yang independen, media yang bebas dan berkualitas, serta oposisi tidak resmi dan aksi unjuk rasa. Media yang bebas adalah media yang dapat menyajikan informasi tanpa dipengaruhi kepentingan pemilik modal.
Sejumlah indikator
Ancaman terhadap demokrasi Indonesia datang dari atas, yaitu dari elite politik dan lembaga resmi pemerintah, serta dari bawah dalam bentuk tindakan antidemokrasi dengan dukungan akar rumput.
Terdapat situasi struktural yang menyebabkan sulit terjadi pendalaman demokrasi di Indonesia: pertumbuhan ekonomi stabil, tetapi rendah, ketimpangan kekayaan yang mencolok, politik patronase, korupsi yang endemis, dan warisan otoritarianisme politik dan sosial. Abdil Mughis Mudhoffir (Bab 7) menjelaskan, ketimpangan kekayaan dimanfaatkan dalam bingkai agama untuk memobilisasi massa di balik isu politik kelompok berbasis agama.
Urbanisasi dan pengetahuan yang memadai sebagai indikator sosial ekonomi berhubungan positif dengan lembaga politik lokal sehingga, menurut Puspa Delima Amri dan Mochamad Pasha, di bab 12 harus ada lembaga politik dan mekanisme partisipasi di masyarakat miskin dan perdesaan.
Kemunduran demokrasi yang disebabkan elite ditunjukkan Ken Setiawan (Bab 13) melalui penggunaan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengkiriminalkan lawan politik, jurnalis, aktivis, dan warga biasa.
Sementara Nava Nuraniyah (Bab 5) memperlihatkan konflik di akar rumput dengan argumen keagamaan antara ormas besar keagamaan dan ormas yang lebih puritan. Cara penyelesaian konflik dengan menekan kelompok puritan justru memperdalam polarisasi dan regresi demokrasi.
Walakin, ada sisi yang memberikan harapan. Allen Hickens dan Dan Slater (Bab 2 dan Bab 3) menyebut demokrasi Indonesia terus menguat dan kemundurannya tidak sedramatis di Filipina dan Thailand. Di dua negara itu, pemimpin yang berkuasa terbuka menyerang kelembagaan demokrasi, termasuk pemilu, peradilan, dan kebebasan pers.
Selain itu, Indonesia memiliki warisan sejarah yang unik, yaitu keberagaman yang membentuk nasionalisme dan lembaga negara yang kuat. Meski demikian, keduanya mengingatkan ada masalah dalam kebebasan individu dan ruang bagi organisasi masyarakat sipil, pelemahan partai politik, dan polarisasi politik.