Surat Telegram Panglima TNI yang Memicu Perdebatan
Syarat izin komandan untuk polisi dan aparat hukum lainnya memeriksa prajurit TNI yang diduga melanggar hukum dinilai melanggar asas persamaan di hadapan hukum. Namun, pihak TNI beralasan ada asas kesatuan komando.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya surat telegram Panglima TNI terkait prosedur pemeriksaan dugaan pelanggaran hukum prajurit TNI oleh personel Polri atau aparat penegak hukum lainnya yang harus melalui komandannya memantik diskusi. Diskusi meluas pada belum direvisinya Undang-Undang Peradilan Militer.
Fachrizal Afandi, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Rabu (24/11/2021), menilai surat telegram (ST) Panglima TNI ini sebagai bentuk pelanggaran asas persamaan di hadapan hukum. Pemanggilan seorang prajurit dalam rangka proses hukum harus melalui komandan adalah bentuk penyaringan. Komandan menjadi sosok berkuasa yang memiliki penilaian subyektif.
”Komandan jadi seperti saringan. Malah bisa jadi menghambat penegakan hukum di kalangan militer sendiri karena subyektif,” kata Fachrizal.
Namun, menurut Kepala Oditurat Militer Tinggi II Jakarta Brigadir Jenderal Edy Imran, dalam proses hukum di internal TNI, untuk memeriksa seorang prajurit, sudah berlaku syarat adanya izin dari komandan prajurit tersebut.
Syarat itu berlaku baik saat pemeriksaan oleh Polisi Militer maupun Oditurat Militer sebagai penuntut. Semua harus meminta izin kepada komandan. Edy membenarkan bahwa komandan memiliki kewenangan.
”Karena di dalam militer ada asas kesatuan komando sehingga memberikan kewenangan kepada komandan,” kata Edy.
ST Panglima TNI tersebut ditandatangani Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Eko Margiyono mewakili Marsekal Hadi Tjahjanto, 5 November lalu. Surat itu diterbitkan karena proses pemanggilan prajurit dari Polri yang disebutkan tidak sesuai hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman dan demi ketaataan hukum prajurit, pemanggilan prajurit TNI oleh Polri dan aparat penegak hukum yang lain dalam rangka proses hukum harus melalui komandan.
Kalau proses pemanggilan tidak sesuai prosedur, para komandan diminta berkoordinasi dengan penegak hukum tersebut. Prajurit yang memberikan keterangan terkait bisa melakukannya di kantornya atau kantor penegak hukum, dengan didampingi perwira penegak hukum.
Banyaknya anggota militer aktif yang masuk ke dalam ranah sipil, menurut Fachrizal, kian menjadi potensi masalah dengan adanya ST ini.
Ia menilai, secara umum saat ini terjadi tren bahwa Indonesia kembali ke masa pra-Reformasi. Fachrizal merujuk tahun 1951-1957 ketika Jaksa Agung Suprapto banyak menindak anggota militer yang korupsi karena terlibat penyelundupan. Militer lalu meminta agar semua penyidikan perlu meminta izin dari komandan.
”Walaupun memang ada pasal komandan bisa kena pasal menghalangi-halangi penyidikan, pada praktiknya mana berani penegak hukum sipil melawan. Lihat saja kasus korupsi AW-101 yang lalu,” kata Fachrizal.
Namun, Edy Imran mengklaim, selama 30 tahun kariernya di bidang hukum, ia tidak pernah menemukan ada komandan yang menghalang-halangi proses hukum terhadap anggotanya. Edy mengatakan, proses hukum di militer lebih berat karena, selain hukum pidana, ada catatan di riwayat hidup yang bersangkutan sehingga membahayakan karier. ”Sekarang saja banyak kasus militer lewat busway yang diproses hukum oleh PM (Polisi Militer) dan itu ada di catatan kariernya,” kata Edy.
Edy mengatakan, substansi ST tersebut adalah penyegaran dari aturan yang sudah ada. ST tersebut dibuat berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Menurut Edy, tidak ada pasal yang spesifik terkait kewenangan komandan. Sebab, hampir semua proses hukum harus disampaikan melalui komandan.
”Semua proses, sidik, tuntut, sampai eksekusi, harus meminta izin kepada komandan,” katanya.
Fachrizal menganggap alasan kesatuan komando seharusnya tidak berlaku dalam kondisi damai. Memang, dalam kondisi perang, seorang komandan perlu mengetahui dan menghitung kekuatan satuannya sehingga kalau ada orang yang sangat ahli dalam satu bidang, tetapi harus keluar karena proses hukum, komandan berhak atas nama kepentingan yang lebih besar.
Namun, menurut dia, ST itu adalah imbas dari belum direvisinya UU Peradilan Militer. Padahal, revisi UU Peradilan Militer adalah amanat Tap MPR.