Interupsi anggota DPR Fraksi PKS di sidang paripurna tak digubris pimpinan sidang. Berujung pada celetukan Fahmi yang membuat Ketua Fraksi PDI-P Utut Adianto menghampirinya. Bagaimana posisi interupsi dalam sidang DPR?
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
”Saya minta waktu pimpinan, interupsi. Pimpinan, saya minta waktu. Pimpinan, mohon maaf saya minta waktu. Pimpinan, saya A 432 pimpinan,” ujar anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahmi Alaydroes, kala meminta interupsi kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani saat menutup Rapat Paripurna Ke-9 DPR Tahun Sidang 2021-2022, Senin (8/11/2021).
Interupsi hingga empat kali dari peserta rapat paripurna itu tak digubris Puan. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu melanjutkan kalimat penutup rapat hingga mengetok palu tiga kali pertanda rapat ditutup. Kalimat penutupnya pun bersahutan dengan interupsi dari Fahmi sehingga kalimatnya tidak terdengar dengan jelas. Terdengar celetukan: ”Gimana mau jadi capres kalau kayak begitu”. Namun, tak jelas diketahui dari mana asal celetukan itu.
Rapat paripurna tersebut digelar dengan agenda tunggal, yakni laporan Komisi I DPR atas hasil uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap calon Panglima TNI dilanjutkan pengambilan keputusan. Rapat yang dimulai sekitar pukul 10.19 itu akhirnya berakhir pada pukul 10.41. Setelah sidang ditutup, Ketua Fraksi PDI-P Utut Adianto menghampiri Fahmi. Utut sempat menunjuk-nunjuk Fahmi.
”Yang memimpin sidang itu berhak, interupsi diterima atau tidak. Tadi, kan, di awal bilang agendanya tunggal, yaitu masalah laporan Komisi I DPR mengenai Panglima TNI. Interupsi bisa di tempat lain supaya kesakralannya terjaga,” kata Utut seusai paripurna.
Menurut Fahmi, sedianya dia ingin memberikan interupsi terkait dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun, interupsi itu batal disampaikan di forum rapat paripurna karena tak diberi kesempatan berbicara oleh ketua rapat.
Ia pun meminta permasalahan interupsi saat rapat paripurna tidak diperpanjang karena dirinya sudah menyampaikan permintaan maaf. ”Tapi, ini jadi pelajaran besar terutama untuk pimpinan DPR untuk menghargai dan menjamin hak konstitusi sebagai anggota Dewan,” ujarnya.
Meskipun diklaim persoalan itu sudah tuntas, sejumlah media sosial PKS justru mengunggah potongan video interupsi Fahmi yang diabaikan Puan. Di Instagram, misalnya, unggahan soal interupsi diunggah akun @pk_sejahtera yang merupakan akun resmi DPP PKS dan @fraksipksdprri yang merupakan akun resmi Fraksi PKS di DPR.
Ketua DPP PKS Muzzammil Yusuf meminta Puan menghargai hak-hak setiap anggota DPR. ”Tugas dan kewajiban pimpinan sekaligus tugas dan kewajiban anggota bahwa anggota juga punya hak untuk menyampaikan aspirasi tersebut,” katanya.
Ia kemudian merujuk pada Pasal 256 Ayat 6 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang menyebutkan, ”Dalam rapat paripurna, setiap anggota diberi waktu untuk bicara atau mengajukan pertanyaan paling lama lima menit dan bagi juru bicara diberi waktu paling lama tujuh menit dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebijaksanaan ketua rapat”.
Oleh karena itu, ia mengimbau pimpinan rapat dalam setiap rapat paripurna agar merujuk aturan itu. Apalagi, PKS sebagai partai di luar pendukung pemerintahan memanfaatkan interupsi dalam menyalurkan aspirasi.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengemukakan, interupsi yang ingin disampaikan Fahmi merupakan bagian dari pengawasan. Interupsi itu untuk menyampaikan ide dan gagasan yang konstruktif, yang membangun. Apalagi jika ada kebijakan yang dinilai tidak sesuai dengan undang-undang. ”Bukan dalam rangka juga baper karena ada yang bilang oposisi diam aja, cuma nyinyir di media sosial, tidak,” katanya.
Kontroversi dalam rapat paripurna tak hanya sekali terjadi. Setahun silam dalam sidang paripurna persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja, Senin (5/10/2020), mikrofon sejumlah anggota DPR dimatikan pimpinan sidang. Beberapa kali muncul bunyi ”ting tung”, yang diikuti suara anggota DPR yang tetiba hilang karena mikrofon mati.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus, menuturkan, biasanya forum rapat paripurna memberikan waktu bagi anggota untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan fungsi mereka di daerah pemilihan ataupun di komisi di DPR.
”Jadi, sulit memahami jika penyampaian aspirasi tidak digubris oleh pimpinan rapat,” katanya.
Menurut dia, pimpinan rapat tak memiliki hak untuk menentukan kualitas aspirasi sehingga memilih untuk mau mendengarkan atau tidak mendengarkan aspirasi dari anggota. Mereka justru bertugas sebagai fasilitator agar aspirasi bisa disampaikan dalam rapat.
”Tidak bijak bagi Puan mengabaikan aspirasi yang ingin disampaikan oleh anggota DPR baik dari oposisi maupun koalisi,” ucap Lucius.