Jaksa kini dapat menyelesaikan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan. Hal ini dimungkinkan setelah Jaksa Agung mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa. Melalui pedoman tersebut, jaksa dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Minggu (7/11/2021), mengatakan, Pedoman Jaksa Agung No 18/2021 tersebut menjadi acuan bagi penuntut umum guna optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif. Pedoman tersebut mulai berlaku pada 1 November 2021.
”Latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut adalah memperhatikan sistem peradilan pidana saat ini cenderung punitif, yang tecermin dari jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (overcrowding) dan sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika,” kata Leonard.
Oleh karena itu, lanjut Leonard, diperlukan kebijakan strategis dalam menangani perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui reorientasi kebijakan dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Melalui reorientasi tersebut tugas dan kewenangan kejaksaan di bidang penuntutan dilakukan melalui optimalisasi lembaga rehabilitasi.
Leonard mengatakan, penyelesaian tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi tidak dapat dipisahkan dari pendekatan keadilan restoratif. Dengan demikian, yang dituju adalah memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime.
”Serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, asas pidana sebagai upaya terakhir, cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku,” ujar Leonard.
Pedoman No 18/2021 terdiri dari sembilan bab. Ruang lingkup pedoman meliputi pra-penuntutan, penuntutan, pengawasan, pelatihan, dan pembiayaan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Setelah Pedoman No 18/2021 mulai berlaku pada 1 November 2021, tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 Ayat (1) UU Narkotika yang perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan, penanganan perkaranya dilakukan berdasarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021.
Center for Detention Studies (CDS) memperkirakan ada overcrowing 82 persen pada 2025. Angka tersebut diperoleh dari analisis terhadap jumlah tahanan dan narapidana masuk dan keluar dari tahun 2016 hingga 2020. Dari hasil analisis tersebut, CDS membuat prediksi jumlah pengghuni LP dan rutan untuk lima tahun ke depan.
Menurut CDS, semisal terpidana pengguna narkoba dan terpidana dengan hukuman di bawah 5 tahun dikeluarkan sampai habis sehingga yang tersisa adalah narapidana dengan hukuman 5 tahun ke atas, sampai tahun 2025, LP dan rutan tetap melebihi kapasitas sampai 82 persen. (kompas.id, 15/10/2021)
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengapresiasi dikeluarkannya Pedoman No 18/2021. Hal itu dinilainya memperlihatkan semangat kejaksaan untuk mengubah kultur punitif dalam budaya hukum Indonesia yang senang menghukum dengan pembalasan. Padahal, sistem pemidanaan modern saat ini sudah berubah menjadi sistem yang korektif, rehabilitatif, dan restoratif.
”Selain akan berdampak positif terhadap penanggulangan narkotika, pendekatan ini (restoratif) juga akan berkontribusi membantu mengurangi overcrowding karena kasus narkotika adalah penyumbang terbesar masalah overcrowding di lapas Indonesia,” tutur Taufik.
Menurut Taufik, penanggulangan narkotika mestinya dilakukan secara komprehensif, tidak hanya berdasarkan pendekatan hukum, tetapi juga dengan aspek kesehatan. Terdapat tiga metode yang harus dilaksanakan secara bersamaan, yakni mengurangi suplai (supply reduction), mengurangi permintaan (demand reduction), dan mengurangi dampak buruk (harm reduction).
Dalam persoalan narkotika, lanjut Taufik, akan berlaku hukum ekonomi. Jika hanya dilakukan pengendalian peredaran dengan penegakan hukum, tetapi tidak diikuti mengurangi permintaan atau memperkecil pasar, persoalan narkotika masih akan terus terjadi.
Sementara itu, ketika peredaran narkotika berkurang karena penegakan hukum, tetapi selama permintaan masih tinggi, suplai narkotika akan tetap diupayakan. Karena itu, lanjut Taufik, pasarnya harus diperkecil dengan cara menyembuhkan pengguna narkotika.
”Tidak ada gunanya memidana pengguna jika setelah menjalankan pidana, yang bersangkutan masih menjadi pengguna dan masih terus menjadi pasar bagi pengedar dan bandar,” kata Taufik.