Kurangi Beban Lapas, Penegak Hukum Didorong Optimalkan Rehabilitasi Pencandu Narkotika
Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia dengan kapasitas 135.561 harus menampung 266.063 tahanan dan narapidana per 9 September lalu. Sebanyak 136.030 atau 51 persen di antaranya merupakan narapidana narkotika.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, hingga hakim di pengadilan didorong untuk mengedepankan pendekatan rehabilitatif dalam menangani perkara yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika secara pribadi. Pemenjaraan pengguna narkotika akan berdampak sistemik terhadap manajemen serta pengelolaan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Pasalnya, saat ini lebih dari 50 persen penghuni lapas adalah mereka yang terlibat kasus narkotika.
Kondisi lapas yang kelebihan beban atau penghuni (overcrowding) ini telah menjadi persoalan menahun dan belum bisa diatasi. Sebagai dampak ikutannya, lapas yang kelebihan beban kesulitan dalam menerapkan standar keamanan dan keselamatan yang ideal. Kondisi ini berisiko memicu terjadinya persoalan dan konflik di dalam lapas. Hal ini juga berpotensi melanggar hak-hak pencandu yang semestinya direhabilitasi dan bukannya dipenjarakan.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS), Gatot Goei, mengatakan, aparat penegak hukum sebenarnya bisa mengoptimalkan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalam UU itu sebenarnya sudah diatur mengenai kewajiban rehabilitasi bagi pencandu narkotika yang diatur di dalam Pasal 54, yakni agar mereka menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hakim juga telah diatur secara eksplisit di dalam Pasal 127 UU Narkotika untuk memberikan putusan rehabilitasi bagi pencandu yang menggunakan narkotika bagi diri mereka sendiri.
Dalam peraturan di internal aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun MA, bahkan sudah ada kebijakan untuk merehabilitasi pengguna narkotika. Namun, aturan itu belum dioptimalkan. Gatot menilai, Kementerian Hukum dan HAM juga harus menunjukkan intensi untuk merehabilitasi pengguna narkotika. Salah satu caranya ialah dengan mempercepat para napi narkotika, terutama yang merupakan pencandu, bukan pengedar atau bandar, untuk keluar dari lapas.
”Tahun 2020, sebenarnya sudah ada upaya untuk percepatan asimilasi ini, yakni dengan alasan Covid-19. Banyak napi dikeluarkan dan diberikan asimilasi. Kebijakan semacam ini akan lumayan mengurangi beban lapas. Namun, untuk memastikan seorang pencandu itu betul pengguna atau dia pengedar dan bandar, Kemenkumham harus bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN),” kata Gatot, Sabtu (11/9/2021), di Jakarta.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 9 September 2021, jumlah tahanan dan narapidana di Indonesia 266.063 orang dengan kapasitas seharusnya sebanyak 135.561 orang, dengan kata lain kelebihan kapasitas 130.502 orang atau 96 persen. Adapun jumlah narapidana narkotika 136.030 orang, 51 persen dari total warga binaan.
Atasi problem narkotika
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional Pangeran Khairul Saleh mengatakan, salah satu penyebab tingginya narapidana narkotika di dalam lapas ialah banyaknya kasus penyalahgunaan narkoba yang berakhir pidana. Ini karena sistem peradilan pidana di Indonesia yang bergantung pada penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Padahal, banyak hukuman alternatif lain yang bisa menjadi pertimbangan.
”Permasalahan yang terjadi di Indonesia selama ini, penanganan terhadap penyalahgunaan narkoba termasuk pengguna lebih menekankan pada aspek pemidanaan dan bukan dari aspek Kesehatan,” katanya.
Khairul sepakat penerapan paradigma dekriminalisasi dalam penanganan kasus narkotika, khususnya bagi penyalah guna narkotika. Konsep dekriminalisasi pengguna narkotika dilaksanakan dalam konsep kesehatan masyarakat.
”Ini merupakan kunci utama dari pergeseran pandangan kriminalisasi (pidana) pengguna narkoba ke dekriminalisasi. Pidana tidak lagi mampu menjawab persoalan yang sesungguhnya dihadapi dalam masalah narkoba yaitu masalah kesehatan masyarakat. Dekriminalisasi pengguna narkoba akan memberikan dampak yang sangat signifikan pada overkapasitas lapas. Secara langsung akan mengurangi beban lapas, termasuk anggaran dan ketersediaan fasilitas serta sumber daya manusia,” katanya.
Ia menilai, UU Narkotika yang sudah ada sekarang telah mengatur hal itu. Namun, yang harus ditingkatkan adalah proses asesmen oleh BNN terhadap tersangka pelaku tindak pidana narkotika. Penilaian itu akan menentukan apakah seseorang itu dapat dikategorikan sebagai pencandu atau bukan. Jika tim asesmen terpadu yang terdiri dari tim hukum dan tim dokter menentukan seseorang itu pencandu, orang tersebut dapat direhabilitasi. Namun, jika tidak demikian, pemidanaan dapat dilakukan.
”Lapas merupakan akhir dari proses peradilan pidana. Penanganan overkapasitas di dalam lapas perlu dilakukan dari awal proses peradilan. Asesmen bagi penyalah guna narkoba harus benar-benar dilakukan sehingga pemidanaan tepat sasaran. Penanganan yang tepat bagi pencandu dan pengguna narkoba adalah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, bukan ditahan di dalam lapas. Jika hal tersebut bisa dilakukan dengan baik, masalah overkapasitas di dalam lapas bisa berkurang,” kata Khairul.
Namun, menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, UU Narkotika itu tetap perlu direvisi untuk memperjelas dekriminalisasi terhadap pencandu narkotika. UU Narkotika yang ada sekarang masih cenderung memenjarakan orang karena, baik rehabilitasi sosial maupun rehabilitasi medis, masih dihitung sebagai bagian dari penghukuman, bukan pelayanan kesehatan bagi pencandu yang merupakan korban narkotika. Perspektif di dalam UU Narkotika masih menempatkan pencandu sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang harus direhabilitasi, bukan korban narkotika.
Hal lainnya ialah ketentuan mengenai rehabilitasi yang diatur di dalam Pasal 54 dan Pasal 55 UU Narkotika, serta dikuatkan dengan Pasal 127 UU Narkotika, berpotensi untuk rancu dengan penafsiran atas Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 114, yang mengatur soal peredaran gelap narkotika. ”Pengguna narkotika sering terjerat pasal penguasaan, pembelian, dan kepemilikan yang harusnya hanya untuk peredaran gelap sehingga mereka pun dipenjara,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Maidina, revisi UU Narkotika perlu segera dilakukan untuk mendorong alternatif kebijakan narkotika Indonesia yang jauh dari watak pemenjaraan. Dekriminalisasi ini akan menempatkan narkotika kembali ke dalam diskursus persoalan kesehatan. ”Hal ini akan membawa sejumlah manfaat, seperti misalnya terkendalinya tingkat penggunaan narkotika sehingga dapat mengakses layanan kesehatan serta model ini meringankan beban sistem peradilan. Dekriminalisasi juga bisa diselaraskan dengan sanksi administratif atau model lain di luar pidana,” ujarnya.
Sebelumnya, Dirjen Perundang-undangan Kumham Benny Riyanto mengatakan, pihaknya tengah mengupayakan agar ada tiga RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 dan 2022. Tiga RUU itu ialah RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Narkotika. ”Ketiganya jika memungkinkan akan didorong masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Namun, kalau untuk RUU Narkotika pembahasannya agak panjang dan kemungkinan masuk ke Prolegnas Prioritas 2022, sedangkan RKUHP dan RUU PAS sudah hampir final,” ucapnya.
Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, untuk tiga RUU itu, pihaknya mendukung untuk dibahas di DPR. Dengan pembuatan regulasi itu, diharapkan dapat dilakukan perbaikan sistem peradilan pidana secara komprehensif dari hulu ke hilir. Namun, semua pengusulan RUU itu akan sangat bergantung kepada intensi pemerintah. Sebab, ketiganya adalah RUU inisiatif pemerintah.