Presiden Jokowi Dinilai Sukses Wujudkan Kepemimpinan Pancasila
Mantan Deputi I Kantor Staf Presiden Darmawan Prasodjo bersama Tim Hannigan meluncurkan buku biografi Presiden Joko Widodo berjudul “Jokowi and The New Indonesia, a Political Biography”.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desain kebijakan dan pembangunan yang dibuat selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo dinilai sudah merepresentasikan amanat sila kelima Pancasila. Alih-alih sekadar membuat konstruksi secara fisik, pembangunan infrastruktur yang menjadi ciri khasnya dianggap telah merintis jalan untuk kemakmuran masyarakat. Hal itu banyak dipengaruhi karakter dan latar belakangnya yang memunculkan empati terhadap kehidupan masyarakat.
Demikian terungkap dalam diskusi buku Jokowi and The New Indonesia, a Political Biography yang ditulis mantan Deputi I Kantor Staf Presiden Darmawan Prasodjo bersama Tim Hannigan, jurnalis dan akademisi asal Inggris yang fokus pada studi Indonesia dan Asia Selatan. Diskusi diselenggarakan secara daring pada Jumat (5/11/2021) petang. Selain Darmawan dan Hannigan, diskusi juga dihadiri mantan Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Antonius Agus Sriyono, serta Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya.
Darmawan menjelaskan, kesan itu merupakan kesimpulannya setelah menganalisis desain kebijakan dan pembangunan yang dibuat Presiden Joko Widodo dalam periode pertama kepemimpinannya (2014-2019). Saat itu, Darmawan yang menjabat sebagai Deputi I KSP kerap mendampingi Jokowi membuat keputusan dalam berbagai rapat kabinet terbatas. Pada masa kampanye pemilihan presiden, Darmawan juga merupakan bagian dari tim ahli yang banyak berdiskusi dengan Jokowi.
Ia mencontohkan, pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan Jokowi merupakan refleksi Presiden terhadap kekayaan sumber daya alam Indonesia yang cenderung tak bisa dimanfaatkan masyarakat. Sebagian besar warga yang tinggal di daerah kaya sumber daya alam justru hidup dalam kemiskinan. Jokowi juga prihatin terhadap banyak destinasi wisata yang tidak bisa diakses karena tidak ada bandara dan akses jalan yang layak.
Ketiadaan konektivitas juga berakibat pada kesenjangan harga komoditas. Bahan bakar minyak (BBM) salah satunya. Di sejumlah daerah, harga BBM sangat tinggi sehingga sulit dijangkau masyarakat. ”Indonesia punya sumber daya alam yang luar biasa, tetapi tidak ada konektivitas, harga BBM di beberapa tempat juga sangat tinggi. Ini yang Pak Jokowi sebut menyebabkan kemiskinan terstruktur,” kata Darmawan.
Oleh karena itu, lanjutnya, Jokowi selalu mengatakan permasalahan struktural ini harus diselesaikan. Salah satunya dengan pembangunan jalan serta menyamakan harga BBM di seluruh wilayah di Indonesia. Hal itu kemudian mewujud dalam kebijakan membangun berbagai jalan serta BBM satu harga.
Pembangunan jalan dan penyamaan harga BBM di berbagai tempat itu kini terbukti telah menghidupkan potensi ekonomi yang ada, termasuk di wilayah perbatasan. Masyarakat bisa menggerakkan roda ekonomi dengan memanfaatkan hasil pembangunan tersebut. Ini sesuai dengan prinsip Jokowi yang dalam jangka panjang ingin mengubah pola ekonomi berbasis konsumsi yang selama ini berlangsung di Indonesia menjadi ekonomi berbasis produktivitas.
Menurut Darmawan, tidak banyak pemimpin yang bisa jeli memutus salah satu mata rantai penyebab kemiskinan struktural. Ini menandakan bahwa dalam membuat desain kebijakan dan pembangunan, Jokowi menggunakan perspektif keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana tertuang dalam sila kelima Pancasila. ”Sila kelima Pancasila benar-benar diterapkan, tidak hanya pada kebijakan tetapi juga dalam operasionalisasinya di lapangan,” katanya.
Karakter
Darmawan menambahkan, perspektif dalam membuat desain kebijakan dan pembangunan itu tidak terlepas dari karakter dan latar belakang kehidupan yang membentuknya. Jokowi lahir dari keluarga biasa yang tinggal di tepi sungai di Solo. Itu menyebabkan ia terbiasa dengan kehidupan sederhana dan memahami betul apa yang dirasakan rakyat.
Karena itu, pada awal masa pemerintahannya Jokowi mengubah mekanisme pembagian bantuan sosial dari pengambilan secara langsung menjadi transfer dana bank, yang diwujudkan dalam pemberian berbagai jenis kartu bantuan. Transfer dana itu dinilai memudahkan warga mendapatkan bantuan, tidak perlu mengantre karena umumnya warga yang mendapatkan bantuan sudah berusia lanjut.
”Dari sini terlihat suatu karakter yang empati, tepo seliro, dan ini menjadi karakter pembangunan bangsa,” ujarnya.
Hannigan menambahkan, Jokowi memang merupakan sosok yang berbeda dibandingkan pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya. Ia memiliki latar belakang sosial kelas menengah dan berprofesi sebagai pengusaha kayu sehingga dianggap lebih dekat dengan masyarakat. Perbedaan ini juga yang merupakan kunci kesuksesan Jokowi dalam memimpin negara.
Di pergaulan internasional, Jokowi juga merupakan sosok yang komunikatif dan hangat terhadap pemimpin negara sahabat. Akan tetapi, Hannigan juga melihat Jokowi sebagai pemimpin yang ”tidak beruntung” karena harus berhadapan dengan pandemi Covid-19. Tidak bisa dimungkiri, pandemi yang terjadi di awal periode kedua kepemimpinannya telah menghentikan banyak rencana besar yang telah ia susun.
Menurut Edbert, situasi pandemi ini merupakan kesempatan bagi Indonesia dan pemimpinnya untuk mulai berpikir panjang. Mempersiapkan perencanaan untuk menghadapi situasi tak terduga. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah karena cenderung belum dilakukan oleh pemimpin negara.