Isu tidak substansial yang kerap disebarkan pasukan siber melemahkan debat publik. Propaganda disinformasi yang masif di media sosial juga membingungkan publik.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan agar tidak menggunakan pasukan siber, apalagi untuk tujuan membela kebijakan atau kepentingan pemerintah. Penggunaan pasukan siber berisiko bagi demokrasi. Sebab, peran mereka yang dinilai kerap menyebarkan isu yang tak substansial dapat melemahkan debat publik. Alih-alih pasukan siber, pemerintah lebih baik merekrut ahli yang memiliki banyak pengikut di media sosial sebagai pemengaruh.
Penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah; Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta; perusahaan analisis data Drone Emprit; University of Amsterdam; dan KITLV Leiden yang dipublikasikan pada 2021 menemukan bahwa pasukan siber (cyber troop) berperan dalam memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah. Di antaranya terkait dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) 2019, kebijakan normal baru jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan UU Cipta Kerja pada 2020.
Penelitian yang dimulai sejak 2019 ini menggabungkan metode dari beberapa disiplin ilmu, yakni dengan analisis komputasi data, etnografi, etnografi digital. Tim memeriksa percakapan di media sosial tentang Pemilu 2019, revisi UU KPK, kebijakan normal baru, dan persoalan di Partai Demokrat. Para peneliti juga mewawancarai 78 informan yang bisa dikategorikan sebagai pasukan siber.
Setelah dirilis pertengahan Oktober lalu, sejumlah peneliti memaparkan lebih dalam hasil penelitiannya dalam diskusi daring bertajuk ”Pasukan Siber, Manipulasi Opini Publik dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia”, Senin (1/11/2021).
Profesor Antropologi Politik Komparatif di University of Amsterdam yang juga peneliti senior di KITLV, Leiden, Ward Berenschot, menjelaskan, berdasarkan wawancara ke-78 orang tersebut pasukan siber di Indonesia dapat terbagi dalam empat level. Keempat tingkatan itu di antaranya pendengung (buzzer), pembuat konten (content creator), dan koordinator atau pihak yang membentuk jejaring ini. Selain itu, ada pula pemengaruh (influencer), yakni tokoh populer yang memiliki banyak pengikut di media sosial.
Pasukan siber di Indonesia, kata Ward, bekerja untuk melakukan propaganda di media sosial dalam struktur yang cair. Mereka yang terbentuk dari tradisi tim sukses Pemilihan Kepala Daerah 2012 disatukan oleh proyek kampanye yang tengah dijalankan, kemudian bubar setelah kampanye usai. Setiap orang bekerja secara terpisah dan umumnya berkomunikasi secara daring.
”Pasukan siber digunakan oleh elite politik, pengusaha, dan juga pemerintah untuk membela kepentingan mereka,” kata dia.
Untuk pekerjaan tersebut, pasukan siber dibayar sesuai dengan posisi yang diemban. Pendengung dan konten kreator, misalnya, mendapatkan gaji Rp 3-4 juta per bulan, sedangkan koordinator upahnya Rp 13 juta per bulan. Sementara itu, pemengaruh bisa mendapatkan honor Rp 20 juta per bulan atau menjabat sebagai komisaris di sebuah perusahaan dan mendapatkan proyek pemerintah. ”Karena pasukan siber ini mahal, bisa kita simpulkan bahwa mereka adalah alat orang-orang kaya dan orang berkuasa di Indonesia,” ujar Ward.
Penelitian juga menemukan indikasi bahwa uang negara turut digunakan untuk membiayai aktivitas pasukan siber. Dalam kebijakan normal baru, misalnya, pemerintah disebut menggunakan anggaran dari pos dana sosialisasi untuk membayar pasukan siber.
”Hal yang dikhawatirkan dengan penggunaan pasukan siber ini adalah ada indikasi pemerintah sedang ’menjual’ kebijakan mereka secara anonim. Publik mendapatkan impresi dari orang yang terlihat riil mendukung pemerintah, tetapi ternyata dibayar,” kata Ward.
Menurut dia, penggunaan pasukan siber ini berisiko bagi demokrasi. Sebab, peran mereka yang kerap menyebarkan isu yang tidak substansial dapat melemahkan debat publik. Propaganda disinformasi yang masif di media sosial juga mebimbulkan kerancuan bagi masyarakat sehingga sulit untuk memastikan kebenaran informasi dan memperlemah akuntabilitas. Keberadaan pasukan siber yang memperkuat posisi elite juga akan memperlebar kesenjangan politik.
Manipulatif
Kreator Drone Emprit sekaligus pengajar di UII Ismail Fahmi menambahkan, tugas utama pasukan siber adalah melakukan propaganda di media sosial untuk membangun atau memanipulasi opini publik terhadap sebuah isu. Caranya, mula-mula dengan membuat akun palsu, baik secara otomatis, manual, maupun membajak akun-akun yang tidak terproteksi dengan baik.
Dengan akun-akun tersebut, pasukan siber biasanya akan menyebarkan informasi dari media daring yang tidak terverifikasi.
Mereka juga kerap melakukan trolling atau berkomentar negatif secara masif pada suatu berita atau unggahan, kemudian bertarung narasi dengan pasukan siber lainnya.
Ismail menambahkan, saat bertugas, pasukan siber tidak melulu mendominasi narasi dengan konten yang banyak. Mereka justru mengutamakan agar tagar yang tengah dikemukakan selalu muncul setiap hari meski jumlahnya sedikit.
Ini yang tidak bisa dilakukan oleh warganet karena mereka tidak punya energi dan sumber daya yang sepadan untuk terus menerus menyuarakan isu yang sama dalam waktu panjang.
Contohnya, dalam perang narasi seputar UU Cipta Kerja pada Oktober 2020, penolakan publik di media sosial hanya bertahan sekitar tiga hari. Mulai dari pengesahan UU hingga muncul sejumlah demonstrasi. Namun, pasca-unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja mereda, suara publik yang menolak UU di media sosial juga meredup. Sementara itu, pasukan siber dengan wacana dukungan terhadap UU Cipta Kerja masih bertahan hingga beberapa pekan setelahnya.
”Ini seperti strategi maraton melawan sprint. Energi para aktivis itu besar, tetapi habis di tengah. Mereka kalah dibandingkan kalangan buzzer yang memang mengangkat tagar-tagar untuk sepanjang masa,” kata Ismail.
Ia menyarankan, pemerintah sebaiknya tidak menggunakan jasa pasukan siber untuk meyakinkan publik atas kebijakan yang dibuat. Ada baiknya pemerintah merekrut ahli yang juga memiliki banyak pengikut di media sosial, contohnya Yustinus Prastowo sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan. Keberadaan ahli yang juga pemengaruh dinilai akan lebih efektif bagi pemerintah untuk menyampaikan kebijakan sekaligus menjaga marwah demokrasi.
Kekerasan
Selain itu, keberadaan pasukan siber juga menyebabkan perdebatan publik yang tidak sehat. Direktur Center for Media and Democracy LP3ES sekaligus pengajar politik di Undip, Wijayanto, mengatakan, di Twitter, pasukan siber tidak segan untuk menggunakan kalimat kasar untuk menyerang akun yang terdeteksi tidak sependapat.
Wijayanto mencontohkan, warganet yang mengkritik penanganan pandemi Covid-19 dalam negeri sembari mengapresiasi apa yang dilakukan di Vietnam serta-merta dicap sebagai pendukung ideologi komunisme atau sebagai kelompok pendukung PKI gaya baru.
Asisten Profesor Antropologi Universitas Amsterdam Yatun Sastramidjaja mengatakan, pasukan siber di Indonesia memang terbentuk dari tradisi tim sukses dalam sebuah pemilu. Akan tetapi, entitas tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi premanisme negara yang terbentuk sejak masa Orde Baru. Oleh karena itu, dalam menghadapi pihak-pihak yang berseberangan, mereka tidak segan untuk melakukan kekerasan. Tidak terkecuali kekerasan dalam ranah digital.
Mengenai hasil penelitian terkait pasukan siber itu, Deputi IV Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro menyatakan tidak tahu-menahu adanya tim komunikasi yang bertugas mengarahkan isu di media sosial. ”Tim komunikasi seperti biasa, (tugasnya) mengabarkan saja,” ujarnya.