Ubah Citra, DPR Perbaiki Pola dan Paradigma Penggunaan Dana Reses
Besarnya pendapatan para anggota parlemen tak sebanding kinerjanya sehari-hari. Karena itu, DPR mesti memperbaiki pola dan paradigma penggunaan dana dan fasilitasnya yang lebih transparan dan akuntabel di masa datang.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan dana-dana fasilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dikembalikan kepada rakyat yang cenderung tidak transparan ditengarai membuat kepercayaan publik terhadap DPR kian tergerus. DPR mesti memperbaiki pola dan paradigma penggunaan dana dan fasilitas yang lebih transparan dan akuntabel.
Hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2021 menunjukkan, persentase citra baik terhadap DPR berada di peringkat terbawah di antara 10 lembaga yang disurvei. Bahkan, yang menilai citra DPR baik menurun, yakni 61,4 persen pada April menjadi 55,5 persen pada Oktober.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas juga memperlihatkan 60,1 persen responden menilai besarnya pendapatan para anggota parlemen tak sebanding dengan kinerja mereka. Sebanyak 50,5 persen responden pun menyatakan kurang percaya pada intergitas antikorupsi anggota DPR. Adapun 47,5 persen responden menilai penggunaan dana yang ditujukan untuk masyarakat oleh anggota DPR tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan analisis Indonesia Budget Center (IBC), penghasilan dan fasilitas kegiatan yang diterima seorang anggota DPR per tahun mencapai Rp 5,02 miliar. Ini terdiri dari gaji seorang anggota DPR Rp 694 juta per tahun dan sejumlah fasilitas lain.
Fasilitas-fasilitas kegiatan tersebut jumlahnya mencapai Rp 4,3 miliar, terdiri antara lain kunjungan kerja masa reses Rp 2,3 miliar per tahun, kunjungan kerja masa reses atau masa sidang Rp 240 juta, kunjungan daerah pemilihan Rp 1,3 miliar per tahun, rumah aspirasi Rp 150 juta per tahun, kunjungan spesifik Rp 49 juta per tahun, kunjungan sosialisasi undang-undang Rp 63 juta per tahun, serta kunjungan kerja luar negeri Rp 150 juta per tahun.
Penghasilan dan fasilitas kegiatan yang diterima seorang anggota DPR per tahun mencapai Rp 5,02 miliar. Ini terdiri dari gaji seorang anggota DPR Rp 694 juta per tahun dan sejumlah fasilitas lain.
Paradigma bermasalah
Meskipun nilainya sangat tinggi, menurut Direktur Eksekutif IBC Roy Salam, transparansi dan akuntabilitas pertanggungjawaban kegiatan masih rendah. Hal ini disebabkan pola dan paradigma penggunaan fasilitas yang bermasalah.
”Kalau tidak ada perubahan pola dan paradigma, berpotensi akan terus menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan seperti pada 2020 ada temuan BPK senilai Rp 1,3 triliun dana aspirasi yang tidak ada pertanggungjawabannya,” ujar Roy.
Menurut dia, pola penggunaan fasilitas, terutama dana reses, belum menunjukkan komitmen transparansi dan akuntabilitas parlemen. Dana reses semestinya digunakan untuk operasional biaya pertemuan dan perjalanan kegiatan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Namun, sejumlah anggota DPR justru menggunakan dana reses untuk pemberian bantuan secara langsung kepada rakyat. Laporan pertanggungjawabannya pun bermasalah sehingga pernah menjadi temuan BPK. Apalagi, saat ini ada dana reses yang langsung ditransfer ke rekening pribadi anggota DPR.
”Kalau tidak ada bukti pertanggungjawaban, secara administrasi tidak ada kejelasan penggunaan dana aspirasi. Penggunaanya pun bepotensi tidak sesuai dana reses,” ucap Roy.
Kalau tidak ada bukti pertanggungjawaban, secara administrasi tidak ada kejelasan penggunaan dana aspirasi. Penggunaanya pun bepotensi tidak sesuai dengan dana reses.
Pertanggungjawaban penggunaan dana reses pun sulit diakses publik. Menurut dia, semestinya anggota DPR memberikan laporan terkait hasil, perkembangan, dan tindak lanjut dari penyampaian aspirasi publik saat reses. ”Reses juga merupakan bagian dari integritas karena menjadi pertanggungjawaban kepada konstituen,” tuturnya.
Selain itu, paradigma anggota DPR terhadap penggunaan dana reses juga mesti diubah. DPR sebagai lembaga perwakilan mestinya menyerap dan menyalurkan aspirasi, bukan langsung memberikan solusi atas permasalahan menggunakan dana reses yang mestinya diselesaikan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Oleh sebab itu, Roy mendorong DPR agar membuat aturan teknis terkait penggunaan dan pertanggungjawaban dana reses. Pola penggunaan dana reses mesti direncanakan dan dana tidak langsung ditransfer ke rekening pribadi. Masyarakat pun perlu diedukasi agar tidak menuntut dana dan anggaran langsung dari anggota DPR.
”Kalau ada proposal kebutuhan, mestinya DPR memprosesnya ke kementerian atau lembaga terkait, bukan memberikan uang dari dana reses,” katanya.
Bentuk pertanggungjawaban
Penting saat reses untuk kembali ke dapil sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus memulihkan kepercayaan publik.
Sekretaris Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, Fraksi Nasdem mendorong anggotanya mempertanggungjawabkan kegiatan reses di dapil kepada parpol. Sebab, kegiatan itu juga merepresentasikan parpol hadir di masyarakat. ”Penting saat reses untuk kembali ke dapil sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus memulihkan kepercayaan publik,” katanya.
Ia mencontohkan, dana resesnya selain digunakan untuk biaya operasional saat pertemuan, juga untuk program beasiswa kepada anak-anak dari kalangan kurang mampu. Kegiatan itu sudah dimulai sejak 2007 dan meningkat saat menjadi anggota DPR pada 2009.
”Selain untuk yang sifatnya menyerap dan mendengar aspirasi masyarakat, juga untuk keperluan bersama. Model pembiayaannya menggunakan dana reses,” ujarnya.
Terkait citra DPR yang menurun, Saan menilai penting bagi DPR sebagai institusi publik untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. DPR perlu menghapus stigma negatif yang selama ini melekat ke institusi tersebut karena bisa berimplikasi pada proses demokrasi. ”DPR terutama pimpinan perlu mulai merumuskan upaya untuk memperbaiki citra,” katanya.