Daya Lenting Golkar Melintas Rezim
Pada 20 Oktober 2021, Partai Golkar akan berusia 57 tahun. Dalam perjalanannya, Golkar telah mengalami gelimang kejayaan, tetapi juga caci maki. Daya lenting partai membuat Golkar tetap menonjol di setiap rezim.
Pada 20 Oktober 2021, Partai Golkar akan genap berusia 57 tahun. Usia yang matang bagi suatu partai politik. Dalam perjalanan politiknya, Golkar telah mengalami gelimang kejayaan hingga caci maki. Namun, waktu pun membuktikan, partai ini menunjukkan daya lentingnya, dan sampai kini bertahan sebagai parpol yang selalu berperan di setiap rezim.
Peresmian Gedung Panca Bakti di Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta, oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Airlangga Hartarto, 6 Maret 2021, merefleksikan besarnya potensi dan kemampuan partai berlambang pohon beringin ini bangkit dari keterpurukan. Gedung yang dirintis sejak era Ketua Umum Golkar Setya Novanto, 2017, ini kini berdiri megah dengan lima lantai di lahan seluas 14.000 meter persegi.
Menurut rencana, pada puncak peringatan hari ulang tahun Golkar, 20 Oktober mendatang, akan ada tiga gedung atau ruang baru yang diresmikan. Airlangga dijadwalkan untuk meresmikan masjid di dalam kompleks perkantoran Golkar, sebuah klinik kesehatan untuk umum yang dinamai Yellow Clinic, dan ruangan baru untuk Golkar Institute yang menerapkan sistem pembelajaran hibrida.
Ketiganya akan melengkapi Gedung Panca Bakti yang lebih dulu diresmikan, Maret lalu. Gedung Panca Bakti itu dilengkapi dengan ballroom yang bisa menampung ratusan kader dalam satu kali rapat. Tidak hanya itu, bagian dalam Gedung Panca Bakti juga dihiasi dengan dua pohon besar yang mewakili filosofi beringin di dalam lambang partai.
Nama Panca Bakti dipilih sesuai ikrar bakti setiap kader Golkar. Ikrar itu menegaskan ideologi Golkar sebagai partai karya kekaryaan.
Baca juga : Golkar yang Selalu dalam Lingkaran Pemerintahan
”Kami, warga Partai Golkar adalah insan yang percaya dan takwa kepada Tuhan YME; kami, warga Partai Golkar adalah pejuang dan pelaksana untuk mewujudkan cita-cita proklamasi 1945, pembela serta pengamal Pancasila; kami, warga Partai Golkar adalah pembina persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak setia kawan; kami, warga Partai Golkar bertekad bulat melaksanakan amanat penderitaan rakyat, untuk membangun masyarakat adil, makmur, aman, tertib, dan sentosa; kami, warga Partai Golkar setia pada Undang-Undang Dasar 1945, mengutamakan kerja keras, jujur, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pembaharuan dan pembangunan,” demikian bunyi ikrar tersebut.
Karya kekaryaan
Ketua DPP Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily mengatakan, pembangunan gedung baru Golkar itu mewakili semangat partai menuju partai modern. Modernisasi parpol menyongsong perkembangan terbaru akan sangat bergantung pada anak-anak mudanya. Di usianya yang lebih dari setengah abad, Golkar menyadari arti penting kaderisasi. Oleh karena itu, dua lantai di Gedung Panca Bakti didedikasikan untuk Golkar Institute. Tiga lantai lain untuk kantor dan operasionalisasi partai.
Golkar Institute adalah institusi khusus yang menjadi ”sekolah partai”, tempat menggodok kader-kader muda di bidang eksekutif ataupun legislatif. Selama masa pandemi ini, kegiatan institusi tetap berlangsung secara hibrida. Mereka, antara lain, belajar teknik-teknik penganggaran, penyusunan kebijakan dan legislasi, komunikasi strategis, hingga pemetaan geopolitik dunia termutakhir. Pendek kata, melalui institusi itu, kader-kader Golkar bisa memahami segala sesuatu tentang kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu mestinya dijalankan.
”Harus diakui, kader-kader Golkar punya kapasitas teknokratis memimpin negeri ini. Artinya, mereka memiliki kemampuan memerintah dan mengelola pemerintahan, baik dari aspek politik, ekonomi, teknologi, maupun kepemimpinan secara umum,” kata Ace, yang juga Ketua Dewan Pengurus Golkar Institute, di Jakarta, Sabtu (16/10/2021).
Tradisi Golkar dengan ideologi developmentalisme yang diwujudkan melalui ”karya kekaryaan”, lanjut Ace, berusaha disemai dengan pendirian Golkar Institute.
Ideologi karya kekaryaan itu dalam lintasan sejarahnya berhasil membawa Golkar eksis di setiap rezim kekuasaan di republik ini. Pertama kali berdiri berupa Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar, 20 Oktober 1964, Golkar menunjukkan karakter dasarnya sebagai partai tengah. Golkar memiliki kecenderungan untuk selalu berhadapan dengan ekstremisme, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
”Di era Orde Lama, Sekber Golkar cukup berperan. Golkar memiliki kecenderungan untuk selalu berhadapan dengan ekstremisme, baik dari kanan maupun kiri. Makanya, Golkar waktu itu melawan komunisme karena ingin membawa ke arah ekstremisme kiri,” ungkap Ace.
Kejayaan diraih partai ”kuning” itu di era Orde Baru (Orba). Kelompok kekaryaan saat itu menjadi motor politik utama Orba. Ideologi developmentalisme Golkar menemukan momentumnya, sejalan dengan pola pikir pemerintahan saat itu.
Kondisi itu berubah ketika Reformasi bergulir. Tuntutan demokratisasi yang besar menjadikan posisi Golkar tidak sekuat dulu. Ace mengatakan, masa itu berat bagi Golkar. ”Banyak lawan politik yang tidak ingin Golkar hidup. Akan tetapi, Golkar justru mampu bermetamorfosis menjadi partai yang terdepan dalam upaya demokratisasi. Hal itu dilakukan di internal Golkar sendiri yang kemudian berkontribusi pada demokratisasi di Indonesia,” katanya.
Munculnya BJ Habibie yang juga kader Golkar ternyata mampu meletakkan fundamen bagi transisi demokrasi di Indonesia. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan masyarakat sipil bersuara, penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan kebebasan berpolitik adalah sedikit contoh fondasi yang diletakkan Habibie bagi demokratisasi di Indonesia.
”Selain adanya tuntutan publik, kalau tidak ada peran Pak Habibie yang jadi kekuatan sentral di Golkar ketika itu, tentu kita tidak bisa merasakan demokratisasi seperti saat ini,” ucapnya.
Seusai dihantam gelombang, Golkar kembali muncul sebagai kekuatan politik. Pada Pemilu 1999, Golkar masih bertengger di posisi kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Bahkan, pada Pemilu 2004, Golkar mampu menjadi pemenang dalam pemilihan legislatif (pileg) dengan raihan suara sebesar 24.48 juta suara atau 21,62 persen dari total suara nasional. Dari perolehan suara itu, Golkar mendapatkan 128 kursi di DPR.
Selepas 2004, meski belum pernah kembali menjadi pemenang, raihan suara partai lebih stabil dan selalu masuk tiga besar dalam pemilu. Kader-kadernya pun banyak duduk di pemerintahan. Salah satu kadernya, Jusuf Kalla, bahkan dua kali jadi wakil presiden mendampingi dua presiden yang berbeda. Kader Golkar pun bertaburan menjadi menteri, duta besar, atau kepala badan di setiap rezim pemerintahan.
Soal daya lenting Golkar ini, Ace mengatakan, kuncinya terletak pada ideologi karya kekaryaan. Dengan ideologi itu, semangat yang ditumbuhkan ialah bagaimana kader-kader Golkar dapat menjalankan instrumen politik dalam memberikan peran-peran bagi kemajuan Indonesia. ”Karya kekaryaan itu kerja nyata, kerja-kerja pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Buat kami, politik adalah cara mengelola kekuasaan untuk menjalankan fungsi karya kekaryaan di masyarakat dalam konteks hidup bernegara,” ujarnya.
Menurut Ace, tujuan Golkar sama dengan tujuan hidup bernegara sebagaimana dicantumkan di dalam konstitusi. Namun, harapan riil yang diupayakan untuk dicapai di masa depan ialah agar Indonesia bisa lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Artinya, Indonesia akan benar-benar lepas landas menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi, kesejahteraan membaik, serta pelayanan pendidikan dan kesehatan yang juga baik.
”Pandemi telah membuat kita turun menjadi negara berpenghasilan rendah. Tentu kita berharap ini bisa diatasi ke depannya sehingga kita bisa menjadi negara berpendapatan menengah dan bisa terlepas dari jebakan penghasilan menengah itu,” ujar Wakil Ketua Komisi VIII DPR itu.
Kontekstual
Jelang dua dekade pasca-kemenangan besar pada Pemilu 2004, Golkar optimistis mampu mengulanginya pada Pemilu 2024. Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, hal itu salah satunya ditentukan oleh kemampuan partai membawa tema yang sejalan dengan aspirasi rakyat. Hal itu pula yang terbukti membuat Golkar bertahan pasca-Reformasi. Di bawah kepemimpinannya, Golkar pun menjadi pemenang Pileg 2004.
Saat itu, Golkar mengapitalisasi ketidakpuasan kelas menengah terhadap Reformasi. Keluhan-keluhan terkait pemerintahan, misalnya, direspons menjadi isu besar sehingga Golkar menjelma sebagai alternatif dari kebuntuan yang muncul pasca-Reformasi.
Cara tersebut dinilai tetap relevan dan bisa menjadi kunci bagi Golkar meraih kemenangan. Tidak hanya pada pemilu legislatif (pileg), tetapi juga pemilu presiden (pilpres) karena Golkar akan mengusung Airlangga Hartarto sebagai calon presiden. Jelang 2024, masih ada waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkannya, yakni dengan mengoptimalkan peran semua kader partai. Akbar pun telah mengunjungi jajaran pengurus baik di level pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, meminta mereka mempersiapkan kontestasi secara menyeluruh.
Kader di wilayah, kata Akbar, merupakan andalan bagi partai untuk berhadapan langsung dengan publik. Oleh karena itu, keberadaan dan peran mereka harus dioptimalkan. ”Seandainya itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, intensif, dan senantiasa turun ke tengah rakyat, saya yakin peluang kita untuk menjadi pemenang pada tahun 2024 bisa dicapai,” ujarnya dalam diskusi daring ”Dua Dasawarsa Kemenangan Golkar 2004-2024”, Sabtu (16/10/2021).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, selama pandemi Covid-19 berlangsung, pihaknya sadar betul ada dua isu besar yang menjadi permasalahan masyarakat, yakni kesehatan dan pemulihan ekonomi. Karena itu, dua persoalan tersebut selalu menjadi isu yang dibawa dalam setiap agenda politik. Contohnya, pada Pilkada 2020, Golkar membagikan jutaan masker, kemudian mendorong vaksinasi mandiri, serta membangun Yellow Clinic.
Terkait Yellow Clinic, ditargetkan tahun depan semua kantor Partai Golkar di tingkat provinsi dan separuh kabupaten/kota sudah membentuk fasilitas ini. Tujuannya, untuk memfasilitasi warga yang kesulitan mendapatkan akses pada fasilitas kesehatan. Selain itu, pihaknya juga terus membagikan kebutuhan pokok untuk masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Doli membenarkan, saat ini Golkar tengah berusaha mengembalikan kejayaan 20 tahun yang lalu. Selain dengan menghadirkan isu yang sejalan dengan aspirasi masyarakat, pihaknya juga terus berusaha mengurangi konflik internal dengan cara tidak pernah mengeluarkan orang dari partai. Bahkan, para tokoh yang sudah keluar dari Golkar juga ingin dirangkul kembali.
Hingga saat ini, sejumlah kader yang memilih keluar dari Golkar turut membidani lahirnya sejumlah parpol, seperti Hanura, Nasdem, dan Gerindra. ”Anak-anak muda Golkar pernah membayangkan, bagaimana Golkar bisa menjadi rumah besar bersama,” katanya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Timur Muhammad Sarmuji menambahkan, upaya untuk mengontekstualisasikan isu yang dibawa oleh partai dengan kondisi masyarakat dilakukan melalui politik desentralisasi. Pengurus di setiap daerah perlu memiliki langgam yang sesuai dengan karakteristik daerah yang tidak bisa ditiru daerah lain. Ia mencontohkan, di Jawa Timur yang secara historis dan sosiologis lekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), pendekatan partai pun disesuaikan dengan hal tersebut.
Selain itu, dilakukan pula revolusi komunikasi untuk menembus konstituen dari semua latar belakang. Politisi, kata Sarmuji, selama ini hanya fokus pada perebutan kekuasaan sehingga melupakan banyak dimensi latar belakang masyarakat. Padahal, pemahaman atas latar belakang itu juga bisa menjadi salah satu cara untuk mengenal dan terhubung dengan warga.
Sebagai partai yang sudah berusia lebih dari setengah abad, Golkar tidak ingin diidentikkan sebagai partai yang kaku dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Saat ini, kesalahan umum setiap partai adalah tidak mampu menemukan cara baru untuk terhubung dengan konstituennya. ”Cara baru ini yang terus kami perkenalkan, yakni dengan pemanfaatan media sosial,” kata Sarmuji.
Partai modern
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, sejak Reformasi, Golkar merupakan partai modern yang memiliki sistem keanggotaan dan kepemimpinan yang lebih didasarkan pada sistem merit. Sebagian besar kadernya merupakan teknokrat, kalangan intelektual yang memang menekuni perkembangan politik dan pembangunan. Selain itu, jejaring sosial politik partai yang sudah berdiri 57 tahun lalu ini juga lebih luas ketimbang partai lain.
Selama ini, Golkar mampu bertahan di tengah berbagai ujian dan tetap menjadi partai papan atas tidak lain karena banyak tokohnya yang menjadi bagian penting dalam kancah politik nasional. Selain itu, tentu saja karena Golkar mampu mencitrakan diri sebagai partai reformis.
Untuk mengulang kembali kemenangan Golkar 20 tahun lalu, partai ini harus bisa memastikan prominensi para tokoh Golkar. Sekalipun tergabung dalam koalisi pemerintah, semestinya kader Golkar bisa lebih berperan dan tidak hanya mengikuti arus koalisi. Selain itu, partai juga perlu mengakomodasi permasalahan yang dialami masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Di samping itu, tambah Azyumardi, Golkar juga harus memastikan kadernya bersih dari korupsi. Lima tahun terakhir, sejumlah elite partai beringin ini terlibat kasus korupsi. Beberapa di antaranya adalah Setya Novanto, Markus Nari, Idrus Marham, Alex Noerdin, dan Azis Syamsuddin.
Korupsi yang melibatkan kader Golkar sepertinya belum berakhir setelah pada Jumat (15/10/2021), KPK menangkap Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin. Bulan lalu, ayahnya yang juga politikus senior Golkar, Alex Noerdin, pun ditahan kejaksaan karena kasus korupsi.
”Sekarang, Golkar harus bisa mengonsolidasikan pejabat-pejabatnya di pusat dan daerah agar tidak terlibat korupsi. Golkar harus bisa menunjukkan dirinya sebagai partai bersih yang bisa menegakkan good governance,” katanya.
Baca juga : Korupsi Elite dan Pertaruhan Citra Partai ”Beringin”
Menurut peneliti senior di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, sebagai partai yang sudah berusia matang, Golkar diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah aspirasi masyarakat. Menjadi partai yang benar-benar memiliki basis massa, bukan semata-mata mengandalkan modal untuk meraih suara.
Saat ini, Golkar membutuhkan kader-kader muda yang bertalenta dan piawai dalam regenerasi partai. Dalam mengelola organisasi, estafet kepemimpinan tidak boleh dilewatkan. Sebab, penyumbatan regenerasi akan mengerdilkan organisasi.
Selain itu, Golkar diharapkan dapat mengembangkan pendidikan wawasan kebangsaan dan membangun budaya politik yang dapat mendorong perkembangan demokratisasi. Parpol mesti bisa mengambil peran untuk mendorong hadirnya demokrasi substantif, bukan sekadar demokrasi prosedural.