Pemahaman Ekstrem Pun Luntur Berkat Pertemanan
Pendekatan pertemanan Densus 88 dengan narapidana terorisme tak hanya mengantarkan para teroris menuju NKRI. Pendekatan ini juga membantu Polri mengungkap jejaring serta kepemilikan senjata teroris, termasuk bom.
Senin, 9 Juli 2018, malam, sejumlah lelaki bermotor menghadang Gamal Abdillah Maulidi (28) di kawasan Teluk Pucung, Kota Bekasi, Jawa Barat. ”Gamal, ya?” tanya salah satu dari mereka. ”Iya,” respons Gamal.
Tanpa banyak bertanya, Gamal mengikuti rombongan berpakaian bebas itu ke sebuah masjid. Sekalipun tak diberi tahu, ia paham mereka anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang akan menangkapnya karena ia terlibat aktivitas kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sejak 2016. Beberapa hari sebelumnya, satu per satu kawanannya ditangkap.
Gamal pasrah, bahkan jika hidupnya harus berakhir. Namun, ia terkesiap dengan sikap para polisi antiteror itu. Alih-alih berlaku kasar, para petugas membawanya ke sebuah masjid sebelum dibawa ke Rumah Tahanan Polda Metro Jaya. Sepanjang perjalanan, ia diajak bicara dan sikap petugas itu pun ramah sehingga ia tak merasa diperlakukan sebagai seorang kriminal.
”Saya jadi berpikir, apakah benar ini orang-orang yang kami musuhi,” ungkap Gamal, eks narapidana terorisme yang bebas tahun 2020, saat ditemui di Bekasi, Jumat (8/10/2021).
Keheranan itu berlanjut ketika menjadi tahanan rutan. Hampir setiap hari ada saja polisi antiteror yang mendatanginya untuk interogasi. Namun, pemeriksaan yang dilakukan justru terasa seperti kunjungan teman. Perbincangan mereka umumnya seputar kesehatan, aktivitas di rutan, jarang terkait substansi perkara.
Mereka juga kerap membawakan makanan, bahkan pakaian. Pertemuan yang berlangsung 15-30 menit per hari itu jadi terasa berharga karena merupakan satu-satunya kesempatan untuk menikmati ruang di luar sel, yakni aula rutan.
”Di-bon sama Densus itu, benar-benar jadi hal yang ditunggu-tunggu setiap hari,” kata Gamal.
Pertemuan dan perbincangan yang intens selama dua tahun ia menjalani hukuman berbuah hubungan baik dan rasa percaya. Hal itu juga yang perlahan membuka ruang di kepalanya untuk bersedia menerima pendapat dan pandangan hidup yang lebih moderat. Sebelumnya, ia menganut pemahaman yang menjustifikasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan seluruh perangkatnya sebagai sesuatu yang layak diperangi.
Keterbukaan itu, kata Gamal, juga dipengaruhi bacaan yang dikirimkan polisi antiteror ke rutan, mulai dari kitab klasik keislaman, novel percintaan, hingga komik manga Jepang. Berdasarkan konfrontasi pemikiran dengan banyak buku itu pula, pemahamannya untuk mudah mengafirkan orang lain mulai meluntur, hingga akhirnya bersedia kembali setia kepada NKRI.
Pertemanan dengan polisi antiteror juga dirasakan Hendro Fernando (37), eks narapidana terorisme anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi ke Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Hendro, yang pernah menjadi pemasok senjata api, perekrut anggota MIT, dan orang yang memberangkatkan 150 warga Indonesia ke Suriah pada 2014-2015, menjalani hukuman di beberapa lembaga pemasyarakatan (lapas) di Nusakambangan, Jawa Tengah.
Di sana, ia mendekam di dalam sel khusus untuk satu orang. Dalam situasi demikian, kehadiran polisi yang memeriksanya dua kali per bulan menjadi pelipur lara. Mereka menjadi perantara bagi Hendro dan keluarga bertukar kabar. Bahkan, kerap mereka membelikan pulsa di warung telepon khusus lapas, yang memang disediakan bagi para narapidana terorisme menghubungi keluarga.
Diskusi yang mempertanyakan pemahaman takfiri dalam konteks keindonesiaan dengan sesama narapidana terorisme antarsel di Nusakambangan juga amat berpengaruh baginya. Meski tak bisa melihat satu sama lain sehingga tak pernah tahu siapa yang diajak bicara, diskusi-diskusi itulah yang mengantarkannya kembali menyatakan untuk setia kepada NKRI.
Ditambah lagi, beberapa waktu terakhir ada program safari dakwah di lapas yang menghadirkan tokoh yang sudah keluar dari jaringan terorisme, misalnya Sofyan Tsauri dan Ali Imron. Ceramah serta pengalaman hidup yang mereka ceritakan lebih bisa ia terima karena kesamaan latar belakang dan masa lalu.
Penemuan bom
Jalinan pertemanan yang dibangun Densus 88 dengan narapidana terorisme tidak hanya mengantarkan mereka menuju NKRI. Lebih dari satu dekade diterapkan, pendekatan ini juga membantu mengungkap jejaring serta kepemilikan senjata milik teroris. Tidak terkecuali penemuan 35 kilogram bom triaseton triperoksida (TATP) di Gunung Ciremai, Jawa Barat, Jumat (1/10/2021).
Imam Mulyana (35), narapidana terorisme pemilik bom itu, mengatakan, ia sudah lama resah karena masih menyimpan bom sejak empat tahun lalu. Setelah melepas baiat kepada NIIS, ia merasa harus mengungkapkannya karena khawatir kelak ada jejaring JAD yang memanfaatkan bom itu. ”Saya merasa yakin dengan ikrar (NKRI), berarti harus seutuhnya tanpa ada yang disembunyikan dalam diri saya,” katanya.
Namun, ia merasa perlu memastikan kredibilitas petugas sebelum membongkar bom itu. Imam lalu memberitahukannya kepada polisi antiteror yang rutin menemuinya sejak menjadi tersangka pada 2017. Dalam sebuah pertemuan di lapas, akhir September lalu, ia minta dipertemukan dengan pimpinan Densus 88 untuk minta jaminan keamanan agar tak diperkarakan atas kepemilikan bom.
Permintaan itu dipenuhi. Imam bertemu dengan Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Komisaris Besar MD Shodiq. Keduanya sudah saling mengenal karena Shodiq merupakan salah satu polisi yang ikut menginterogasi Imam ketika ditangkap empat tahun lalu. Setelah mengonfirmasi ke sejumlah pihak dan mengurus perizinan ke lapas, polisi menindaklanjuti informasi dari Imam. Sejumlah polisi antiteror, termasuk Shodiq dan Imam, mendaki Gunung Ciremai, Kamis (30/9/2021). Saat lokasi ditemukan, hari sudah larut.
Keesokan harinya dalam pencarian, TATP siap ledak sebanyak 35 kilogram ditemukan terpendam di lereng gunung. Bersama Unit Penjinak Bom Satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Barat, Polres Majalengka, dan perwakilan warga setempat, Densus 88 kemudian meledakkan bom tersebut. Ledakan bom yang berjuluk mother of satan itu terdengar dan menggetarkan tanah hingga radius 500 meter dari pusat dentuman.
Jumlah bom itu puluhan kali lipat lebih banyak ketimbang TATP yang digunakan dalam bom bunuh diri Kampung Melayu, Jakarta, tahun 2017. Saat itu, ledakan bom TATP yang jumlahnya kurang dari 1 kg mengakibatkan 5 orang tewas dan 11 orang terluka serta kerusakan sejumlah kendaraan dan halte bus Transjakarta.
Memanusiakan
Shodiq mengatakan, pergeseran paham para tersangka, terdakwa, dan terpidana terorisme adalah akumulasi proses panjang. Sejak penangkapan, pihaknya bertanggung jawab melaksanakan pembinaan berkelanjutan dengan pendekatan memanusiakan yang dibangun dengan rasa empati penyidik saat menginterogasi teroris. ”Pada masa yang sulit bagi tersangka, kehadiran kami itu jadi teman, jadi sahabat. Sadar atau tidak, dia akan merasa punya kawan sehingga dia mau menyampaikan,” ujarnya.
Pertemanan juga dijalin dengan keluarga teroris. Tidak jarang polisi antiteror berperan sebagai anggota keluarga baru yang bisa memberikan bantuan, mulai dari menjadi teman ngobrol, memberikan bantuan bahan pokok, bahkan hingga mengurus kartu tanda penduduk elektronik keluarga mereka. Ketika status teroris naik jadi terdakwa dan terpidana, pendekatan juga ditingkatkan, yakni dengan memberi sejumlah buku bertema demokrasi dan pemahaman moderat. Mereka juga diajak bertukar pikiran dengan sesama narapidana terorisme dan eks narapidana terorisme.
Sekalipun Direktorat Idensos baru didirikan pada 2018, kata Shodiq, praktik ini sudah lama dilakukan. Selama tiga tahun terakhir, jumlah teroris yang kembali ke NKRI cenderung meningkat.
Meski enggan merinci secara detail, ia mengklaim peningkatan mencapai 50 persen. Salah satunya mantan pemimpin MIT, Muhammad Basri bin Barjo alias Bagong. Ia berikrar NKRI pada Sabtu (2/10/2021) di Lapas Kelas IIA Karanganyar, Nusakambangan. Pada akhir September lalu, empat narapidana terorisme yang terafiliasi dengan JAD di Lapas Kelas IA Bandar Lampung melakukan hal yang sama.
Shodiq menambahkan, pendekatan yang memanusiakan ini akan terus dikembangkan untuk membina 1.007 teroris yang tersebar di seluruh rutan dan lapas. ”Target kami, pertama adalah nol residivis. Kedua, semua yang ada di rutan dan lapas, selepas menjalani hukuman dan kembali ke keluarga, sudah tidak lagi radikal,” katanya.
Baca juga: Dari Deradikalisasi ke Moderat
Pembinaan narapidana terorisme tidak hanya dilakukan polisi antiteror. Mereka yang sudah berikrar NKRI juga mengikuti seleksi untuk masuk Lapas Khusus Terorisme Sentul, Jawa Barat, yang dikelola Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Lima bulan terakhir, Imam Mulyana pun menjalani hukuman di sana.
Budiono (58), eks narapidana terorisme yang bebas dari Lapas Khusus Terorisme Sentul pada 2020, mengungkapkan, pembinaan di sana terdiri atas berbagai spektrum. Empat hari dalam seminggu, narapidana terorisme harus mengikuti kelas wawasan kebangsaan, psikologi, agama, dan wirausaha. Pada kelas wirausaha, mereka mempelajari teknik membuat makanan, pertanian, dan peternakan. Diberikan pula insentif sebesar Rp 50.000 bagi setiap narapidana terorisme seusai mengikuti kelas.
Baca juga : Abu Bakar Baasyir Jadi Mitra Deradikalisasi BNPT
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, pihaknya melaksanakan program deradikalisasi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Merujuk Pasal 43D UU No 5/2018, deradikalisasi merupakan proses terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Hal itu dilakukan baik pada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, maupun orang atau kelompok orang yang telah terpapar paham radikal terorisme.
Deradikalisasi dimulai dari tahap identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi, dan reintegrasi sosial. Tahapan tersebut dilakukan dengan pembinaan wawasan kebangsaan, keagamaan, dan kewirausahaan. Pelaksanaannya melibatkan sejumlah kementerian/lembaga terkait yang dikoordinasikan BNPT.
Membangun masyarakat
Visiting Fellow Sir Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Noor Huda Ismail, mengapresiasi pendekatan humanis yang dilakukan Densus 88. Upaya membangun pertemanan secara individu dinilai efektif untuk mengajak mereka kembali ke NKRI. Namun, sejauh ini hal itu mayoritas berhasil pada anggota JAD. Proses reintegrasi anggota JAD relatif lebih mudah karena umumnya radikalisasi terjadi secara daring, dalam waktu singkat, dan tidak berhubungan dengan proses pembangunan bangsa.
Hal itu berbeda dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki struktur dan pengaderan sistematis dan ideologis. Selain itu, akar sejarah kemunculan kelompok itu juga terkait dengan gerakan separatis pada awal kemerdekaan. Pendekatan untuk mengintegrasikan mereka ke NKRI menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Densus 88.
Sekalipun demikian, ikrar NKRI yang diucapkan narapidana terorisme atau eks narapidana terorisme tidak bisa menjadi jaminan mereka tidak akan kembali terlibat dalam gerakan ekstrem. Pada sejumlah kasus, ditemukan keterlibatan mereka dalam bentuk yang sangat halus. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya membangun masyarakat yang kondusif untuk memberikan kesempatan kedua bagi eks narapidana terorisme kembali ke lingkungannya.
Selain itu, saat ini urusan pembinaan teroris setidaknya ditangani tiga lembaga, yakni Densus 88, BNPT, dan Badan Intelijen Negara. Belum lagi belakangan ada wacana menambahkan dengan Kementerian Sosial. ”Tantangan dalam isu deradikalisasi adalah perebutan kapling antarlembaga karena semua ingin menonjol,” kata Noor Huda.
Ke depan dibutuhkan koordinasi dan kelegawaan tiap lembaga agar deradikalisasi secara komprehensif lebih optimal. Ketegasan pimpinan yang lebih tinggi untuk melancarkan hubungan antarlembaga ini juga diperlukan.
Bisakah hal ini terwujud?