Revisi UU ITE Belum Juga Dibahas, DPR Masih Tunggu Draf Usulan Pemerintah
Revisi Undang-Undang ITE sudah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2021. Namun, hingga kini, pembahasan belum juga dilakukan karena DPR masih menunggu usulan resmi dari pemerintah.
Oleh
Rini Kustiasih, Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pascapemberian amnesti kepada Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, masyarakat mendesak pemerintah segera serius merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meski sudah ditetapkan menjadi RUU prioritas tahun 2021, pembahasan belum juga dimulai karena Dewan Perwakilan Rakyat masih menunggu usulan pemerintah.
Seperti diberitakan sebelumnya, revisi UU ITE telah masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2021. Dengan demikian, DPR dan pemerintah dapat segera membahas revisi aturan itu tahun ini. Masyarakat sipil juga meminta DPR dan pemerintah segera merevisi UU ITE. Sebab, pasal karet dan multitafsir dalam UU ITE tersebut terbukti telah memakan banyak korban. Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Penanganan UU ITE yang ditandatangani oleh Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri juga tidak efektif untuk membendung pemidanaan UU ITE.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Rabu (13/10/2021), mengatakan, DPR belum menerima surat presiden dan draf RUU ITE. Oleh karena itu, belum ada pembahasan yang dapat dimulai di DPR.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ibnu Multazam mengungkapkan, saat ini pembahasan belum dimulai karena DPR masih reses. Ketika sudah ada surpres, barulah surpres itu dibahas di dalam Bamus DPR.
”Nanti baru dibahas setelah reses. Itu pun dibahas langsung di Badan Musyawarah untuk menentukan alat kelengkapan dewan mana yang membahas RUU itu sebab itu inisiatif pemerintah,” ujarnya.
Baleg juga tidak akan banyak terlibat dalam pembahasan karena masih menunggu alat kelengkapan mana yang akan ditunjuk oleh Bamus untuk membahas RUU ITE bersama pemerintah. ”Kecuali kalau RUU ITE diberikan ke Baleg untuk membahas. Namun, kami di Baleg sudah banyak RUU yang harus dibahas,” ujarnya.
Revisi total
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, revisi total UU ITE mendesak untuk dilakukan. Sebab, akar permasalahan dari tingginya pemidanaan ada di aturan multitafsir itu. Sejumlah pasal karet yang banyak digunakan untuk kriminalisasi adalah Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28 Ayat (2), dan Pasal 29 terkait dengan pencemaran nama baik atau defamasi, ujaran kebencian, dan pengancaman. Perempuan korban kekerasan berbasis jender online juga kerap dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik.
Adapun, menurut Isnur, berdasarkan catatan Safenet, sebanyak 68 persen pelapor UU ITE adalah orang yang memiliki kekuasaan. Sebanyak 42 persen pelapor adalah pejabat publik, 22 persen kalangan profesi, dan 4 persen kalangan berpunya. Ini menunjukkan bahwa ada relasi kuasa yang timpang antara pelapor dan terlapor dalam kasus UU ITE.
”Penafsiran terhadap pasal karet UU ITE oleh aparat penegak hukum juga sangat subyektif dan cenderung digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi korban dan pembungkaman,” ujar Isnur.
Isnur mengatakan, setidaknya ada tiga lapisan dampak dari jerat pidana UU ITE. Dari lapisan hukum, rumusan pasal tidak ketat atau rigit sehingga sangat multitafsir. Selain itu, norma hukum di pasal UU ITE juga banyak yang merupakan duplikasi dari Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun dari lapisan penerapan, aparat penegak hukum di lapangan kerap tidak paham dengan barang bukti elektronik. Ini menyebabkan pemeriksaan tidak komprehensif sehingga kasus tidak dapat diselesaikan dengan cara mediasi atau keadilan restoratif.
Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan jajarannya agar penanganan UU ITE mengedepankan keadilan restoratif. Pemanggilan saksi ahli ITE di penyidikan dan persidangan kerap kali juga tidak mematuhi Pasal 43 UU ITE. Di pasal itu disebutkan bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) harus dihadirkan sebagai saksi ahli ITE dari Kominfo dalam proses persidangan.
Kami berharap pemerintah benar-benar serius merevisi total UU ITE. Tidak hanya revisi terbatas, seperti yang disampaikan sebelumnya, tetapi juga menyerap dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil. Kami sudah sampaikan kertas kebijakannya kepada pemerintah melalui Menko Polhukam.
Sementara itu, dari lapisan dampak, UU ITE telah menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Penerapan UU ITE telah menimbulkan efek ketakutan massal dan berpotensi menjadi upaya pembungkaman suara kritis. UU ITE juga banyak dipakai untuk membalas dendam, barter kasus, alat shock teraphy, dan persekusi. Para politikus dan alat kekuasaan negara dianggap menggunakan UU ITE untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Bagi para korban, UU ITE juga telah berdampak sosial yang serius. Saiful Mahdi, misalnya, tidak bisa melakukan proyek penelitian sebagai dosen statistika selama pergulatan hukumnya yang memakan waktu lebih dari dua tahun.
”Oleh karena itu, kami berharap pemerintah benar-benar serius merevisi total UU ITE. Tidak hanya revisi terbatas seperti yang disampaikan sebelumnya. Tetapi, juga menyerap dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil. Kami sudah sampaikan kertas kebijakannya kepada pemerintah melalui Menko Polhukam,” kata Isnur.
Posisinya, Revisi UU ITE adalah RUU inisiatif pemerintah. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan draf RUU Revisi UU ITE kepada DPR. Draf disusun berdasarkan kajian dari Tim Kajian UU ITE yang disusun oleh Kemenko Polhukam. Hasil kajian dari tim, diputuskan pemerintah akan merevisi secara terbatas empat pasal yang ada di UU ITE yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE. Pemerintah juga akan menambahkan satu pasal baru, yaitu Pasal 45 C yang mengatur tentang penyebaran berita bohong. Terkait dengan hal ini, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Benny Rianto, saat dikonfirmasi, Rabu, belum memberikan respons.