Perempuan dalam Pusaran Hukuman Mati
Secara global, diperkirakan ada sedikitnya 800 perempuan yang menghadapi pidana mati di akhir tahun 2020. Jumlah sebenarnya kemungkinan lebih besar daripada angka tersebut.
Dunia baru saja merayakan kehidupan dengan memeringati hari anthukuman mati pada 10 Oktober. Dalam perkembangannya, semakin banyak negara-negara di dunia yang menghapus hukuman mati dari sistem peradilan pidananya.
Tahun ini, pada 23 Juli, salah satu negara di Afrika Sierra Leone menghapus bentuk hukuman mati. Sebelumnya, pada 28 April, Mahkamah Agung (Supreme Court of Appeal) Malawi menyatakan hukuman mati inkonstitusional dan memerintahkan meninjau ulang hukuman 27 terpidana mati yang ada di negara tersebut. Di awal tahun, ada Republik Kazakhstan yang memutuskan hal serupa.
Indonesia menjadi salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati. Pada saat ini, menurut data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, terdapat 400 orang yang dijatuhi hukuman mati dan menunggu eksekusi. Sebanyak 11 orang di antaranya adalah perempuan.
Dalam diskusi yang digelar akhir pekan lalu, Manajer Program the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengungkapkan pidana mati merupakan kebijakan diskriminatif. Mengutip laporan Komisioner Tinggi HAM PBB pada tahun 2019, populasi terpidana mati secara konsisten adalah orang-orang yang terpinggirkan dalam arti, miskin, ekonomi rentan, minoritas etnis, disabilitas intelektual dan psikososial, warga negara asing, ataupun penduduk asli (indigenous).
Khusus di Indonesia, ICJR mencoba meneliti hal tersebut. Lembaga itu mengawali hal tersebut dari 2016 ketika ICJR membangun sebuah database terkait pidana mati di negeri ini. Setidaknya mereka merekam ada 884 terpidana mati sepanjang 1969-2020, 42 terpidana di antaranya berjenis kelamin perempuan. Namun, dari 42 orang yang tercatat, ICJR hanya menemukan dokumen dari 32 kasus perempuan terpidana mati yang divonis pada rentang waktu 2002-2020.
Dari 32 kasus yang diteliti, ICJR menemukan bahwa ada dua jenis tindak pidana yang mengantarkan perempuan-perempuan tersebut memeroleh vonis mati. Tindak pidana itu ialah, narkotika (21 kasus) dan pembunuhan berencana (11 kasus). Banyaknya perempuan terpidana mati yang terjerat kasus narkotika memang sejalan dengan upaya pemerintah memberantas kejahatan tersebut.
Baca Juga: Dilema Hukuman Mati di Indonesia
Pada 2015, pemerintah menyatakan ”perang” terhadap narkotika yang hal ini diikuti dengan kian intensnya penegakan hukum dalam kasus tersebut. Tahun tersebut tercatat 7 perempuan divonis mati. Saat peristiwa itu terjadi, mayoritas terpidana (18 orang) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, wiraswasta (6 orang), karyawan swasta (3 orang), petani (2 orang) serta tiga lainnya masing-masing adalah buruh harian lepas, pembantu rumah tangga, dan seorang pegawai negeri sipil.
Maidina mengatakan, pihaknya menemukan, dari 32 kasus pidana mati yang diteliti, lebih dari separuh (18 orang) menunjuk penasihat hukumnya sendiri. Sisanya, 13 orang, penunjukkan pengacaranya dilakukan oleh majelis hakim. KUHAP mewajibkan para terdakwa yang terancam hukuman mati didampingi penasihat hukum.
Meskipun mayoritas menunjuk pengacaranya sendiri, kata Maidina, hal tersebut tidak berkorelasi positif dengan diperolehnya bantuan hukum yang efektif. Hal ini setidaknya terlihat upaya yang dilakukan para kuasa hukum terdakwa saat mendampingi perkara.
Misalnya, dari 32 kasus yang diteliti, hanya lima kasus di mana pengacara terdakwa menghadirkan saksi meringankan. Lalu, hanya di empat kasus di mana pengacara mengajukan keberatan atas dakwaan (eksepsi). Lima kasus lain tidak ada pembelaan secara tertulis, dan tidak ada satu pun yang mengajukan ahli.
Sementara khusus untuk pengacara yang ditunjuk hakim, tidak satu pun (dalam 13 kasus pidana mati) yang menghadirkan saksi atau ahli yang bisa meringankan terdakwa. ”Hanya satu yang mengajukan keberatan terhadap dakwaan atau eksepsi. Lalu, dua di antaranya tidak mengajukan pembelaan tertulis. Dalam kasus DDS, misalnya, anak yang dihukum mati, jaksa menuntut hukuman mati, penasihat hukum sepakat dengan hukuman itu. Dia sampai sekarang masih dalam daftar tunggu pidana mati,” ujar Maidina.
Baca Juga: Vonis Mati Tak Ciptakan Efek Jera, Aturan Hukuman Mati Perlu Dihapus
Sepanjang proses hukum yang dijalani para perempuan terpidana mati, dalam penelitian ICJR, minim hakim yang mampu melihat aspek kerentanan jender dalam kasus tersebut. Misalnya, latar belakang sosial ekonomi seperti menjadi tulang punggung keluarga atau menjadi orang tua tunggal.
”Ini menjadi suatu catatan bahwa aspek kerentanan sulit dihadirkan dalam konteks pembelaan, tetapi lebih sulit lagi menghadirkan perspektif tersebut dari hakim untuk dipertimbangkan dalam menangani perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,” ujar Maidina.
Ia juga menilai hakim gagal pula mempertimbangkan riwayat kekerasan yang dialami oleh para perempuan terpidana mati. Padahal, dalam beberapa kasus yang diteliti, ada riwayat terjadinya kekerasan domestik atau di dalam rumah tangga. Setidaknya lima kasus menunjukkan hal itu.
Tren tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Tidak dipertimbangkannya adanya riwayat kekerasan yang dialami perempuan terpidana mati juga diungkapkan oleh Direktur Kebijakan International Commission against Death Penalty (ICDP) Rajiv Narayan.
Dalam sejumlah kasus perempuan terpidana mati di berbagai belahan dunia, kata dia, hakim sering kali tidak mempertimbangkan riwayat mereka sebagai penyintas kekerasan dan bentuk-bentuk penindasan berbasis gender. Sangat jarang pula kekerasan di dalam rumah tangga dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan dalam proses pemeriksaan perkara yang terdakwa diancam dengan hukuman mati.
Rajiv kemudian menjelaskan kasus Lisa Montgomery yang dieksekusi pada 13 Januari 2021 di Amerika Serikat, pada hari-hari terakhir pemerintahan Donald Trump. Lisa dihukum mati karena menyerang seorang perempuan hamil pada tahun 2004. Keluarga Lisa dalam persidangan saat itu berargumentasi bahwa ada problem dengan kesehatan mental Lisa sebagai hasil dari masa kecil yang penuh kekerasan fisik, penyiksaan, dan eksploitasi seksual. Namun, pengadilan tetap menjatuhkan pidana mati untuk Lisa.
Transparansi
Secara global, diperkirakan ada sedikitnya 800 perempuan yang menghadapi pidana mati di akhir tahun 2020. Jumlah sebenarnya kemungkinan lebih besar dari angka tersebut mengingat kurangnya transparansi di seputar pidana mati di negara-negara tertentu.
Karena itu, di tahun 2021, persoalan kurangnya transparansi dalam penjatuhan hukuman mati menjadi fokus Dewan HAM PBB. Sebab, hal itu memengaruhi terpenuhinya hak-hak terhadap akses informasi, hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, hak untuk tidak menjadi korban penyiksaan, mendapatkan perlakuan yang merendahkan atau penghukuman yang tidak manusia dan kejam. Hal tersebut, disebutkan oleh Rajiv, juga mengurangi terlaksananya prinsip-prinsip non-diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum.
Dalam kasus di Indonesia, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Andri Yentriyani mengungkapkan, penelitian yang dilakukan ICJR mengonfirmasi betapa rentannya perempuan saat berhadapan dengan hukum, khususnya dalam hal pembelaan diri. Persoalan ini masih kurang mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.
Memang sudah ada upaya perbaikan, misalnya Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Namun, menurut Andri, peraturan serupa belum ada di kepolisian yang merupakan pintu pertama bagi perempuan mengalami kriminalisasi. Ia mendorong agar ke depan pengaturan serupa dapat dikeluarkan oleh Polri.
Rekomendasi
Berdasar temuan risetnya, ICJR merekomendasikan kepada para penegak hukum agar membuat peraturan internal lembaga tentang pengarusutamaan perspektif gender dalam penanganan perkara. Selain itu juga memberikan pelatihan mengenai kekerasan berbasis jender dengan kecenderungan seseorang melakukan tindak pidana.
Selain itu, MA diharapkan menciptakan kesatuan hukum dalam putusan-putusan hakim guna memastikan adanya standardisasi yang tinggi dalam pemeriksaan kasus-kasus yang dituntut dengan hukuman mati. Polri dan Kejaksaan Agung juga perlu memastikan peningkatan kapasitas dan tersedianya aturan standar yang tinggi dalam penanganan kasus serupa.
Terhadap terpidana mati yang ada, menurut Maidina, perlu dilakukan asesmen terhadap kondisi mereka yang berada dalam deret tunggu. Hal ini penting untuk dapat memanfaatkan peluang mendapatkan grasi atau pengampunan dari Presiden.
Ke depan, hukuman mati diharapkan dapat dihapuskan dari sistem peradilan pidana. Mengingat saat ini mayoritas negara-negara di dunia sudah menghapuskan pidana mati (144 negara). Tinggal 55 negara, termasuk Indonesia, yang masih menerapkannya.