Lobi-lobi di Balik Percepatan Persetujuan Amnesti bagi Saiful Mahdi
Saiful Mahdi, korban UU ITE, berpeluang untuk segera bebas setelah DPR mengambil terobosan dalam memproses amnesti bagi Saiful. Seperti apa itu? Seperti apa pula lobi-lobi yang terjadi sehingga terobosan diambil DPR?
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Pada hari terakhir sidang sebelum memasuki masa reses selama sekitar empat pekan, DPR membuat kejutan dengan mempercepat proses pemberian pertimbangan atas persetujuan amnesti dari Presiden Joko Widodo bagi Saiful Mahdi. Alhasil, dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang dihukum dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE itu berpeluang untuk dibebaskan dari penjara tanpa harus menanti masa reses DPR berakhir. Bagaimana kisah di balik percepatan itu?
Keadilan yang dinanti Saiful Mahdi selama lebih dari dua tahun mulai tampak saat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan bahwa Presiden Jokowi menyetujui amnesti bagi Saiful, Selasa (5/10/2021). Ia juga mengumumkan surat dari Presiden terkait hal itu telah dikirimkan ke DPR pada 29 September lalu karena sesuai dengan Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, amnesti dari Presiden harus didahului pertimbangan dari DPR.
Dengan demikian, tinggal selangkah lagi amnesti diberikan kepada Saiful. Namun, untuk menempuh satu langkah itu bukan perkara mudah.
Sekalipun surat sudah diterima DPR pada Rabu (29/9/2021), tetapi hingga Rabu (6/10/2021) atau sehari setelah pengumuman dari Menteri Mahfud, DPR belum juga memprosesnya. Padahal, Kamis (7/10/2021) menjadi hari terakhir DPR bersidang sebelum memasuki masa reses. Reses berlangsung selama sekitar empat pekan dan selama reses, setiap anggota DPR berada di daerah pemilihan masing-masing sehingga tak mungkin sidang digelar, termasuk di dalamnya membahas soal amnesti bagi Saiful.
Adapun prosedur yang berlaku di DPR, surat dari Presiden harus dibacakan dulu di Rapat Paripurna DPR, kemudian dibahas di Badan Musyawarah DPR untuk menentukan alat kelengkapan DPR (AKD) yang membahas isi surat. Baru setelah AKD menyetujui isi surat, hasilnya dibawa kembali ke paripurna untuk memperoleh persetujuan dari semua anggota DPR.
Jadi, jika mengikuti prosedur tersebut, tak mungkin pemberian pertimbangan dari DPR bisa diberikan dalam satu hari. Dan dengan sidang terakhir DPR pada Kamis, berarti ada kemungkinan pembahasan amnesti bagi Saiful baru dibicarakan setelah masa reses.
Dengan kata lain, sekalipun Presiden sudah menyetujui pemberian amnesti bagi Saiful, tetapi Saiful masih harus mendekam di penjara selama sekitar empat pekan untuk menunggu masa reses DPR tuntas. Itu pun kalau setelah reses, DPR langsung membahasnya. Jika tidak, bisa lebih lama lagi Saiful mendekam di penjara. Keadilan yang sudah mulai tampak, seketika memudar jika melihat hitung-hitungan waktu tersebut.
Namun, yang terjadi kemudian di luar dugaan.
Di tengah-tengah Rapat Paripurna DPR, Kamis (7/10/2021), Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar membacakan surat dari Presiden terkait persetujuan amnesti bagi Saiful. Surat dibacakan setelah salah satu anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hamid Noor Yasin, menginterupsi jalannya paripurna untuk menyampaikan pandangan terkait problem hukum yang menimpa Saiful dan menyatakan dukungan agar amnesti dari Presiden bagi Saiful disetujui.
Tak hanya membacakan surat Presiden, Muhaimin langsung meminta persetujuan dari seluruh anggota DPR yang hadir terkait isi surat tersebut. ”Atas alasan urgensi isi surat dan mengingat DPR akan memasuki masa reses,” ujarnya. Semua anggota DPR yang hadir pun menjawab persetujuannya. Tak ada satu pun yang menolak.
Jadilah DPR menuntaskan syarat pemberian pertimbangan atas amnesti dari Presiden bagi Saiful hanya dalam hitungan menit. Tidak pula melalui prosedur berliku yang selama ini berlaku di DPR, seperti harus melalui dua kali rapat paripurna, pembahasan di Badan Musyawarah, dan rapat-rapat oleh AKD.
Ada apa di balik percepatan tersebut?
Ternyata, ada peran lobi-lobi dari Menko Polhukam Mahfud MD untuk mempercepat proses itu. Menurut informasi, Mahfud sempat bertemu dengan Ketua DPR dari Fraksi PDI-P Puan Maharani saat rangkaian acara pembukaan Pekan Olahraga Nasional di Papua, 2 Oktober lalu. Mahfud menjelaskan alasan mengapa proses persetujuan harus dipercepat. Saiful telah mendekam di penjara sejak 2 September lalu, dengan hukuman tiga bulan penjara. Jika persetujuan DPR lambat, amnesti akan sia-sia. Puan pun sepakat untuk menindaklanjuti, dan akan mengecek surat yang telah dikirimkan Presiden ke DPR.
”Saat itu, saya mendampingi Pak Menko (Mahfud MD) untuk rangkaian kegiatan pembukaan PON di Papua. Memang benar, di situ beliau bertemu dengan Ketua DPR dan membahas soal amnesti Saiful Mahdi,” kata Staf Khusus Menko Polhukam Rizal Mustary, saat dikonfirmasi, Minggu (10/10/2021).
Selain berkomunikasi dengan Ketua DPR, untuk melancarkan proses persetujuan di DPR, Mahfud juga berkomunikasi intensif dengan sejumlah anggota DPR.
Salah satunya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani. Berlatar belakang sesama Nahdliyyin dan mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), hubungan keduanya dekat. Terlebih, di Komisi III, tugas Arsul juga berhubungan dengan pemberian amnesti. Arsul pun ikut berperan dalam mempercepat proses di DPR.
Dihubungi terpisah, Arsul mengatakan, percepatan yang dilakukan DPR sama sekali tidak melanggar aturan. Menurut dia, itu adalah terobosan untuk memperpendek formalitas. Proses pembahasan di Badan Musyawarah DPR dan Komisi III DPR dapat dilewati karena forum tertinggi di DPR adalah rapat paripurna.
Dengan alasan kasus penting dan mendesak, pimpinan DPR dalam waktu cepat, dapat memutuskan untuk meminta persetujuan terkait amnesti dengan sistem voting (pemungutan suara). Dia pun mengapresiasi manuver dan kesigapan pengambilan keputusan di tingkat pimpinan DPR. Walau dikejar waktu yang sangat mepet, keputusan dapat diambil dengan tepat dan tanggap untuk membela kepentingan publik.
”Mengapa DPR memutuskan membuat terobosan yang progresif itu? Karena orangnya sudah ditahan. Kalau harus menunggu proses normal, apalagi harus menunggu reses, amnesti tidak akan ada gunanya,” terang Arsul.
Saat ini, menurut Arsul, DPR juga sedang memproses surat persetujuan untuk segera dikirim kepada Presiden. Pasca-persetujuan DPR, presiden harus menetapkan pemberian amnesti itu melalui keputusan presiden (keppres). Surat itu yang kemudian akan menjadi dasar untuk Saiful menghirup kebebasan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai terobosan yang telah diambil DPR perlu diapresiasi. Sebab, selama ini, DPR cenderung mengedepankan aspek formalitas dalam pengambilan keputusan. Alhasil keputusan seringkali lambat diambil.
”DPR mulai menunjukkan semangat untuk membela rakyat saat memutuskan persetujuan Saiful Mahdi. Namun, konsistensi mereka dalam membela kepentingan rakyat kecil masih ditunggu. Sebagai langkah awal, ini bisa diapresiasi,” kata Lucius.
Lucius berharap DPR dapat menunjukkan konsistensinya dalam membela kepentingan rakyat. Dalam konteks UU ITE, misalnya, masih banyak korban lain di luar Saiful Mahdi yang menderita karena penegakan hukum yang keliru. Ke depan, DPR harus mengoreksi penegakan hukum itu dengan memaksimalkan kerja legislasi untuk merevisi total UU ITE. Semangat DPR untuk membela rakyat harus terus ditunjukkan agar citra mereka terus membaik dan mendapatkan kepercayaan dari publik.