Harmoni Islam dan Budaya “Kiai Kampung”
Upaya terus berada di tengah, sebagaimana kultur NU yang ”tasamuh” (toleran), ”tawazun” (seimbang), dan ”tawasuth” (berada di tengah), adalah pergulatan yang terus dilakukan oleh para kiai di pesantren.
KH Said Aqil Siroj (68) menyadari arti penting budaya dan karakter sebagai pondasi suatu bangsa. Islam di Indonesia pun tidak dapat dilepaskan dari budaya. Uniknya, ia meyakini jalinan Islam dan budaya itu bukan dilakukan melalui pendekatan yang terlampau rumit atau kompleks. Kuncinya justru ada di kesederhanaan para ”kiai kampung.”
Ia memulai ceritanya dengan kesan pada kesederhanaan hidup di pesantren. Pesantren menjadi lokus yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu. Boleh dibilang, Kiai Said adalah anak kandung pesantren. Ayahnya adalah penerus Pondok Pesantren Gedongan di Cirebon, Jawa Barat. Sementara dari garis ibu, kakenya juga pengasuh Pesantren Kempek, yang juga di Cirebon. Ia sendiri lahir di Kempek.
Seperti kebetulan juga, kami bertemu di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah, Jakarta Selatan, Sabtu (9/10/2021) kemarin. Perjumpaan itu akhirnya terjadi setelah beberapa kali janji temu yang harus disesuaikan karena padatnya agenda. Dalam beberapa waktu terakhir, jadwal Kiai Said memang lebih padat daripada hari-hari biasa, karena ia harus menyiapkan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34. Muktamar, menurut rencana, digelar pada 23-25 Desember 2021. Sebagai penanggung jawab hajatan besar itu, Kiai Said mesti menyiapkan segalanya, mulai dari agenda, persiapan teknis, hingga soal anggaran.
Dalam dua pekan terakhir, ia menemui banyak tokoh nasional dan kiai sepuh untuk membahas soal persiapan muktamar, sekaligus bersilaturahim. ”Ada muktamar atau tidak ada muktamar, memang sudah tugas saya sebagai Ketum PBNU untuk sowan dengan kiai-kiai sepuh. Tidak hanya dengan kiai yang dulu pernah menjadi guru saya, seperti di Lirboyo, Ploso, dan Yogya (Krapyak), tetapi juga kiai lainnya. Seperti Kiai Muhtadi di Banten, itu bukan guru saya, tetapi saya pun tetap datang,” ungkapnya, yang Sabtu siang itu mengenakan batik dan sarung warna hitam.
Sembari bercerita, Kiai Said memilin tasbih kecil warna hitam di tangan kanannya. Intonasinya renyah ketika ia menceritakan masa-masa belajar di pesantren yang penuh suasana kebersamaan. ”Tidak ada yang membedakan anak orang kaya, atau orang miskin. Kami semua makan makanan yang sama, tinggal di tempat yang sama, dan belajar hal-hal yang sama. Suasananya kental dengan kebersamaan dan persaudaraan,” ucapnya.
Ia berguru ke banyak pesantren, tidak hanya di Cirebon, tetapi juga ke Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, dan Pesantren Krapyak di Yogyakarta. Dari semua gurunya, ia menangkap ajaran mengenai akhlak yang mesti lebih diutamakan daripada ilmu, bahkan hukum atau fikih (fiqh). Karena itulah, inti ajaran pesantren penuh dengan pesan-pesan keagamaan yang damai, menghargai tradisi dan budaya, serta mendahulukan adab atau etika moral ketimbang sekadar kecerdasan ilmu.
Di pesantren, misalnya, para santri juga membaca kitab-kitab fikih yang mengatur hukuman kepada pencuri, pembunuh, atau pelaku zinah. Namun, yang didakwahkan oleh para kiai bukan hukuman yang keras, seperti potong tangan, 40 kali cambukan, atau 100 kali cambukan. Saat berdakwah, yang disampaikan oleh para kiai, yang hidup di kampung-kampung, dan menyatu dengan masyarakat, ialah akhlak terlebih dulu. Para kiai kampung itu memahami tujuannya ialah menciptakan pergaulan yang baik di antara masyarakat, dan melakukan pendekatan yang baik dan bijak.
”Jadi, enggak ada itu kiai pesantren bicara yang keras-keras seperti potong tangan, hukum cambuk. Berbeda, misalnya, dengan yang berpaham radikal, yang setelah membaca kitab soal hukum itu lalu didakwahkan. Kalau kiai pesantren tidak seperti itu,” ucapnya lagi.
Islam Nusantara
Gambaran mengenai kiai kampung yang berbasis pesantren ini melekat sekali dengan gagasan Kiai Said mengenai Islam Nusantara. Soal istilah Islam Nusantara ini, banyak pihak yang juga beberapa kali salah paham, dan menganggap ini Islam jenis baru. Padahal konsepsi ini hanya formulasi dari praktik Islam yang sudah ada di Tanah Air.
Sejak era wali songo dan ulama-ulama terdahulu, mereka memiliki kecerdasan dan intuisi budaya, yang disertai dengan kesadaran moral, dengan tidak grasa-grusu menghilangkan yang sudah ada. Beberapa tradisi dan kebiasaan warga yang tumbuh di Nusantara, seperti menghormati Dewi Sri, melarung sesajen di laut, atau pertunjukan wayang, semua diterima dan diafirmasi.
Misalnya,budaya syukuran laut atau nyadran, yang dulu ditandai dengan penyerahan kepala kerbau di berbagai tradisi, tidak dilarang oleh para kiai pesantren di kampung-kampung. Begitu pula syukuran kepada Dewi Sri yang berisi doa-doa dan persembahan agar panen baik, juga tidak dilarang oleh para kiai. Semua dilestarikan, hanya dengan sedikit modifikasi, yakni dengan mengubah substansinya.
Selama kitab-kitab kuning itu terus diajarkan, kualitas keilmuan kiai kita di pesantren akan terus terjaga.
”Nyadran, misalnya, diisi dengan istigasah atau doa. Begitu juga untuk acara Dewi Sri, juga ada doa dan istigasah, aau baca Al-Quran. Artinya, budaya pengucapan syukur dan selamatan itu tidak dilarang. Budaya justru dilestarikan dan dijadikan infrastruktur bagi agama. Dengan begini, budayanya lestari dan agamanya kuat,” ucap Guru Besar Bidang Tasawuf Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya, ini.
Kebijaksanaan para kiai kampung yang melestarikan budaya itu telah terbukti berhasil. Cara dakwah yang tidak konfrontatif, tidak mengumbar ancaman kekerasan, dan mengedepankan tujuan hidup bermasyarakat yang membawa kedamaian dan kemaslahatan, adalah kunci dari keseimbangan Islam dan budaya di Indonesia selama ini. Upaya menjaga harmoni itu menjadi perjuangan yang penuh tantangan belakangan ini di tengah tarikan arus ekstremisme beragama di satu sisi, dan tarikan liberalisme di sisi lain.
Upaya terus berada di tengah, sebagaimana kultur NU yang tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan tawasuth (berada di tengah), menurut Said, adalah pergulatan yang terus dilakukan oleh para kiai di pesantren. Sekalipun berasal dari berbagai pesantren, semangat kiai sama. Hal itu dimungkinkan karena rujukan semua kiai pesantren itu sama, yakni kitab-kitab kuning. ”Selama kitab-kitab kuning itu terus diajarkan, kualitas keilmuan kiai kita di pesantren akan terus terjaga,” ujarnya.
Barokah kiai
Peranan kiai kampung dalam menjaga akhlak ini membekas bagi Kiai Said sejak kecil. Ayahnya juga seorang kiai kampung, yang sehari-harinya mengajar di pesantren.
”Setelah Subuh sampai pukul 09.00 atau 10.00 pagi, ayah saya mengajar di pesantren. Setelah itu ke sawah, karena keluarga kami juga ada sawah yang harus diurus. Baru seusai Zuhur, ayah saya mengajar lagi sampai asar. Selepas magrib menerima tamu, dan lanjut mengajar selepas isya," katanya.
Semua itu dilakukan ayahnya dengan ikhlas, dan tanpa bayaran sepeser pun. Tetapi justru di situlah Kiai Said menemukan berkah dari seorang kiai. Meskipun bapaknya tidak memiliki pendapatan tetap, tetapi ia bisa membesarkan lima anak yang semuanya laki-laki.
”Hidupnya tenang, dan kelima anaknya jadi orang semua. Mungkin itu karena ayah saya tidak banyak keinginan, sehingga makan ya secukupnya nasi dengan lauknya, dan bersyukur dengan itu semua,” katanya.
Ia pun terkekeh kalau mengingat setiap kali ayahnya pulang dari berdoa dari memimpin tahlil atau yasin, ayahnya yang kiai kampung itu selalu membawa nasi berkat. Nasi itu adalah oleh-oleh yang dibawakan oleh si pemilik rumah untuk para warga yang berdoa dan kiai. Kiai Said bahkan ingat betul komposisi lauknya.
”Nasi berkat itu isinya satu-satu. Ayamnya satu, telurnya satu, dagingnya satu, ha-ha-ha,” katanya.
Hal yang membuat nasi berkat kiai itu berkesan, menurut Kiai Said, adalah keikhlasannya. Itulah yang membuat nasi berkat itu begitu dinanti dan rasanya luar biasa enak.
”Kalau orang ikhlas itu kan rasanya semua jadi enak. Jadi kalau kita diberi makanan dengan ikhlas, itu makanan paling halal menurut saya, karena ikhlasnya itu,” ucap Kiai Said.
Tidak hanya ngalap berkat dari ayahnya, Kiai Said juga merasa menerima berkah luar biasa dari perkenalannya dengan Abdurrahman Wahid. Saat Kiai Said menempuh studi di Ummul Qura, Mekkah, Gus Dur kerap menginap di rumahnya. Walau ada hotel, tetapi Gus Dur lebih memilih untuk menginap di rumah Kiai Said, yang punya dua kamar.
Sepanjang malam, mereka berdua berdiskusi soal tasawuf, sejarah peradaban, dan berbagai pemikiran. Sampai suatu ketika Gus Dur mengajak Kiai Said untuk berjalan-jalan ke Madinah. Mereka ingin mencari kiai berilmu tinggi dan meminta doa darinya.
Di sebuah masjid, mereka berhenti dan menilik satu persatu orang di tempat itu. Ada satu orang dengan jenggot panjang, dan ketika ditanyakan oleh Kiai Said kepada Gus Dur, Gus Dur mengatakan bukan. Ada pula orang yang membawa tumpukan kitab, dan itu pun bukan ulama yang dimaksud oleh Gus Dur.
Namun, ada satu orang duduk di pojok masjid, dan Gus Dur menunjuknya. Setelah Kiai Said memperkenalkan diri, orang itu terkaget-kaget. Ada apa gerangan ia dicari.
”Saya katakan kami hanya meminta doa. Lalu dia mulai mendoakan. Setelah dia berdoa, dia lalu pergi sambil berucap, salahku apa ya Allah sampai keberadaanku dibuka di hadapan mereka,” kata Kiai Said.
Orang itu ternyata seorang wali atau orang yang berilmu tinggi. Gus Dur bisa mengenalinya. ”Hanya sesama wali yang bisa mengenali wali lainnya,” ucapnya.
Dari kiai kampung, banyak hal bisa direfleksikan. Tidak terkecuali bagi Kiai Said. Lebih dari sekadar mengajar agama, kiai kampung adalah orang yang membangun akhlak, bahkan karakter bangsa.
Biodata Kiai Said Aqil
Nama : Said Aqil Siroj
Tempat, tanggal lahir : Cirebon, 3 Juli 1953
Nama istri : Nur Hayati Abdul Qodir
Nama anak : Muhammad Said Aqil
Nisrin Said Aqil
Rihab Said Aqil
Agil Said Aqil
Pendidikan Formal : S-1 Universitas King Abdul Azis, jurusan Ushuluddin dan Dakwah, 1982.
S-2 Universitas Ummul Qura, jurusan Perbandingan Agama, 1987.
S-3 Universitas Ummul Qura, jurusan Aqidah-Filsafat Islam, 1994.
Guru Besar bidang Tasawauf dari UIN Sunan Ampel, 2015.
Pendidikan non-formal : Pondok pesantren Kempek, Cirebon; Ponpes Lirboyo, Kediri; Ponpes Krapyak Yogyakarta.
Pengalaman organisasi : Wakil Katib Aam PBNU (1994-1998), Katib Aam PBNU (1998-1999); Rais Syuriah PBNU (1999-2004); Ketua Umum PBNU (2010-sekarang)