Wacana Penjabat Kepala Daerah TNI/Polri Jangan Sampai Terulang
Guna melanjutkan reformasi birokrasi, dibutuhkan penjabat kepala daerah dari jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama. Jika ada anggota TNI/Polri menduduki jabatan tersebut, harus melalui proses seperti PNS.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diingatkan agar tidak mengulangi kesalahan menempatkan anggota TNI/Polri aktif dalam jabatan sipil. Selain mengganggu jalannya demokrasi, kebijakan itu juga dapat mengganggu reformasi birokrasi dan profesionalisme anggota TNI/Polri sendiri.
Gagasan itu mengemuka dalam diskusi daring ”TNI/Polri Menjadi Penjabat Kepala Daerah: Kemunduran Demokrasi dan Reformasi Birokrasi” yang diadakan LP3ES, Jumat (8/10/2021).
Beberapa tahun sebelumnya pernah terjadi penunjukan anggota TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah. Asisten Operasi Kapolri Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan dilantik menjadi pelaksana tugas (plt) Gubernur Jawa Barat pada saat Pilkada 2018. Kemudian, Perwira Tinggi TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Soedarmo ditunjuk sebagai Plt Gubernur Aceh pada 2016. Staf Ahli Bidang Ideologi dan Konstitusi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Inspektur Jenderal Carlo Brix Tewu juga diangkat sebagai Plt Gubernur Sulawesi Barat pada 2016. Mayor Jenderal TNI Achmad Tanribadi Lamo ditunjuk menjadi Plt Gubernur Sulawesi Selatan pada 2008.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Diandra Megaputri Mengko mengatakan, wacana perekrutan penjabat kepala daerah dari anggota TNI/Polri salah secara legal formal. Wacana itu bertentangan dengan berbagai aturan perundangan, terutama Pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan Pasal 109 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
”Permasalahannya meskipun melanggar aturan secara legal formal, praktik ini pernah dilakukan. Ada pandangan bahwa penunjukan TNI/Polri sebagai penjabat daerah akan lebih netral. Selain itu, juga untuk mengamankan kerawanan pemilu yang tinggi. Namun, apakah benar demikian?” kata Diandra.
Baca juga: TNI-Polri dan Rencana Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Selain Diandra, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo, pengamat reformasi birokrasi Tjoki A Siregar, dan Yanuar Nugroho dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).
Diandra menjelaskan, ada kecenderungan anggota TNI/Polri aktif dipolitisasi dalam konteks pemilu. Hal itu terlihat pada tahun 2004, misalnya, seorang polisi berpangkat komisaris besar memberikan pengarahan pelaksanaan pilpres kepada keluarga besar kepolisian. Perwira tersebut memberikan komentar negatif dan mengajak masyarakat untuk tidak memilih salah satu calon.
Adapun, masih di tahun yang sama, apel komando di jajaran TNI juga menginstruksikan larangan memilih partai yang tidak segaris dengan kebijakan TNI. Perwira tinggi pimpinan apel tersebut menunjukkan AD/ART Partai Demokrat sebagai buki bahwa partai tersebut tidak sejalan dengan TNI. Pada tahun 2014, juga ada laporan keterlibatan oknum Babinsa TNI yang mengarahkan masyarakat untuk memilih paslon tertentu. Hal itu kemudian dibantah oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko.
”Tanpa ada penunjukan aktor keamanan sebagai penjabat kepala daerah pun, kecenderungan untuk memolitisasi aktor keamanan dalam konteks pemilu sudah cukup tinggi. Apalagi, jika ada penunjukan. Ini berisiko lebih besar untuk membawa mereka terlibat dalam pusaran politik praktis,” imbuh Diandra.
Diandra menjelaskan, ada kecenderungan anggota TNI/Polri aktif dipolitisasi dalam konteks pemilu. Hal itu terlihat pada tahun 2004, misalnya, seorang polisi berpangkat komisaris besar memberikan pengarahan pelaksanaan pilpres kepada keluarga besar kepolisian. Perwira terserbut memberikan komentar negatif dan mengajak masyarakat tidak memilih salah satu calon.
Kekhawatiran masuknya TNI/Polri ke jabatan sipil ini pun muncul. Sebab, pada 2022-2023, akan ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya, dengan 24 di antaranya adalah jabatan gubernur. Adapun 101 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022, dan 170 kepala daerah habis masa jabatannya pada 2023. Sebagian bahkan sudah habis masa jabatannya pada Mei 2022.
”Wacana penunjukan itu sangat kontraproduktif dengan agenda pembangunan profesionalisme TNI/Polri sebagai aktor keamanan. Ranah militer, kepolisian, itu sangat berbeda dengan ranah politik. Mencampuradukkan ketiganya bisa menjadi penyalahgunaan aktor keamanan seperti terjadi di masa Orde Baru,” kata Diandra.
Baca juga: Pelibatan TNI/Polri Tak Sesuai Undang-Undang Pilkada
Eko Prasojo mengatakan, penunjukan TNI/Polri sebagai kepala daerah juga kontradiktif dengan semangat reformasi birokrasi. Menurutnya, penjabat kepala daerah adalah jabatan sipil yang membutuhkan profesionalisme pengelolaan pemerintahan dan birokrasi. Untuk melanjutkan reformasi birokrasi, dibutuhkan penjabat kepala daerah dari jabatan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama aparatur sipil negara. Jika kemudian ada anggota TNI/Polri yang menduduki jabatan tersebut, prosesnya harus melalui seperti PNS, yaitu diusulkan melalui proses pembahasan antara pemerintah pusat dan DPRD untuk memperoleh legitimasi.
”Perekrutan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah harus mematuhi aturan di Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 jelas mengatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Adapun, Pasal 47 Ayat (1) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur tentang prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” kata Eko.
Di luar wacana itu, opsi yang diajukan oleh Eko adalah penjabat kepala daerah dipilih oleh DPRD. Selain itu, pemerintah juga dapat memperpanjang masa jabatan kepala daerah saat ini. Hal itu, pernah terjadi di kasus Gubernur DIY saat pembahasan UU DIY. Perpanjangan masa jabatan gubernur diputuskan melalui payung hukum keputusan presiden (keppres).
Sementara itu, Tjoki A Siregar mengatakan, realitanya saat ini memang banyak perwira senior di TNI yang tertunda kenaikan pangkatnya. Ada surplus perwira menengah dan tinggi di TNI yang membuat negara berpikir untuk menyalurkan mereka ke mana.
Namun, dengan adanya wacana penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri, dianggap justru akan menimbulkan kecanggungan. Sebab, tugas mereka adalah menjaga pertahanan negara ataupun tugas keamanan ketertiban masyarakat untuk anggota Polri. Penunjukan mereka sebagai penjabat kepala daerah bisa memicu masalah baru. Sebab, para perwira senior tidak familiar dengan isu pemerintahan dan birokrasi.
”Jangan sampai wacana penjabat kepala daerah ini disalurkan untuk mengatasi masalah penumpukan perwira. Ini tidak hanya menjadi beban reformasi birokrasi, tetapi juga membebani tugas mereka dalam profesionalisme TNI/Polri,” terang Tjoki.