Akhir Perjuangan Saiful Mahdi Mempertahankan Kebebasan Berekspresi
Pengampunan hukuman bagi Saiful Mahdi tinggal selangkah lagi. Setelah DPR memberikan persetujuan, kini amnesti untuk Saiful tinggal menunggu ditetapkan melalui keputusan presiden.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
Saiful Mahdi tidak pernah menyangka, hanya karena pesan yang dikirim ke grup percakapan terbatas, dia dijebloskan ke penjara. Tak tebersit setitik pun niat jahat. Dosen Universitas Syiah Kuala, Aceh, itu hanya menyuarakan kritik atas penerimaan pegawai kampus. Kritik yang kemudian menyeretnya ke meja hijau dan menimbulkan dampak besar pada kehidupan Saiful dan keluarga.
Saiful harus mendekam di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Banda Aceh sejak 2 September 2021 setelah permohonan kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA). MA menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh yang menjatuhkan hukuman 3 bulan penjara kepada Saiful. Majelis hakim menilai Saiful bersalah mencemarkan nama baik dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kritik terhadap proses penerimaan pegawai Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang ia sampaikan melalui grup Whatsapp dianggap pencemaran nama baik.
Sebelum putusan dieksekusi, Saiful telah melalui pergulatan hukum yang cukup panjang. Kuasa hukum Saiful, Syahrul Putra Mutia, menceritakan, sekitar Maret 2019, di grup Whatsapp Unsyiah Kita yang dikelolanya, Saiful menuliskan, ”Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin” dan ”Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble?”. Pesan itu ditulis untuk menanggapi seleksi pegawai negeri sipil (PNS) dosen yang diadakan pada akhir 2018.
Saiful mendengar adanya dugaan penyimpangan dalam proses seleksi dari seorang dosen, salah satu peserta seleksi. Dosen itu telah bekerja selama dua tahun di Unsyiah, tetapi dinyatakan gagal menjadi calon PNS, meski mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian kompetensi. Justru dosen lain yang diduga tidak memenuhi kriteria administratif dapat mengikuti proses seleksi dan kemudian lulus ujian.
Berbekal informasi itu, Saiful kemudian menganalisis nilai-nilai peserta tes dari Fakultas Teknik. Dia menyimpulkan ada kejanggalan dalam penilaian rekrutmen calon PNS itu. Saiful lalu menulis kritik di grup whatsapp Unsyiah Kita yang beranggotakan sekitar 100 dosen. Pesan itu jelas tidak ditujukan untuk umum. Namun, pesan itu kemudian beredar di kalangan karyawan universitas, yang kemudian diketahui oleh Dekan Fakultas Teknik. Padahal, dekan tersebut bukan merupakan anggota grup Whatsapp.
”Bang Saiful hanya ingin menyuarakan soal sistem meritokrasi dalam penerimaan dosen. Latar belakang dia adalah orang biasa dari keluarga miskin yang beruntung dapat mengecap pendidikan tinggi sehingga dia berempati kepada dosen yang tidak lolos meski nilainya tinggi,” tutur Dian Rubiyanti, istri Saiful.
Tak diduga, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala melaporkan Saiful ke senat kampus. Senat kemudian memanggilnya untuk dimintai klarifikasi pada 18 Maret 2019. Setelah itu, senat mengirim surat kepada Saiful yang menyatakan ada pelanggaran kode etik dan memintanya menulis surat permintaan maaf kepada jajaran pimpinan atas pernyataan yang dia buat. Namun, Saiful menolak untuk meminta maaf dan justru mempertanyakan keputusan senat karena dirinya belum pernah diperiksa dalam sidang etik kasus tersebut.
Sebagai akademisi dan dosen statistika di Unsyiah, Saiful memahami hak kebebasan berpendapat dan kebebasan akademis. Dia tidak berniat jahat mencemarkan nama baik dalam kritiknya. Lagi pula kritiknya juga tidak secara spesifik menyebut nama seseorang.
Lantaran Saiful tak kunjung meminta maaf, persoalan itu dibawa ke ranah pidana. Dia dipanggil Kepolisian Resor Kota Banda Aceh sebagai saksi dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Dekan Fakultas Teknik. Namun, Saiful kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik dekan tersebut. Padahal, dia tidak pernah menyebut nama siapa pun dalam pesan di grup Whatsapp.
Kasus itu mulai disidangkan pada 21 April 2020 di PN Banda Aceh. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta kepada Saiful. Merasa putusan hakim tak adil, ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, tetapi ditolak. Kasasi yang diajukan ke MA juga ditolak. Putusan itulah yang membawanya harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Lambaro, Aceh Besar.
Dampak psikologis
Pasca-putusan kasasi MA, keluarga sebenarnya sudah pasrah. Energi dan pikiran sudah habis untuk berjuang mencari keadilan. Kasus itu cukup mengganggu psikologis Saiful dan keluarga. ”Sekarang ini status saya adalah istri dari seorang narapidana, Mbak,” ujar Dian, saat dihubungi, Jumat (8/10/2021).
Apalagi, sejak kasus tersebut bergulir, berbagai kegiatan dan proyek penelitian tidak bisa dikerjakan oleh Saiful. Saiful adalah salah satu dari 21 anggota Forum Masyarakat Statistik (FMS) yang berada di bawah Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Tugas FMS adalah memberikan masukan terkait dengan kesahihan dan kevalidan data.
”Semenjak kasus ini bergulir, Bang Saiful tidak bisa hadir berkontribusi dalam forum tersebut. Konsentrasinya juga pecah sehingga tidak bisa mengerjakan proyek penelitian,” tutur Dian.
Meskipun demikian, Saiful pantang mundur. Dia tetap memperjuangkan hak kebebasan berpendapat dan kebebasan akademiknya. Bahkan, saat sudah berada di lapas pun dia tetap mengajar secara daring. Namun, pada Minggu ketiga berada di lapas tiba-tiba Saiful tidak bisa masuk ke sistem perkuliahan karena dikunci. Keluarga belum sempat mengklarifikasi hal itu kepada pihak kampus. Ada kekhawatiran, Saiful tak lagi bisa mengajar di kampus karena persoalan ini.
Didukung oleh koalisi masyarakat sipil, keluarga akhirnya bersedia mengajukan surat permohonan amnesti kepada presiden. Tujuannya untuk memperlihatkan kesalahan penegakan hukum pasal karet UU ITE sehingga korban serupa dapat dihindari di masa depan.
Pada 6 September 2021, koalisi masyarakat sipil mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Kemudian, pada 21 September 2021, tim hukum dan beberapa pakar hukum juga melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk meyakinkan pemerintah bahwa Saiful layak diberi amnesti.
Sinar terang mulai terlihat saat Presiden memutuskan menyetujui permohonan amnesti yang disampaikan kepada DPR pada 29 September. Pada hari terakhir Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2021, Kamis (7/10/2021), DPR menyetujui pemberian amnesti. Pimpinan rapat paripurna, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, melakukan terobosan karena menganggap permohonan pertimbangan amnesti Saiful penting dan mendesak. Tanpa melalui proses pembahasan di Badan Musyawarah dan Komisi III, amnesti untuk Saiful disetujui secara aklamasi oleh anggota DPR.
Keputusan itu membuat Dian dan anak-anak Saiful merasa lega. Namun, untuk bisa berkumpul kembali bersama Saiful, mereka masih harus bersabar menunggu keputusan presiden tentang pemberian amnesti.
Pemberian amnesti itu sebenarnya bukan sebatas pengampunan kepada Saiful. Lebih dari itu, amnesti juga menunjukkan adanya jaminan negara atas kebebasan akademis dan kebebasan berekspresi.
Kesalahan penegakan hukum UU ITE tidak bisa terus-menerus diinterupsi dengan pemberian amnesti.
Meski begitu, menurut dosen Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, kesalahan penegakan hukum UU ITE tidak bisa terus-menerus diinterupsi dengan pemberian amnesti. Amnesti kepada Saiful adalah yang kedua kali diberikan kepada korban pasal karet dan multitafsir UU ITE. Sebelumnya amnesti diberikan kepada seorang perempuan guru asal Mataram, Baiq Nuril.
Sementara di luar kasus Saiful masih ada puluhan korban lain yang dikriminalisasi melalui UU ITE. Dari data Paguyuban Korban UU ITE, ada 23 kasus UU ITE yang tetap ditangani penegak hukum meski tak sesuai dengan pedoman pemidanaan. Menurut Zainal, pemerintah dan DPR semestinya bisa melihat adanya problem serius dalam penegakan hukum UU ITE. Pembuat regulasi juga seharusnya memahami bahwa satu-satunya jalan keluar untuk mencegah kesalahan adalah merevisi UU ITE dengan mendengarkan seluas-luasnya aspirasi masyarakat.
Bagaimanapun perjalanan panjang Saiful mencari keadilan layak dijadikan pelajaran bagi masyarakat luas ataupun pemerintah. Setelah Saiful mendapatkan amnesti, pihak-pihak yang semula menghakiminya sebagai orang yang bersalah harus legawa. Harapan keluarga, pergulatan hukum yang panjang ini bisa memulihkan reputasi Saiful. Terselip pula harapan, semoga Saiful dan keluarga menjadi korban terakhir atas kesalahan penerapan UU ITE.