Para taruna yang tengah menempuh pendidikan di akademi-akademi TNI punya kisah yang beragam sebangun dengan latar belakang mereka yang beragam pula. Berikut beberapa kisah dari para taruna dan taruni Akmil, AAL, dan AAU.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
Sejarah perang membuktikan, semangat juang tetap menjadi salah satu faktor penentu menang-kalah. Para taruna yang tengah menempuh pendidikan di akademi-akademi TNI semua bisa menjadi perwira TNI asal memiliki semangat juang dan mau ditempa. Tiap-tiap dari mereka juga punya kisah yang beragam sebangun dengan latar belakang mereka yang beragam pula.
Sersan Mayor (Serma) Satu Taruna Bambang Wahyu Setyoko (22) awalnya tidak punya imaji untuk masuk Akademi Angkatan Udara (AAU) di Yogyakarta. Anak buruh tani dari Blora, Jawa Tengah, ini hanya bercita-cita menjadi tamtama. Ia ingin mengangkat derajat ayahnya.
Lulus SMA, Bambang ikut tetangga yang tinggal di Pontianak karena konon akan ada pendaftaran tamtama di kota itu. Namun, bulan demi bulan tidak ada pembukaan lowongan. Bambang harus mencari nafkah. Ia menjadi buruh bangunan. ”Sehari dapat Rp 90.000, tapi makan bayar sendiri jadi pas,” katanya.
Suatu hari dia melihat spanduk pengumuman seleksi dengan gambar seragam loreng. Ia lalu mendaftar ke Lanud Supadio, Pontianak. Lulus tahap pertama, dia masuk tahap seleksi berikutnya di Yogyakarta. Di sini ia kembali bingung. Pasalnya, kakak kelasnya yang tamtama mengatakan, seleksi akhir tamtama dilaksanakan di Solo, Jateng. ”Saya pikir saya yang salah,” katanya.
Namun, ia diam saja dan mengikuti proses yang terjadi. Ternyata, ia akan jadi calon perwira TNI AU. Ia baru sadar ketika bertemu kakak kelasnya yang tamtama kini memberi hormat. Keluarga yang tadinya dipandang sebelah mata oleh orang-orang desa sekarang dihormati dan banyak tetangga kerap bertamu ke rumah.
Adik kelas Bambang, Serma Dua Fitry Vebriyola, lain lagi ceritanya. Ia baru diterima di AAU tahun 2019 setelah gagal dalam seleksi pada 2017 dan 2018. Walau sempat kuliah tahun 2018, Fitry tidak melepas cita-citanya ingin jadi pilot pesawat tempur. Apakah ia tahu sangat sulit bagi perempuan jadi pilot pesawat tempur? ”Siap! Sulit sekali. Tapi saya ingin,” katanya yakin.
Ayahnya yang sopir kontainer dan ibu yang guru mendukungnya seratus persen. Penari jaipong ini sempat kaget di hari-hari pertama masuk AAU karena tidak saja harus membawa ransel dengan berat 3 kg, ia harus pula berguling dan koprol serta menjalani kegiatan tanpa jeda selama tiga bulan.
Namun, kini, ia merasa sudah biasa bangun pukul tiga pagi dan tidur pukul sepuluh malam dengan berbagai aktivitas belajar dan fisik di antaranya. ”Saya paling suka pelajaran aerodinamika untuk persiapan kalau nanti saya jadi penerbang,” katanya.
Impian sejak kecil
Muhammad Azhabil Yamin (21) sejak kecil sering melihat prajurit TNI AU dan pesawat saat ia melewati Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. Dengan terpilih menjadi taruna AAU, ia jadi tidak perlu merepotkan orangtuanya yang buruh di pabrik penyamakan kulit. Karena itu, Azhabil yang sekarang menyandang pangkat serma dua taruna ini intensif berlatih fisik saat SMA.
”Di sini tidak pernah dibeda-bedakan antara anak dari pejabat, anggota TNI, orang sipil, petani, dan sebagainya. Ini salah satu yang membuat saya bangga menjadi taruna AAU,” ujar Azhabil.
Serma Satu Taruna (T) Patih Riau Agung Purba mengatakan, dirinya senang karena memberi kejutan pada keluarga dan teman-temannya ketika mereka tahu dirinya kuliah di Akademi Angkatan Laut (AAL). Ia juga berhasil membantu keuangan ayahnya yang buruh harian lepas dan ibunya yang ibu rumah tangga.
Ia terkesan dengan kegiatan Kartika Jala Krida tahun 2020. Para taruna AAL berlayar keliling Indonesia dari Sumatera sampai Papua. Tidak saja mengenal medan juangnya di kapal dan di laut, Patih juga bisa mengunjungi tempat-tempat yang selama ini tidak ia ketahui, seperti Tual.
Serma Satu Taruna (S) Rahil Rahma Vinia juga merasa betah di AAL karena sekarang punya teman dari Sabang sampai Merauke. Anak penjual jam tangan ini memang sejak kecil bercita-cita masuk TNI AL. Saat masih sekolah, ia terkadang pergi ke pesisir pantai. Di sana ia melihat KRI lalu lalang. ”Ketika itu sempat terpikir apakah suatu saat saya bisa masuk ke sana,” katanya mengenang.
Letnan Kolonel Laut (P) Khairul Anwar, Kepala Mimbar Latihan Pelaut Departemen Pelaut AAL, menuturkan, banyak yang mengira, untuk menjadi taruna di AAL harus membayar sehingga tidak akan mengakomodasi calon-calon dari keluarga tidak mampu. Menurut dia, hal itu salah besar.
”Saya lahir dan besar di Balikpapan, Kalimantan Timur, anak pengojek. Pekerjaan mengojek dilakukan ayah saya sampai beliau meninggal. Saya mendaftar dan ternyata bisa masuk AAL. Yang diperlukan seseorang untuk menjadi taruna adalah nilai akademik yang baik, kesehatan, kecakapan kesamaptaan, dan hasil tes psikologi yang baik,” katanya.
Ditempa
Saytindo Tobing telah duduk di semester tujuh Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, ketika ibunya tiba-tiba menelepon. Ia minta agar Saytindo menjadi tentara. Ketika itu, Saytindo merasa tidak mungkin mengiyakan keinginan sang ibu. Hanya tinggal tersisa 14 sistem kredit semester (SKS) lagi untuk ia jadi sarjana fisika. Namun, setelah tiga minggu merenung, ia berubah pikiran dan memutuskan memenuhi permintaan itu.
”Saat itu, saya cuma berpikir bahwa kesempatan untuk memenuhi keinginan pribadi bisa dilakukan kapan saja, sedangkan untuk memenuhi keinginan orangtua, belum tentu bisa ditunda-tunda,” ujarnya.
Dia pun kemudian cuti kuliah selama sebulan dan menghabiskan waktunya untuk latihan fisik. Tubuhnya yang relatif gemuk dikuruskan dan rambutnya yang gondrong harus dipotong.
Masuk ke Akademi Militer di Magelang, ia belajar mengubah cara-cara dan pemikiran sipil jadi militer. Ia menemukan dirinya belajar mengatur rasa kecewa. Sebagai militer, ia selalu siap dan sigap menyikapi berbagai perubahan situasi yang berat. Ia ingat, di awal merasakan tempaan fisik yang berat, ia sempat mengeluh. Namun, kata-kata pengasuh menampar dirinya.
”Kamu sekarang militer, bukan sipil lagi. Stop mengeluh,” kata Saytindo mengenang wejangan dari seniornya.
Sementara itu, Serma Dua Taruna Saweung Setiawan, yang sedari kecil bercita-cita menjadi tentara, meniru jejak ayahnya yang seorang prajurit yang bertugas di Akmil. Pelajaran penting ia rasakan termasuk saat dihukum ketika menjalani apel malam. Ketika itu, satu peleton terpaksa menjalani hukuman karena satu rekan mereka tertinggal tertidur di barak.
”Dari hukuman itulah, kami semua menyadari bahwa saat terjun bekerja nantinya harus disadari bahwa kami tidak bisa memikirkan diri sendiri karena kesuksesan atau keberhasilan itu harus dicapai dari kerja bersama,” ujarnya. (EDN/EGI/HRS/BRO)