Korupsi Elite dan Pertaruhan Citra Partai ”Beringin”
Penahanan Wakil Ketua DPR dari Partai Golkar Azis Syamsuddin diyakini tak terlalu berpengaruh pada elektabilitas partai. Meski begitu, perlu diingat bahwa isu korupsi juga jadi perhatian pemilih muda, selain lingkungan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·7 menit baca
Perhatian publik kembali terpusat ke Partai Golkar setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menahan dan menetapkan Azis Syamsuddin sebagai tersangka perkara suap penyidik lembaga antirasuah, Sabtu (25/9/2021) dini hari. Dugaan keterlibatan Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar yang sekaligus Wakil Ketua DPR itu menambah panjang daftar politikus partai ”Beringin” yang tersandung kasus korupsi.
Azis, politikus kelahiran 31 Juli 1970, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK karena diduga menyuap bekas penyidik KPK Stepanus Robbin Patuju. Azis menjanjikan uang Rp 4 miliar kepada Stepanus sebagai kompensasi atas pengurusan perkara dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus Lampung Tengah yang menyeret namanya dan Aliza Gunado. Aliza ialah Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Lampung II.
KPK menyebutkan, Azis dan Aliza telah memberikan uang Rp 3,1 miliar dari Rp 4 miliar yang dijanjikan kepada Stepanus dan pengacara bernama Maskur Husain. Selain suap, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan akan mengembangkan penyelidikan kasus dugaan korupsi DAK Lampung Tengah. KPK akan mengungkap pihak yang diduga terkait selain Bupati Lampung Tengah Mustafa yang sudah divonis 4 tahun penjara.
”Sebenarnya tidak ada yang didahulukan tidak ada yang di belakang. Yang hari ini, inilah yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai tersangka,” ujar Firli dalam jumpa pers penetapan tersangka Azis Syamsuddin, Sabtu dini hari.
Tidak hanya Azis Syamsuddin, belum lama ini, politisi Partai Golkar yang juga ditetapkan sebagai tersangka adalah Alex Noerdin, mantan Gubernur Sumatera Selatan. Bahkan, Alex ditetapkan sebagai tersangka untuk dua kasus dugaan korupsi yang berbeda.
Pertama ditetapkan sebagai tersangka untuk perkara dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan tahun 2010-2019 yang ditangani Kejaksaan Agung. Kedua ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan korupsi pemberian dana hibah dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi Sumatera Selatan kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan dengan kerugian keuangan negara Rp 130 miliar.
Alex adalah kader Golkar yang pernah menjabat sebagai Bupati Musi Banyuasin dan menjabat sebagai Gubernur Sumatera Selatan selama dua periode. Ketika ditetapkan sebagai tersangka di dua perkara dugaan korupsi yang berbeda, Alex tercatat sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Bergerak cepat
Terjeratnya kader partai berlambang pohon beringin itu mengingatkan publik kepada perkara korupsi yang juga menjerat Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto pada November 2017. Kala itu, Novanto yang duduk sebagai Ketua DPR ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek KTP-el yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Kasus korupsi yang menjerat pucuk pimpinan partai itu membuat elektabilitas Golkar terjun bebas. Hasil survei Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) pimpinan kader Golkar, Poempida Hidayatulloh, menunjukkan elektabilitas Golkar pada Desember 2017 turun jadi 7,3 persen. Padahal, pada Pemilu 2014, Golkar meraih 14,75 persen suara sah nasional.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat wakil presiden, juga menuding kasus korupsi Novanto sebagai penyebab turunnya elektabilitas partai. Karena itulah, ia mendorong pergantian ketua umum Partai Golkar dilakukan secepat mungkin demi menyelamatkan citra partai.
Merespons penahanan Azis, Partai Golkar pun bergerak cepat. Hanya berselang belasan jam setelah Azis ditahan KPK, Partai Golkar langsung menggelar konferensi pers. Ketua Bidang Hukum DPP Partai Golkar Adies Kadir mengumumkan pengunduran diri Azis dari kursi Wakil Ketua DPR 2019-2024. Setelah menerima surat pengunduran diri, Golkar memutuskan untuk memproses penggantian Azis dalam waktu dekat.
”Insya Allah, dalam waktu dekat Partai Golkar akan mengumumkan calon penggantinya. Dalam waktu dekat artinya, ya, secepat-cepatnya,” ujar Adies saat menyampaikan keterangan resmi di ruang Fraksi Partai Golkar DPR, Sabtu siang.
Sehari kemudian, Adies mengungkapkan, nama pengganti Azis sudah ada di saku Ketua Umum Airlangga Hartarto. Menurut rencana, nama pengganti Azis sebagai Wakil Ketua DPR akan diumumkan pada Selasa esok.
Belakangan isu korupsi menjadi perhatian kelompok pemilih muda, selain isu lingkungan. Korupsi yang menjerat kader tentu akan memengaruhi persepsi pemilih muda pada partai yang bersangkutan. Karena itu, elite partai mesti berhati-hati, menjauhkan diri dari korupsi dalam bentuk apa pun.
Meski begitu, Adies menegaskan, persoalan Azis dan juga Alex Noerdin tak akan berimbas ke partai, termasuk elektabilitas Golkar di Pemilu 2024. Sebab, persoalan yang dihadapi Azis atau Alex disebutnya persoalan personal. ”Jadi, mohon dipisahkan antara persoalan personal dan persoalan partai,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Golkar Bambang Soesatyo meyakini hal serupa. ”Tidak akan ada efeknya ke elektabilitas Golkar karena langkah-langkah recovery (pemulihan) segera ditempuh,” ucapnya.
Bagian dari pemulihan itu antara lain Golkar segera memproses penggantian Azis sebagai Wakil Ketua DPR dan menonaktifkan Azis dari posisi Wakil Ketua Umum Golkar. Ditambah lagi, kebijaksanaan dari Azis untuk mundur dari jabatan Wakil Ketua DPR sekalipun aturan di partai, sanksi pemberhentian bagi kader yang tersangkut kasus korupsi baru akan dijatuhkan saat putusan atas kader tersebut berkekuatan hukum tetap.
Selain itu, elektabilitas Golkar diyakini tak akan mengalami guncangan karena partai sudah teruji. Tak hanya dalam kasus Setya Novanto. ”Dulu pasca-Reformasi, banyak yang meminta Golkar dibubarkan, tetapi yang terjadi Golkar justru jadi partai pemenang pemilu (2004),” ujarnya.
Tak lebih besar
Menurut pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, meski sama-sama menjerat kader Partai Golkar, dampak yang ditimbulkan dari kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto lebih besar dibandingkan dengan Azis Syamsuddin dan Alex Noerdin. Sebab, sebagai pucuk pimpinan partai, Novanto merupakan representasi partai.
Meski demikian, lanjut Airlangga, bukan berarti kasus yang menimpa Azis dan Alex tidak akan berdampak pada citra Partai Golkar. Terlebih, dalam beberapa waktu terakhir, Ketum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto gencar melakukan kampanye di berbagai daerah dalam rangka Pemilihan Presiden 2024 dengan mengusung slogan ”Kerja untuk Indonesia”. Terjeratnya kader Partai Golkar dinilai dapat memberi persepsi sebaliknya terhadap slogan yang diusung sang ketua umum.
Menurut Airlangga, kasus dugaan korupsi yang menjerat elite partai pada saat ini dapat berdampak negatif lebih besar bagi partai politik karena pada saat ini terjadi krisis akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi seperti saat ini, masyarakat berharap elite politik menunjukkan kepedulian dan komitmen terhadap persoalan yang mendera masyarakat. Sebaliknya, kasus korupsi dapat menunjukkan bahwa elite politik tidak peduli dengan kondisi masyarakat.
”Jika tidak ditanggapi dengan baik, persepsi Partai Golkar di hadapan masyarakat akan semakin tercoreng. Maka, langkah yang harus segera dilakukan adalah melakukan pergantian terhadap kader yang terkena kasus korupsi. Selain itu, akan lebih baik bagi Partai Golkar untuk meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas kadernya itu,” kata Airlangga.
Sebelumnya, Ketua Bidang Hukum DPP Partai Golkar Adies Kadir mengatakan, Azis Syamsuddin telah menyampaikan surat pengunduran diri sebagai wakil ketua DPR periode 2019-2024 kepada DPP Golkar secara khusus (casu quo) Ketua Umum Golkar. Selain itu, Azis telah dinonaktifkan sebagai wakil ketua umum Golkar untuk sementara waktu (Kompas.id, 25/9/2021).
Peneliti Politik Centre for Strategic and International Studies, Arya Fernandes, berpandangan, dampak politik dan elektoral dari kasus korupsi terhadap sebuah partai politik dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama adalah usaha partai untuk mengurangi potensi risiko setelah kasus terjadi. Kedua, terkait mood publik saat kasus korupsi terjadi; ketiga, aktor atau pelaku yang terjerat kasus korupsi; dan, keempat, rentang atau jarak waktu kasus korupsi dengan pemilu.
Untuk yang pertama, pengunduran diri Azis dari wakil ketua DPR yang dibarengi dengan penonaktifannya di Partai Golkar merupakan upaya mengurangi dampak. Terkait mood publik, saat ini perhatian publik lebih terfokus pada pandemi Covid-19 dan ekonomi. Adapun untuk faktor ketiga, Azis Syamsuddin ataupun Alex bukanlah pucuk pimpinan partai. Dan, yang keempat, rentang atau jarak waktu terjadinya kasus korupsi saat ini dengan Pemilu 2024 masih cukup jauh.
Arya memberi contoh, kasus yang menjerat kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Juliari P Batubara; dan kader Partai Gerindra, Edhy Prabowo, tidak terlalu berdampak ke partai karena keduanya bukanlah pucuk pimpinan partai. Sementara, dengan sistem pemilu yang proporsional terbuka, permasalahan hukum seorang kader partai akan cenderung dilihat sebagai persoalan personal, bukan persoalan partai.
Namun, dalam kasus yang menjerat pucuk pimpinan Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan beberapa elite partai tersebut langsung berdampak pada elektabilitas partai di mata publik karena Anas adalah pucuk pimpinan partai, saat itu mood publik terhadap kasus korupsi sangat kuat serta tidak ada mitigasi dari partai untuk mengurangi dampak atau kerusakan yang ditimbulkan. Untuk kasus korupsi yang mendera kader Partai Golkar saat ini, Arya tidak melihat hal itu akan berdampak besar terhadap Partai Golkar.
Meski begitu, Arya mengingatkan, belakangan isu korupsi menjadi perhatian kelompok pemilih muda, selain isu lingkungan. Korupsi yang menjerat kader tentu akan memengaruhi persepsi pemilih muda pada partai yang bersangkutan. Karena itu, elite partai mesti berhati-hati, menjauhkan diri dari korupsi dalam bentuk apa pun.