Berhentikan 50 Pegawai, KPK Dinilai Mendahului Sikap Presiden Jokowi
KPK memutuskan memberhentikan 50 pegawai yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan. ”Putusan (MK) keluar 31 Agustus dan (putusan MA) tanggal 9 September. Kami laksanakan,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi per 30 September 2021 memberhentikan 50 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil tes wawasan kebangsaan. Namun, keputusan pemberhentian tersebut dinilai masyarakat sipil mendahului sikap Presiden Joko Widodo.
Pemberhentian 50 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) tersebut dinyatakan dalam jumpa pers, Rabu (15/9/2021). Pemberhentian itu merupakan hasil dari rapat koordinasi KPK yang dihadiri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, serta Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana bersama lima unsur pimpinan KPK pada 13 September.
Ada 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan sebagai alih fungsi menjadi aparatur sipil negara. Sebanyak 51 orang dinilai tidak dapat dibina sehingga akan diberhentikan, sedangkan 24 orang diberi kesempatan mengikuti pendidikan.
Dari 51 pegawai KPK yang akan diberhentikan, satu orang sudah purnatugas sehingga yang diberhentikan 50 pegawai. Selain itu, ada enam pegawai KPK yang dinyatakan TMS dan diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan, tetapi mereka tidak mengikutinya.
”Jadi, tidak ada istilah percepatan atau perlambatan. Sesuai putusan (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) saja. Putusan (MK) keluar 31 Agustus dan (putusan MA) tanggal 9 September. Kami laksanakan,” kata Ketua KPK Firli Bahuri.
Menurut Firli, KPK harus melaksanakan putusan MK dan MA tersebut. Terkait dengan hal itu, ia menghargai upaya pegawai KPK untuk menyalurkan hak konstitusionalnya untuk melakukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan KPK No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.
Terdapat 1.351 pegawai KPK yang telah mengikuti tes wawasan kebangsaan. Dari jumlah itu, 1.292 pegawai telah dilantik dan disumpah menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terakhir, 18 pegawai yang telah lulus pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan dilantik sebagai ASN pada Rabu (15/9/2021).
Menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, mengutip UU tentang KPK, pengalihan pegawai dilakukan paling lama dua tahun setelah UU tentang KPK diundangkan. Keputusan pemberhentian itu dilakukan sekarang dengan alasan agar keputusan tersebut berdasarkan hukum yang kuat.
”Sebagaimana diketahui, permasalahan ini diadukan kepada lembaga-lembaga negara, khususnya yang memiliki kompetensi, yaitu MK dan MA. Putusan MK pada 31 Agustus, putusan MA pada 9 September. Kami tindak lanjuti dengan rapat koordinasi dengan kementerian yang memiliki tugas dan fungsi untuk formasi PNS. Jadi, bukan percepatan, tapi dalam durasi yang dimandatkan undang-undang,” kata Nurul.
Terkait dengan informasi penyaluran pegawai KPK yang TMS ke badan usaha milik negara, menurut Firli, hal itu merupakan tanggung jawab KPK terhadap keluarga pegawai KPK. Firli mengatakan, tidak ada pemaksaan untuk melakukan hal itu, tetapi bersifat sukarela.
Terhadap keputusan pemberhentian oleh pimpinan KPK tersebut, mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo memandang langkah pimpinan KPK memberhentikan mereka sebagai bentuk pelemahan pemberantasan korupsi dan ketidakpatuhan terhadap arahan Presiden agar jangan memberhentikan 75 pegawai KPK atas dasar TWK. Padahal, lanjut Yudi, terjadi banyak pelanggaran HAM yang ditemukan Komnas HAM serta temuan mala-administrasi oleh Ombudsman RI dalam proses TWK.
”Oleh karena itu, kami masih menunggu putusan Presiden. Karena, putusan MA sudah menyatakan hasil TWK merupakan kewenangan pemerintah,” kata Yudi.
Sementara itu, mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono berpandangan, pemberhentian pegawai KPK merupakan kewenangan pemerintah, bukan pimpinan KPK. Selain itu, tak ada klausul peraturan yang menyatakan bahwa jika tidak lulus TWK, pegawai KPK diberhentikan.
Menurut Giri, TWK telah tergantikan dengan pembinaan. Hal itu terbukti dengan 18 pegawai KPK yang baru dilantik menjadi ASN setelah mengikuti diklat bela negara. Itu berarti, peran TWK tak mutlak dalam pengangkatan ASN. Hal itu merupakan kewenangan sepenuhnya pemerintah, dalam hal ini Presiden. Oleh karena itu, pihaknya masih menunggu sikap atau keputusan Presiden terkait dengan permasalahan ini.
”Kecuali, BKN serta Menpan dan RB, yang hadir dalam rapat koordinasi pada 13 September adalah atas perintah Presiden,” ujar Giri.
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, pemberhentian pegawai KPK oleh pimpinan KPK tersebut merupakan pembangkangan terhadap putusan MA. Sebab, dalam putusan MA jelas disebutkan bahwa tindak lanjut TWK adalah wewenang pemerintah.
”Ingat bahwa putusan MA tersebut mengatakan, yang berwenang menindaklanjuti itu adalah pemerintah, bukan KPK. Pemberhentian ini justru bertentangan dengan putusan MA,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, seharusnya KPK menunggu sikap pemerintah atau dalam hal ini Presiden. Dengan mendahului keputusan Presiden, berarti pimpinan KPK bersikap lancang.
Di sisi lain, ia berpandangan bahwa keputusan pemberhentian yang dilakukan tanpa menunggu sikap Presiden tersebut sengaja dilakukan. Padahal, jika melihat mandat UU tentang KPK, tenggat dua tahun baru berakhir pada 17 Oktober mendatang. Dalam kurun waktu tersebut, Presiden dapat menentukan sikapnya.
Zaenur menambahkan, terkait dengan rapat koordinasi pimpinan KPK dengan pimpinan kementerian dan lembaga yang terkait dengan formasi PNS pada 13 September, hal itu merupakan bentuk peran serta para bawahan Presiden untuk memuluskan rencana pimpinan KPK menghentikan pegawai KPK. Dalam situasi demikian, katanya, semestinya Presiden mengambil sikap dan mengambil alih wewenang dalam persoalan TWK.
Sementara itu, solidaritas masyarakat sipil mendirikan Kantor Darurat Pemberantasan Korupsi di depan Gedung ACLC KPK merupakan bentuk kekecewaan terhadap kinerja KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini. Kelompok masyarakat sipil juga menitipkan surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemberhentian terhadap para pegawai KPK.
Saut Situmorang, salah seorang mantan komisioner KPK yang mengikuti aksi ini, mengatakan, KPK adalah harapan masyarakat agar Indonesia lebih benar, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat.
”Yang kami lakukan saat ini sejalan dengan revolusi mental Presiden Jokowi, poin paling atas dari revolusi mental adalah integritas. Kita harus ingatkan itu lagi,” kata Saut sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis.
Sementara salah seorang kuasa hukum 75 pegawai KPK, Saor Siagian, mengatakan, para pegawai yang tersingkir dari KPK adalah mereka yang tidak bisa diajak kompromi. Masyarakat pendiri Kantor Darurat Pemberantasan Korupsi ini akan berkantor setiap Selasa dan Jumat pukul 16.00-17.00.
Aksi ini juga disebut didukung oleh BEM seluruh Indonesia, Koalisi Bersihkan Indonesia, ICW, Amnesty International, YLBHI, LBH Jakarta, Serbuk, KASBI, KPBI, dan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.