Pergantian Panglima Menuju TNI yang Semakin Profesional
Diperlukan sosok Panglima TNI yang memiliki kepemimpinan di tengah situasi geopolitik yang kompleks. Di dalam negeri diperlukan sosok Panglima TNI yang dapat menjamin transformasi TNI tetap dalam koridor demokrasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski merupakan agenda rutin, pergantian Panglima Tentara Nasional Indonesia merupakan momentum untuk memastikan kembali agenda reformasi maupun peningkatan profesionalisme TNI, terus dilakukan ke depan. Untuk itu, Presiden diharapkan hanya mempertimbangkan hal-hal yang bersifat normatif dan subtantif, bukan pendekatan politik secara sempit.
Hal tersebut, antara lain, mengemuka dalam diskusi daring bertajuk ”Pergantian Panglima TNI dan Transformasi TNI” yang diselenggarakan Centra Initiative, Kamis (9/9/2021).
Menurut Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf, TNI tetap merupakan alat pertahanan negara. Untuk itulah, mereka dilatih dan dipersenjatai untuk berperang. ”Pergantian Panglima TNI itu proses yang rutin terjadi. Ini juga menjadi momentum untuk satu proses perubahan, transformasi, meski Panglima TNI adalah pelaksana kebijakan,” kata Al Araf.
Terkait tantangan secara umum, saat ini yang terjadi adalah perang asimetris, berbasis teknologi pertahanan dengan didukung prajurit profesional. Dalam konteks geopolitik, Indonesia secara nyata memiliki sengketa dengan beberapa negara tetangga. Dengan tantangan dan tugas tersebut, lanjut Al Araf, TNI jangan dicampuri tugas lain yang tidak relevan, seperti cetak sawah.
Tantangan yang kompleks tersebut juga diamini pengajar Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta, Shiskha Prabawaningtyas. Menurut Shiskha, diperlukan sosok Panglima TNI yang memiliki kepemimpinan di tengah situasi geopolitik yang kompleks beserta ancamannya.
Di dalam negeri, lanjut Shiskha, diperlukan sosok Panglima TNI yang dapat menjamin transformasi TNI tetap dalam koridor demokrasi. Panglima TNI dituntut untuk menjadikan TNI tetap profesional dalam menghadapi tantangan ke depan yang kian berat.
Menurut Al Araf, dalam menimbang calon Panglima TNI terdapat beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan normatif berupa rotasi kepemimpinan dari ketiga matra. Hal itu berdampak pada rasa kesetaraan antarmatra dan berdampak positif pada penguatan soliditas TNI. Kemudian pendekatan substantif, dalam perspektif reformasi dan transformasi TNI. Dalam pendekatan ini, Presiden mendengarkan berbagai pihak, semisal dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait perspektif HAM atau dari KPK terkait antikorupsi.
Pendekatan berikutnya adalah pendekatan politik yang terkait dengan isu stabilitas dan Pemilu 2024. Namun, pendekatan ini rumit dan seharusnya dihindari oleh Presiden. Adapun pendekatan yang terakhir adalah pendekatan organisasional yang melihat regenerasi pucuk-pucuk pimpinan di TNI. Pendekatan ini bersifat relatif.
Dari pendekatan tersebut, Al Araf berharap agar Presiden lebih menggunakan pendekatan subtantif dan normatif. Dengan kedua pendekatan tersebut, proses transformasi TNI menuju TNI yang profesional akan dapat berjalan dengan baik.
Terkait profesionalisme TNI, Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo mengatakan, hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi Panglima TNI. Profesionalisme yang dimaksud dilihat dari pengelolaan aset dan keuangan.
”Kita melihat di institusi ini ada kecenderungan kerahasiaannya yang begitu luar biasa, minim transparansi dan akuntabilitas, sedangkan pengawasan sipil masih belum kuat sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat mungkin terjadi. Ditambah penegakan hukum yang lemah terhadap indikasi korupsi yang dilakukan jajaran TNI aktif,” tutur Adnan.
Menurut Adnan, banyak wilayah rawan penyalahgunaan kekuasaan di institusi TNI, semisal dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan. Masalah lain, adanya purnawirawan TNI yang menjadi pelindung perusahaan.
Terkait hal itu, kata Adnan, pekerjaan rumah Panglima TNI adalah memperbaiki sistem pengadaan dan membenahi tata kelola institusi. Selain itu, Panglima TNI juga diharapkan membangun sistem integritas di institusi TNI, termasuk membentuk whistle blowing system secara internal. Sebab, hingga saat ini tak ada institusi sipil yang dapat melakukan penegakan hukum terhadap TNI.
Selain persoalan tata kelola, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengingatkan bahwa perspektif HAM perlu terus dikembangkan oleh Panglima TNI. Hal ini bukan melulu persoalan pelanggaran HAM berat, tetapi kesadaran HAM bagi setiap anggota TNI maupun mereka yang sudah pensiun.
Terkait perspektif HAM, Choirul memberikan catatan terkait masih adanya perselisihan atau sengketa antara masyarakat sipil dan TNI maupun antara pemerintah daerah dengan TNI. Sementara agenda reformasi yang masih belum dituntaskan adalah reformasi peradilan militer yang dibutuhkan untuk melengkapi peta jalan profesionalisme militer Indonesia.
Menurut pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada, Najib Azca, dibandingkan situasi ketika pertama kali menjabat presiden, situasi Presiden Joko Widodo saat ini jauh lebih baik atau tidak pada situasi yang rentan. Dengan demikian, mestinya pertimbangan politik tak lagi menjadi penting dalam memilih Panglima TNI. Karena itu, pergantian Panglima TNI mesti didasarkan pada pertimbangan profesional.
”Sekarang Pak Jokowi dalam situasi politik yang stabil sehingga semoga pertimbangannya memang betul-betul normatif, profesional, dan subtantif. Kalaupun ada pertimbangan politik, bukan politik yang sempit,” ujar Najib.