Eksekusi Aset Sitaan Korupsi Jiwasraya Mesti Dilakukan Hati-hati
Penegak hukum mengklaim telah menyita aset senilai Rp 18 triliun yang terkait korupsi Asuransi Jiwasraya. Sementara dua terdakwa, Benny Tjokro dan Heru, juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 16,7 triliun.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eksekusi terhadap aset sitaan yang diklaim nilainya mencapai Rp 18 triliun atau melebihi kerugian keuangan negara mesti dilakukan dengan hati-hati. Jangan sampai ada aset yang sebenarnya tidak terkait korupsi PT Asuransi Jiwasraya turut disita.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi yang juga ahli tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, menengarai, penyitaan aset dalam kasus korupsi Jiwasraya sudah bermasalah sejak awal. Hal itu terindikasi dari banyaknya aset pihak ketiga yang turut disita.
”Mestinya sedari awal peran otoritas di sektor keuangan menjadi sangat penting untuk menentukan mana nominee yang bermasalah sehingga sahamnya harus diblokir dan mana yang tidak,” kata Yenti ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Menurut Yenti, kejahatan ekonomi harus dapat dijabarkan secara detail, baik yang terkait perkara maupun yang tidak terkait. Dalam kasus Asuransi Jiwasraya, aset milik pihak ketiga yang sebagian besar berupa saham atau reksa dana yang tidak terkait dengan perkara itu harus dilindungi.
Dengan aset sit aan yang dikatakan sebagian besar berupa saham, kejaksaan diharapkan berhati-hati dan obyektif dalam memilah aset yang terkait perkara dengan yang tidak terkait. Jika tidak, meski pada akhirnya kerugian negara tertutup, namun di sisi lain banyak pihak atau masyarakat yang dirugikan atau haknya terampas.
”Ini harus dijaga karena kasus ini kaitannya dengan dinamika pasar modal. Sementara program Presiden adalah menjaga pemulihan pasar modal. Jadi harus ada due process of law yang benar, aset yang disita harus jelas milik siapa,”terang Yenti.
Di sisi lain, Yenti mempertanyakan putusan berupa membayar uang pengganti yang dijatuhkan kepada Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat. Sebab, pada perkara tersebut, penyidik telah menyita sejumlah aset yang diklaim nilainya mencapai Rp 18 triliun. Nilai aset tersebut lebih besar dari kerugian keuangan negara yang diperkirakan mencapai Rp 16,8 triliun.
Ini harus dijaga karena kasus ini kaitannya dengan dinamika pasar modal. Sementara program Presiden adalah menjaga pemulihan pasar modal. Jadi harus ada due process of law yang benar, aset yang disita harus jelas milik siapa
Menurut Yenti, semestinya putusan majelis hakim adalah merampas aset sitaan untuk negara yang nantinya tinggal dieksekusi kejaksaan ketika putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Sebab aset milik Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang nilainya lebih besar dari kerugian negara sudah disita.
Selain dihukum penjara seumur hidup, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Benny dan Heru berupa uang pengganti senilai Rp 16,79 triliun secara tanggung renteng. Benny harus membayar uang pengganti Rp 6,078 triliun, sedangkan Heru senilai Rp 10,728 triliun.
Di sisi lain, lanjut Yenti, pidana uang pengganti juga tidak berdampak apa pun. Sebab, semisal terpidana tidak membayar uang pengganti dan untuk itu dia harus menjalani tambahan hukuman penjara, hal itu tidak ada gunanya karena kedua terpidana telah dihukum penjara seumur hidup.
”Menurut saya, itu langkah putus asa dari negara yang tidak berhasil melacak aset-aset yang terkait kasus tersebut. Akhirnya diputuskan saja dengan uang pengganti. Pertanyaannya, kerugian mana lagi yang harus diganti dengan uang pengganti, kecuali, aset sitaan Rp 18 triliun itu sebenarnya tidak ada,” ujar Yenti yang menjadi saksi ahli ketika kasus Asuransi Jiwasraya masih pada tahap penyidikan.
Perusahaan
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, berpandangan, kejaksaan diharapkan berhati-hati dalam menangani aset sitaan kasus Asuransi Jiwasraya. Sebab, sebagian aset yang disita merupakan aset yang masih ”hidup”, yakni saham milik nasabah.
Demikian pula terkait dengan aset terpidana yang berupa perusahaan, Fickar berharap agar kejaksaan tidak serta-merta langsung menutup perusahaan tersebut. Terlebih jika perusahaan tersebut mengelola dana publik sehingga terkait dengan banyak orang.
”Kalau aset pribadi yang disita tidak masalah. Namun kalau aset perusahaan itu harus selektif. Jangan sampai penyitaan itu merugikan orang yang tidak terkait. Maka harus ada seleksi karena pada dasarnya yang melakukan kejahatan itu orang per orang. Maka lebih valid itu menyita aset pribadi, bukan perusahaan,” ujar Fickar.
Fickar khawatir, jika tidak hati-hati, kasus Asuransi Jiwasraya ini akan berakhir seperti kasus First Travel. Pada kasus tersebut, aset sitaan dari First Travel dirampas oleh negara. Demikian pula dalam kasus Asuransi Jiwasraya, bisa jadi aset sitaan yang diklaim triliunan rupiah itu disita untuk negara, sementara aset seseorang malah hilang karena dirampas dan diserahkan ke negara.
Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengingatkan, penegakan hukum dilakukan selain untuk mencari kepastian hukum, juga mesti berakhir pada terwujudnya keadilan. Oleh karena itu, penegakan hukum mesti dijalankan dengan tidak merugikan hak mereka yang tidak terkait dengan perkara tersebut.
Secara terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga, ketika dikonfirmasi, mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima salinan lengkap putusan MA dalam perkara Asuransi Jiwasraya. ”Masih kita tunggu,” kata Bima.