Komisi Kejaksaan mengingatkan kejaksaan agar berhati-hati terhadap aset sitaan korupsi Jiwasraya yang nilainya mencapai Rp 18 triliun. Jangan sampai eksekusi aset tersebut menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eksekusi terhadap putusan pidana dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berupa uang pengganti masih akan dipelajari oleh jaksa. Di sisi lain, kejaksaan diharapkan melakukan verifikasi kembali terhadap aset sitaan yang nilainya mencapai Rp 18 triliun agar tidak bermasalah di kemudian hari.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Bima Suprayoga, ketika dikonfirmasi, Minggu (5/9/2021), mengatakan, pihaknya belum mengeksekusi untuk pidana denda dan pidana berupa uang pengganti. Sebab, pihaknya masih menanti salinan putusan lengkap dari Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan tersebut.
”Putusan lengkap belum kami terima. Nanti (setelah putusan diterima) dipelajari dulu oleh tim jaksa penuntut umum,” kata Bima.
Dalam kasus tindak pidana korupsi Asuransi Jiwasraya, Benny Tjokro dipidana uang pengganti sebesar Rp 6 triliun dan Heru Hidayat sebesar Rp 10,7 triliun. Adapun Hendrisman Rahim, Joko Hartono Tirto, Syahmirwan, dan Hary Prasetyo dipidana denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar. Sementara dalam kasus tersebut, penyidik telah menyita berbagai aset dengan nilai mencapai Rp 18 triliun.
Komisi Kejaksaan menerima berbagai pengaduan dari masyarakat yang menunjukkan bahwa penyitaan yang dilakukan tidak ada hubungannya baik dengan perkara maupun dengan terpidana kasus Asuransi Jiwasraya.
Sementara hingga kini, menurut Komisioner Komisi Kejaksaan Bhatara Ibnu Reza, aset sitaan yang disita penyidik ketika tahap penyidikan masih menyisakan masalah. Komisi Kejaksaan menerima berbagai pengaduan dari masyarakat yang menunjukkan bahwa penyitaan yang dilakukan tidak ada hubungannya baik dengan perkara maupun dengan terpidana kasus Asuransi Jiwasraya.
”Ada banyak pihak yang mengadu karena penyitaan ini tidak ada hubungannya dengan terpidana maupun tindak pidana yang diperiksa. Seharusnya ini diselesaikan dulu oleh kejaksaan melalui verifikasi dan klarifikasi,” kata Bhatara.
Menurut Bhatara, semestinya proses verifikasi dan klarifikasi dilakukan ketika tahap penyidikan. Hal ini akan menambah beban bagi kejaksaan karena mereka harus segera melaksanakan putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bhatara mengingatkan agar kejaksaan berhati-hati terhadap aset sitaan yang jumlahnya mencapai Rp 18 triliun tersebut. Jangan sampai proses eksekusi terhadap aset sitaan tersebut justru menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.
”Komjak mengingatkan kembali, setelah ada eksekusi badan, beban sekarang adalah klarifikasi dan verifikasi. Sebab, ada pihak-pihak yang melakukan pengaduan supaya tidak terjadi permasalahan hukum ke depan. Harus diingatkan, jaksa itu juga mewakili korban, tidak hanya negara,” tutur Bhatara.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, berpandangan, eksekusi terhadap putusan pidana yang sudah berkekuatan tetap harus dilakukan baik terhadap amar vonis pidana penjara maupun amar vonis pidana lainnya, seperti pembayaran denda, uang pengganti, dan perampasan aset. Hal itu seyogianya dilaksanakan dalam waktu yang tidak jauh berbeda.
”Tentu memang eksekusi dalam rangka pembayaran denda dan uang pengganti yang harus dilaksanakan dengan eksekusi lelang terhadap aset yang disita memang butuh waktu karena harus mengikuti prosedur lelang dan ada pembeli yang kemudian membayar dan hasilnya diserahkan kepada negara,” kata Arsul.
Karena memerlukan proses dan waktu tersebut, Arsul mengingatkan agar Kejaksaan Agung tidak menunda pelaksanaan eksekusi aset sitaan tersebut. Kejaksaan diharapkan sesegera mungkin melakukan eksekusi sehingga aset yang disita tidak terkatung-katung atau tidak jelas statusnya.
Arsul mengingatkan agar Kejaksaan Agung tidak menunda pelaksanaan eksekusi aset sitaan tersebut. Kejaksaan diharapkan sesegera mungkin melakukan eksekusi sehingga aset yang disita tidak terkatung-katung atau tidak jelas statusnya.
Kinerja Kejaksaan Agung yang dinilai baik karena telah memproses kasus korupsi besar juga perlu dibuktikan dengan mengeksekusi aset yang disita secara cepat. Jika terdapat aset yang tidak mungkin dilelang, kejaksaan perlu mempertimbangkan agar aset tersebut diserahkan kepada negara.
Terkait dengan masih adanya aset sitaan yang bermasalah karena ada pihak-pihak yang mengklaim bahwa aset tersebut tidak terkait perkara maupun terpidana dalam kasus Asuransi Jiwasraya, menurut Arsul, Kejagung perlu melakukan verifikasi terlebih dahulu. Verifikasi merupakan bagian dari proses eksekusi.
”Jika ada pihak lain yang mengklaim kepemilikannya atau menyatakan tidak terkait (perkara), ya, diminta buktikan via gugatan bantahan atau perlawanan ke pengadilan, biarkan pengadilan memutuskan. Tapi, tidak boleh Kejagung karena hanya klaim sepihak tanpa dibawa ke pengadilan, lalu aset tersebut dibiarkan tidak tereksekusi. Prinsipnya eksekusi itu hanya bisa dihentikan kalau ada perintah atau putusan pengadilan,” tutur Arsul.