Muhammadiyah Ajak Masyarakat Optimistis Hadapi Pandemi Covid-19
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat membuka Tanwir II Muhammadiyah mengajak semua anak bangsa berikhtiar maksimal, yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-ruhaniah, sebagai jalan mengakhiri pandemi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi ketidakpastian pandemi Covid-19, Muhammadiyah mengajak umat dan warga bangsa untuk bersikap optimistis. Karena dengan sikap optimistis itulah lahir energi dan harapan untuk berkontribusi bagi bangsa dalam menghadapi ketidakpastian ini. Di sisi lain, setiap warga diharapkan mengembangkan kewaspadaan bersama demi mengatasi pandemi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pidato iftitahnya yang disampaikan dalam pembukaan Tanwir II Muhammadiyah 2021, Sabtu (4/9/2021), mengatakan, dalam menghadapi musibah dan kesulitan diperlukan fondasi iman yang kokoh sehingga setiap insan yang beriman tercerahkan akal budinya.
”Luruhkan sikap meratapi, mengeluh, saling menyalahkan, dan merasa jatuh diri. Sebaliknya jauhi sikap egois, merasa diri tidak terpapar, menyepelekan, dan mengabaikan wabah sehingga hilang keseksamaan, kewaspadaan, dan kebersamaan. Penting disadari pandemi ini merupakan masalah bersama sehingga siapa pun tidak dapat bersikap sesuka hati karena satu sama lain saling terkoneksi,” ujar Haedar dalam tanwir kedua yang dilakukan daring sejak pandemi.
Tanwir ini diadakan untuk memastikan kesiapan menuju Muktamar Ke-48 Muhammadiyah yang rencananya diadakan di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, 2022.
Haedar juga mengingatkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pandemi ini belum akan berakhir setidaknya sampai pertengahan atau akhir 2022. Bahkan, ada perkiraan pandemi ini berubah menjadi endemi, yakni penyakit yang ditemui secara konsisten di satu wilayah tententu sehingga membuat penyebaran penyakit dan tingkat penularan dapat diprediksi.
Untuk menghadapi kondisi ini, komitmen dan tanggung jawab bersama semua pihak sangat menentukan. Konsistensi melaksanakan aturan dalam pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), disiplin menjalankan protokol kesehatan, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-ruhaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihad untuk mengakhirinya.
Haedar mengatakan, optimisme dalam wujud tekad dan ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan umat dan bangsa lainnya. Seberat apa pun masalah yang dihadapi, jika semua komponen umat dan bangsa berkomitmen kuat, bersatu, dan melangkah bersama secara sungguh-sungguh, akan terdapat jalan keluar dari kesulitan. Kuncinya ialah ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, dan kebersamaan untuk selalu mencari solusi.
”Perbedaan setajam apa pun bila semua pihak mau berdialog dan mencari titik temu, maka akan ada jalan pemecahan atas segala persoalan umat dan bangsa. Sebaliknya, manakala saling menjauh, egoistik, tidak saling percaya, saling berebut, keras kepala, khianat, dan dusta bertumbuh di tubuh elite umat dan bangsa maka sulit menemukan jalan bersama menuju kemajuan umat dan bangsa,” ujarnya.
Muhammadiyah meletakkan musibah pandemi yang telah berjalan dua tahun ini sebagai ām al-ḥuzni atau ”tahun duka”. Betapa berat korban sakit dan meninggal akibat Covid-19, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Para dokter, tenaga kesehatan, sukarelawan, dan berbagai pihak yang terlibat dalam usaha penanganan Covid-19 merasakan beban yang berat. Muhammadiyah melihat pula banyak saudara sebangsa, terutama di akar rumput, yang terdampak sosial ekonomi dan psikososial dari pandemi ini.
”Karena itu, diperlukan empati, simpati, peduli, dan sikap kemanusiaan yang
luhur dari seluruh anak bangsa dan semua pihak dalam mengatasi musibah berat ini. Lebih-lebih bagi kaum Muslimin, khususnya keluarga besar Muhammadiyah, sebagai umat beriman yang diajari ihsan dalam kehidupan,” kata Haedar.
Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi yang berat ini secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Memahami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati secara bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi yang mendalam, luas, dan saksama.
”Letakkanlah persoalan pandemi ini dalam dimensi iman, tauhid, dan ḥablun min-Allāh yang terhubung langsung dengan hablun min-an-nās, ilmu, ihsan, dan amal saleh yang bermakna. Hidup, sakit, dan mati bukanlah persoalan praktis laksana barang murah yang mudah dibuang atau sekali pakai (disposable) dengan cara pandang keagamaan dan nalar verbal yang instrumental. Hidup dan mati itu sangat berharga dan harus bermakna,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Haedar meminta pelaksanaan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta mempertimbangkan berbagai aspek situasional. Pelaksanaan muktamar dengan sistem muktamar ”khusus” dapat menjadi pilihan dalam sejumlah opsi, antara lain karena melihat situasi pandemi yang belum sepenuhnya dapat dikendalikan.
”Khusus tentang syiar dan silaturahmi luring penting dikonversi secara daring dengan dukungan sistem teknologi informasi yang cepat, mudah, canggih, dan luas yang menggambarkan Muhammadiyah-Aisyiyah sebagai organisasi modern yang hidup di era Revolusi 4.0. Selain Muktamar, roda pergerakan organisasi Muhammadiyah harus terus berjalan di tengah gelombang kehidupan yang kompleks sesuai hukum dinamika zaman,” ujarnya.
Perempuan dan anak
Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini mengatakan, perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang paling rentan terkena dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi pandemi, beban perempuan lebih berat karena banyak hal yang harus dikerjakan dari rumah, seperti mengurus keluarga, dan potensi kekerasan rumah tangga yang meningkat, belum lagi menghadapi persoalan akses dan kemampuan beradaptasi dalam menggunakan teknologi secara daring.
”Selain itu, muncul dampak sosial Covid-19 yang mengakibatkan banyak anak menjadi yatim piatu karena ditinggalkan oleh orangtua mereka yang terkena dampak Covid-19,” ujar Siti Noordjannah setengah terisak.
Perempuan-perempuan yang turut berkontribusi dalam penanganan Covid-19 ini, terutama mereka yang bekerja di sektor kesehatan, yakni para tenaga kerja kesehatan, tenaga kerja pendukung (supporting) di rumah sakit, dan tempat-tempat yang memiliki risiko tinggi, juga menghadapi kesulitan di masa pandemi. Kerentanan terhadap ketahanan hidup karena keterampilan yang rendah menyebabkan produktivitas turun dan menimbulkan beban keluarga yang berlebih.
”Tetapi patut disayangkan masih ada pihak-pihak yang melakukan korupsi, dan masalah-masalah lain dalam pemberian hak terhadap tenaga kesehatan, dan hal-hal yang tidak simpatik lainnya,” kata Siti Noordjannah.
Di masa pandemi ini pun, menurut Ketua Umum PP Aisyiyah itu, kontribusi perempuan luar biasa besar dalam mempertahankan keluarganya. Perempuan melakukan aktivitas ekonomi yang dikembangkan dari rumah walau banyak kendala. Namun, perempuan memiliki keuletan, semangat gigih, dan daya tahan yang tinggi dalam menghadapi krisis ini.
Selain itu, sejalan dengan Muhammadiyah, Aisyiyah juga mendorong optimisme dalam menghadapi persoalan kehidupan bangsa ini. ”Kita diajarkan untuk tetap optimistis dan memiliki harapan agar pandemi berangsur membaik dengan catatan semua pihak punya komitmen untuk menanggulanginya dengan tindakan dan perilaku yang bertanggung jawab, suasana kebersamaan, taawun (tolong-menolong tanpa membeda-bedakan), dan gotong royong,” katanya.