Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi kepada Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar karena terbukti melanggar etik. Namun, hukuman berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun dinilai amat ringan.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran etik yang dilakukan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Lili Pintauli Siregar bisa melukai kredibilitas dan kepercayaan publik kepada KPK. Padahal, upaya membangun kembali kepercayaan publik menjadi salah satu pekerjaan rumah KPK.
Lili melakukan pelanggaran etik berupa penyalahgunaan pengaruh. Ia juga berhubungan langsung dengan pihak yang kasusnya tengah ditangani KPK.
Berdasarkan survei berkala Kompas pada 2015-2021, citra KPK di mata masyarakat berfluktuasi. Pada April 2021, masyarakat yang menganggap baik citra KPK sedikit membaik, yakni 76,9 persen, dibandingkan Januari 2021 (74,3 persen) dan Agustus 2020 (65,8 persen). Namun, citra ini masih di bawah Januari 2015 yang mencapai 88,5 persen.
Penangkapan sejumlah koruptor pada akhir 2020 hingga awal 2021 dinilai mulai mengembalikan kepercayaan publik kepada KPK. Bahkan, tim KPK pada Minggu hingga Senin (29-30/8/2021) melakukan penangkapan di Probolinggo, Jawa Timur.
Di tengah kerja-kerja tersebut, pada Senin, Lili Pintauli mendapat sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK karena terbukti melanggar etik. Dia dinilai menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi serta berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya ditangani KPK.
Dewas menghukum Lili dengan pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan. Ia menerima hukuman itu. Saat menanggapi putusan, Lili mengucapkan terima kasih.
Dalam putusannya, Dewas KPK menyebut Lili menyalahgunakan pengaruhnya terhadap Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial dan Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjungbalai, Yudhi Gobel.
Lewat pengaruhnya, Lili memperjuangkan uang jasa pengabdian saudaranya, Ruri Prihatini Lubis, yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Direktur PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai. Uang jasa kemudian dibayarkan oleh PDAM Tirta Kualo.
Dewas KPK juga menyatakan, pada Juli 2020, Lili menghubungi Syahrial melalui telepon dan mengatakan, ”Ini ada namamu di mejaku, bikin malu, Rp 200 juta masih kau ambil.”
Syahrial menjawab, hal itu berkaitan dengan kasus lama dan meminta bantuan Lili.
Pada September 2019, Syahrial diperiksa KPK terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di Tanjungbalai. KPK telah menetapkan cukup bukti untuk meningkatkan perkaranya ke tingkat penyidikan.
Pada Oktober 2020, Syahrial kembali menghubungi Lili dan meminta bantuan perihal perkaranya dalam kasus jual beli jabatan. Lili menjawab melalui Whatsapp agar Syahrial menghubungi pengacara di Medan bernama Arief Aceh dan memberikan nomor teleponnya.
”Fakta ini menambah keyakinan majelis, komunikasi antara terperiksa (Lili) dan Syahrial sebagai orang yang perkaranya sedang ditangani KPK cukup intens. Ada pula upaya terperiksa membantu Syahrial mengatasi perkara,” ujar anggota Dewas KPK, Albertina Ho.
Standar integritas tinggi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Hibnu Nugroho, dihubungi di Jakarta, Senin, mengatakan, putusan Dewas KPK yang menghukum ringan Lili akan berdampak pada hilangnya kewibawaan lembaga itu.
”Aparat penegak hukum harus memiliki standar integritas tinggi. Kok, ada pelanggaran etik berat, tetapi hukumannya ringan, hanya potong gaji,” ujar Hibnu.
Menurut dia, agar wibawa KPK tidak hancur, Lili perlu diganti atau diminta mundur.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai sanksi kepada Lili amat rendah. Apalagi, katanya, gaji pokok wakil ketua KPK hanya Rp 4,6 juta, sedangkan total uang yang diterima per bulan Rp 89 juta. Ia khawatir kepercayaan masyarakat kepada KPK tergerus.
Dia mengingatkan, perbuatan Lili tak hanya melanggar kode etik, tetapi juga terkait pidana sebagaimana Pasal 36 UU No 30/2002 juncto UU No 19/2019 tentang KPK yang melarang pimpinan lembaga itu berhubungan dengan pihak beperkara. Pelanggaran ketentuan itu diatur dalam Pasal 65 UU KPK, diancam pidana maksimal lima tahun penjara.
Seusai persidangan, Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean menyampaikan, sanksi pemotongan gaji pokok sudah memadai. Maka, majelis tak perlu menerapkan sanksi pengunduran diri kepada Lili meski sanksi itu diatur dalam Peraturan Dewas KPK No 2/2020.