Deretan Kasus Jual Beli Jabatan yang Terus Berulang
Dalam empat tahun terakhir, penangkapan kepala daerah oleh KPK terkait dugaan jual beli jabatan telah berulang kali terjadi. Apa saja perkaranya dan apa penyebabnya?
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan atau OTT di salah satu kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur. Hasilnya, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari beserta suaminya, yang juga anggota DPR, Hasan Aminuddin, diboyong KPK ke Jakarta. Mereka diduga terkait dengan kasus jual beli jabatan.
Dalam empat tahun terakhir, penangkapan kepala daerah oleh KPK terkait dugaan jual beli jabatan berulang kali terjadi. Belum lama, Mei 2021, KPK bersama Badan Reserse Kriminal Polri melakukan OTT terhadap Bupati Kabupaten Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Novi diduga menerima uang terkait lelang jabatan.
Dari pemeriksaan, diduga para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudannya terkait mutasi dan promosi jabatan serta pengisian jabatan di tingkat kecamatan. Bahkan, setoran juga diberikan oleh pejabat di tingkat perangkat desa dengan jumlah setoran jutaan rupiah.
Sebelumnya, pada 2019, KPK juga menangkap Bupati Kudus, Jawa Tengah, M Tamzil dengan dugaan suap pengisian jabatan. Adapun Tamzil adalah bekas terpidana korupsi yang memenangi pemilihan bupati tahun 2018. Diduga Tamzil menerima uang untuk memuluskan nama tertentu untuk menjabat sebagai kepala dinas. Tim penyidik KPK pun menyita barang bukti berupa uang ratusan juta rupiah.
Pada 2018, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko ditangkap bersama ajudannya karena diduga menerima sejumlah uang dari pihak lain. Uang tersebut merupakan fee proyek dan uang pelicin untuk pengisian jabatan. Nyono diduga sudah menjalankan modus suap jual beli jabatan sejak ia menjabat sebagai bupati pada 2013. Ia juga diduga bersekongkol dengan rekanan swasta untuk membagi proyek.
Masih pada 2018, KPK menangkap Bupati Cirebon, Jawa Barat, Sunjaya Purwadisastra dengan dugaan terkait jual beli sekitar 400 jabatan di pemerintahan Kabupaten Cirebon. Dalam OTT, KPK menyita uang tunai Rp 385 juta dan bukti transfer Rp 6,4 miliar yang diduga merupakan suap kepada Sunjaya.
Berdasarkan temuan KPK, Sunjaya diduga melakukan jual-beli jabatan dan menerima setoran dari pengusaha. Penerimaan setoran dan jual-beli ini diduga bukan yang pertama kali terjadi mengingat posisi Sunjaya adalah petahana.
Pada 2017, Bupati Klaten Sri Hartini ditangkap KPK karena jual-beli jabatan di Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten. KPK menetapkan Bupati Klaten Sri Hartini sebagai tersangka kasus dugaan suap promosi dan mutasi jabatan di Kabupaten Klaten.
Dari rumah dinas Bupati Klaten, penyidik menyita uang Rp 2 miliar yang disimpan di dua kardus serta 5.700 dollar AS dan 2.035 dollar Singapura. Uang tersebut dikumpulkan dengan besaran yang bervariasi, mulai dari Rp 50 juta untuk satu jabatan eselon IV hingga ratusan juta rupiah untuk jabatan dengan eselon lebih tinggi.
Terkait dengan OTT di Probolinggo, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengatakan, hingga saat ini tidak ada kecurigaan awal yang ditangkap KASN terkait sepak terjang Bupati Probolinggo. Sebab, sampai saat ini, tidak ada pengaduan yang masuk ke KASN.
Namun, Agus menggarisbawahi bahwa selama biaya politik mahal, kepala daerah akan cenderung mencari celah terhadap sistem yang telah dibangun. Di sisi lain, terdapat segelintir aparatur sipil negara (ASN) bermental buruk yang ingin mendapatkan jabatan strategis dengan jalan pintas.
”Kalau tidak ada lembaga pengawas yang independen, birokrasi bisa diacak-acak. Taruhannya adalah masa depan bangsa,” kata Agus.
Pada 2017, KASN menerima 278 pengaduan dari 11 daerah yang terindikasi kuat melakukan jual beli jabatan. Dalam setahun, KASN memperkirakan ada potensi jual beli jabatan pada 29.113 jabatan di instansi pemerintah.
Sementara itu, hasil penelitian KASN mengenai persepsi pemangku kepentingan tentang transaksi jabatan struktural di semua instansi pemerintah sepanjang 2019 mengungkapkan, jual beli jabatan terjadi di sebagian besar pengisian jabatan pimpinan tinggi, administratur, dan pengawas. Yang terbanyak terjadi di tingkat pemerintah kabupaten/kota, yaitu mencapai 95 persen, disusul oleh pemerintah provinsi sebesar 89,5 persen.
Pada tingkat lembaga, jual beli jabatan terjadi di 49 persen lembaga. Adapun di tingkat kementerian, jual beli jabatan terjadi di sekitar 39,5 persen instansi kementerian (Kompas, 2/8/2019).
Sejak 2004 hingga 2018, penyuapan adalah kasus paling menonjol yang ditangani KPK, yakni 564 perkara dari 887 kasus. Sejak 2004 hingga 2018, menurut data KPK, 121 kepala daerah terjerat korupsi. Jumlah itu belum termasuk pejabat eselon di daerah dan anggota DPRD.
Dengan demikian, penangkapan Bupati Probolinggo tersebut memperkuat pandangan bahwa suap terkait jual beli jabatan merupakan salah satu modus yang banyak terjadi. Sebab, setiap tahun ada kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait jual beli jabatan.
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho berpandangan, berulangnya kasus korupsi terkait jual beli jabatan memperlihatkan mereka tidak belajar dari kasus sebelumnya. Hal itu bisa terjadi karena dorongan sifat tamak dan rakus.
Terkait kasus di Probolinggo, Hibnu melihat bahwa perkara dugaan jual beli jabatan dilakukan dalam rangka mempertahankan dinasti keluarga yang mana suami dan istri adalah politisi. Dan untuk mempertahankannya, dibutuhkan dana yang tidak sedikit.
Di sisi lain, dalam konteks pengisian jabatan tertentu, sebetulnya sudah terdapat sistem yang dirancang sedemikian rupa dengan parameter yang jelas. Semisal, standar kompetensi, sistem lelang, serta melibatkan KASN. Namun, tidak semua jenjang dapat diawasi sementara kewenangan kepala daerah sangat besar untuk menentukan pejabat di daerahnya.
”Apa pun sistemnya, selalu ada kelebihan dan kekurangan. Tidak ada suatu sistem yang sempurna, tinggal manusia yang menjalankan. Kuncinya, integritas,” kata Hibnu.
Secara terpisah, Almas Sjafrina dari Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan, secara umum, pemilihan jabatan di daerah, seperti kepala dinas atau pimpinan tinggi pratama masih menyisakan banyak masalah. Pemilihan pejabat di tingkat itu sering kali dijadikan ajang untuk mendapatkan uang bagi kepala daerah.
Namun, dalam pemilihan pejabat di tingkat desa pun, seperti pejabat sementara kepala desa, terbuka celah untuk melakukan jual beli jabatan. Sebab, di tingkat itu tidak ada peraturan yang ketat dan pengawasan yang intens.
”Problem utama di daerah, birokrasi daerah masih kerap jadi sapi perah kepala daerah untuk mengumpulkan logistik. Jadi, masih banyak muncul kasus mulai dari jual beli jabatan, setoran, dan bagi-bagi proyek,” kata Almas.
Di sisi lain, sistem pengawasan di daerah juga tidak berjalan semestinya. Pengawasan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah belum efektif. Akibatnya, sistem yang sudah dibangun rawan untuk dibajak kepala daerah untuk kepentingannya sendiri.