Terbukti Melanggar, Lili Dinilai Tidak Pantas sebagai Pimpinan KPK
Tidak semestinya Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar hanya dijatuhi sanksi pemotongan gaji. Sebab, Lili terbukti bertemu dengan pihak yang perkaranya sedang diperiksa KPK. Sanksi yang pantas adalah mengundurkan diri.
Oleh
Nobertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dinilai terlalu lunak. Dengan terbukti melakukan pelanggaran etik berat, yakni berkomunikasi dengan pihak yang beperkara, Lili seharusnya diberi sanksi berupa permintaan untuk pengunduran diri. Bukan hanya dijatuhi sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, ketika dihubungi, Senin (30/8/2021), berpandangan, sanksi yang diberikan Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili terlalu lunak. Padahal, perbuatan Lili yang berhubungan dengan pihak yang beperkara dengan KPK, yakni Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial, terkait dengan dugaan suap lelang jabatan, merupakan pelanggaran berat kode etik KPK.
Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan karena berhubungan dengan pihak beperkara. (Zaenur Rohman)
Hal itu diatur di dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Atas perbuatan itu, Lili hanya diganjar sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
”Sanksi ini sangat ringan, apalagi hanya pemotongan gaji pokok. Seharusnya sanksi yang layak dan tepat dijatuhkan kepada Lili adalah diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan karena berhubungan dengan pihak beperkara,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, gaji pokok wakil ketua KPK hanya bagian kecil dari total penghasilan yang diterima setiap bulan. Gaji pokok wakil ketua KPK hanya sekitar Rp 4,6 juta, sedangkan total uang yang diterima per bulan (take home pay) sekitar Rp 89 juta.
Selain itu, lanjut Zaenur, Lili dianggap tidak layak lagi memimpin KPK karena telah melanggar Pasal 10 Ayat 4 Huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020. Bahkan, perbuatan Lili tersebut tidak hanya melanggar kode etik, tetapi juga merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur Pasal 36 Undang-Undang (UU) No 30/2002 juncto UU No 19/2019 tentang KPK yang melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak beperkara dengan alasan apa pun. Menurut Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun penjara.
”Mengapa berhubungan dengan pihak beperkara menjadi perbuatan terlarang di KPK? Karena dapat menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan oleh insan KPK,” ujar Zaenur.
Selain itu, lanjut Zaenur, jika terjadi hubungan antara pegawai KPK dan pihak yang beperkara, maka perkara akan rawan bocor kepada pihak luar. Akibatnya, KPK akan kesulitan menangani perkara dan berujung pada kegagalan.
Putusan tersebut, menurut Zaenur, akan berakibat buruk bagi KPK ke depan. Kepercayaan masyarakat kepada KPK akan kian tergerus karena nama besar para tokoh yang menduduki posisi Dewas KPK tidak menjamin prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran di internal KPK.
Selain itu, putusan lunak tersebut dapat ditangkap sebagai sikap permisif dan toleran di internal KPK. Dengan demikian, dikhawatirkan pegawai atau insan KPK menjadi tidak terlalu takut ketika melakukan pelanggaran karena melihat Dewas KPK tidak keras terhadap pelanggaran.
Putusan Dewas KPK tersebut belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semestinya sanksi yang dijatuhkan adalah permintaan mengundurkan diri. (Boyamin Saiman)
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, putusan Dewas KPK tersebut belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Semestinya sanksi yang dijatuhkan adalah permintaan mengundurkan diri. Oleh karena itu, lanjut Boyamin, MAKI meminta Lili untuk mengundurkan diri dari unsur pimpinan KPK demi pemberantasan korupsi dan demi kebaikan negara.
”Pengunduran diri Lili Pintauli Siregar adalah menjaga kehormatan KPK karena jika tidak mundur maka cacat atau noda akibat perbuatannya akan selalu menyandera KPK sehingga KPK akan kesulitan melakukan pemberantasan korupsi,” kata Boyamin.
Terkait dengan dugaan perbuatan yang melanggar Pasal 36 UU KPK itu akan dilaporkan ke kepolisian, lanjut Boyamin, pihaknya masih mengkaji putusan Dewas KPK. Sebelumnya MAKI berencana untuk melaporkan Lili ke Badan Reserse Kriminal Polri jika terbukti melakukan komunikasi dengan M Syahrial.