Sebuah Pertanyaan untuk Para Elite dari Film ”Tjoet Nja’ Dhien”
Dari film ”Tjoet Nja’ Dhien”, kita diajak berkaca melihat kembali kepemimpinan para elite di tengah pandemi. Salah satunya, apakah ketua-ketua parpol yang memasang spanduk itu meneladani pengorbanan Cut Nyak Dhien?
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
”Apakah para elite teladani pengorbanan para pemimpin masa lalu?” Pertanyaan itu diajukan peneliti senior Fachry Ali dalam Diskusi Akhir Bulan ”Membaca Kembali Cut Nyak Dhien: Apa Arti Bangsa?”, Kamis (26/8/2021) lalu.
Fachry memecah pertanyaannya itu dalam berbagai bagian. Apakah ketua-ketua parpol yang memasang spanduk kampanye di tengah pandemi itu meneladani pengorbanan para pemimpin di masa lalu? Apakah KPK yang ada saat ini menjadi refleksi pengorbanan Cut Nyak Dhien? Apakah usaha untuk mengamendemen UUD 1945 belakangan ini adalah bentuk pengorbanan atau permainan elite?
Kalau Christine Hakim bercerita tetang Cut Nyak Dhien yang berjuang di tengah kondisi fisiknya yang lemah, Fachry menyoroti Bung Karno yang menulis pidato ”Indonesia Menggugat” di atas toilet karena tidak ada meja dan kursi. Demikian juga Bung Hatta yang pulang demi rakyat Indonesia daripada bekerja di Belanda dan punya mobil Buick serta memelihara anjing yang lucu.
Christine mengatakan, ketika akan membuat film Tjoet Nja Dhien, ia merasa film ini penting karena menambah wawasan tentang sejarah perjuangan bangsa. Tidak banyak data tertulis tentang sosok perempuan Aceh ini. Fotonya pun hanya satu, yaitu ketika ia ditangkap Belanda di Kutaraja, Aceh.
”Tangannya seperti menahan kemarahan. Lusuh,” kata Christine.
Christine menggarisbawahi, ada konteks kekinian penting terkait dengan pengkhianatan yang terjadi terhadap Cut Nyak Dhien.
Christine bercerita, setelah 30 tahun, kini film itu direstorasi dan sempat diputar di sejumlah bioskop beberapa waktu lalu. Christine menggarisbawahi, ada konteks kekinian penting terkait dengan pengkhianatan yang terjadi terhadap Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien dikhianati oleh panglima perangnya yang merupakan orang kepercayaan paling dekat. ”Jadi, masalahnya bukan pada Belanda saja, tetapi beberapa karakter yang menciptakan konflik demi kepentingan bisnis mereka,” kata Christine.
Ichsan Loulembah, aktivis ini, mengatakan, dalam film tersebut Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai perempuan yang punya tenaga melampaui tubuhnya. Ichsan juga menggarisbawahi bahwa Indonesia itu seperti sapu lidi. Pria asal Sulawesi ini bahkan menyadari bahwa masyarakat di Jawa Tengah pun tidak monokultur. Hebatnya, di masa lalu, nenek moyang bisa bersatu walau komunikasi sulit.
”Mereka tidak mikir kepentingan pribadinya, tetapi bersama-sama mengenyahkan ketidakadilan,” katanya.
Fachry Ali, peneliti ekonomi-politik, menyoroti konsolidasi elite yang terjadi belakangan ini. Menurut dia, pasca-1998, ketika kekuatan diktaktorial jatuh, seharusnya yang menggantikan adalah demokrasi yang menghargai hak-hak rakyat. Akan tetapi, terjadi rekayasa oleh elite.
Fachry Ali, peneliti ekonomi-politik, menyoroti konsolidasi elite yang terjadi belakangan ini. Menurut dia, pasca-1998, ketika kekuatan diktaktorial jatuh, seharusnya yang menggantikan adalah demokrasi yang menghargai hak-hak rakyat. Akan tetapi, terjadi rekayasa oleh elite.
Menurut dia, terpilihnya Setya Novanto adalah awal dari konsolidasi elite yang saat ini mengatur politik demi kepentingan mereka. ”Konsolidasi elite ini dibentuk intelektual yang beri pembenaran-pembenaran,” kata Fachry.
Erry Riyana Hardjapamekas, mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengingat betapa kuatnya sosol Cut Nyak Dhien yang di dalam film mengibaskan rencongnya. Karya-karya seperti ini menjadi ingatan kolektif bangsa yang harus terus dibuat, apa pun bentuknya. Mulai dari buku cerita, buku sejarah, film, komik, dan animasi.
Ichsan menambahkan, AS membangun ingatan kolektif tentang sejarah lewat industri film Hollywood. Demikian juga Korea dengan K-pop membangun pasar global untuk produk-produknya. Christine mengingatkan tentang pentingnya kementerian kebudayaan yang menurut dia sekarang kian terjepit. Sementara banyak juga seniman yang kian terseok mencari dana.
”Departemen kebudayaan penting untuk mengawetkan ingatan kolektif,” kata Fachry Ali.