Film Tjoet Nja’ Dhien dinilai tidak menggambarkan perang secara hitam putih, protagonis dan antagonis mutlak. Ada cerita, politik, dan emosi dari kedua pihak yang bertikai. Ini penting sebagai pembelajaran.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Pertemuan dengan Christine Hakim (64) pada Selasa (1/6/2021) petang dibuka dengan pertanyaan dari sang aktris. Ia bertanya, “Sebagai anak muda, bagaimana pendapatmu soal film Tjoet Nja’ Dhien?”.
Christine berperan sebagai Cut Nyak Dien di film Tjoet Nja’ Dhien yang tayang perdana pada 1988. Film itu diputar lagi di bioskop Indonesia pada 20 Mei 2021, tepat di Hari Kebangkitan Nasional. Film berusia 33 tahun itu kini disajikan kepada anak-anak muda, yang bahkan belum lahir saat film tersebut dibuat.
Film ini menceritakan sejarah perjuangan masyarakat Aceh melawan Belanda pada tahun 1800-an. Perang antara Kerajaan Aceh dan Belanda dinyatakan pada 1873, sementara filmnya mencuplik konflik pada periode 1896-1906.
Perang yang panjang digambarkan sebagaimana adanya; pindah dari satu hutan ke hutan lain, memetakan posisi dan wilayah musuh, hingga menyerang secara gerilya tahun demi tahun. Panjangnya pertempuran lama-lama melemahkan iman pejuangnya.
Panglima perang sekaligus tangan kanan Cut Nyak Dien, Pang Laot (Pitrajaya Burnama), mulai mempertanyakan tujuan perang setelah bertahun-tahun bergerilya di dalam hutan. Kegamangan Pang Laot dijawab oleh Cut Nyak Dien. Katanya, “Perang kita kali ini adalah perang melawan kegoyahan iman. Camkan itu!”
Iman yang goyah rentan disusupi pikiran irasional. Hasilnya bisa berupa pengkhianatan yang bentuknya macam-macam. “Menteri yang korupsi pun sebenarnya adalah pengkhianat. Indonesia dan semua negara akan selalu menghadapi tantangan seperti ini, misalnya ego orang-orang yang mengabaikan kepentingan publik,” kata Christine.
Menurutnya, film Tjoet Nja’ Dhien merupakan bentuk kritik sang sutradara, Eros Djarot, terhadap problem negara. Eros meyakini bahwa pengkhianatan akan selalu ada di setiap zaman. Pengkhianatan yang dicuplik dari masa pertempuran Aceh di abad ke-19 itu dinilai masih relevan di abad ke-21.
Christine mengatakan, anak muda mesti tahu sejarah agar bisa belajar dari masa lalu. Pengetahuan itu diharapkan jadi bekal buat menata masa depan bangsa yang lebih baik. “Dari sejarah anak muda bisa tahu nenek moyangnya, tahu dirinya sendiri, dan tahu apa itu Indonesia. Dengan ini, mereka bisa mantap berjalan ke depan dan menjaga Indonesia,” ujarnya.
Panggung sejarah
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, film merupakan media memanggungkan kembali sejarah. Nilai-nilai luhur dari sejarah dipetik, ditayangkan, kemudian dijadikan bahan pembelajaran buat generasi mendatang.
Salah satu pesan penting dari Tjoet Nja’ Dhien, menurut Muhadjir, adalah regenerasi. Hal ini tampak dari perjuangan Cut Nyak Dien yang diteruskan oleh putrinya, Cut Gambang, setelah Cut Nyak Dien diserahkan ke pihak Belanda. Cut Nyak Dien lalu diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal pada 1908.
Pesan lain adalah bahwa sejarah tidak dibangun oleh tokoh-tokoh tertentu saja. Perjuangan era Cut Nyak Dien melibatkan segenap warga Aceh, termasuk para pejuang yang gugur tanpa diketahui namanya.
“Semua film berlatar sejarah, terutama sejarah perjuangan, seharusnya wajib ditonton anak-anak dan siswa sesuai batas umur (minimal). Sejarah yang betul yang seharusnya ditampilkan. Jadi tidak hanya (belajar) teks dan menghafal tahun,“ kata Muhadjir selepas agenda nonton bareng wartawan, Minggu (23/5/2021).
Tidak hanya pada adegan film, solidaritas pun tampak saat pembuatan film tahun 1980-an. Baik Eros maupun Christine tidak menerima bayaran dari film yang dibuat selama dua tahun ini. Begitu biaya habis, produksi film akan dihentikan sementara sambil mencari dana.
Christine mengatakan, ia sempat bermain film di luar negeri. Honornya ia berikan untuk biaya produksi film Tjoet Nja’ Dhien.
Sokongan dari warga Aceh pun mengalir. Mereka memberi sumbangan seperti beras dan telur untuk ratusan pemain dan kru yang shooting di hutan. Sebagai gantinya, aktor Slamet Rahardjo berpidato dan berceramah soal agama ke warga Aceh.
“Kita mesti memberi dulu, jangan pernah meminta. Jika orang lain merasakan manfaat, maka mereka akan memberi kepada kita,” kata Slamet yang memerankan tokoh Teuku Umar.
Restorasi
Film ini membawa nafas baru setelah direstorasi di Belanda pada tahun 2017-2018. Christine mengatakan, restorasi diinisiasi oleh Indofilm foundation dan dibiayai oleh Eye Filmmuseum, Belanda.
Film tersebut direstorasi karena menurut mereka, film itu tidak menggambarkan perang secara hitam putih, protagonis dan antagonis mutlak. Ada lapisan cerita, politik, dan emosi yang kompleks dari kedua pihak yang bertikai. Hal ini diniai penting buat pembelajaran Indonesia dan Belanda kini dan di masa depan.
“Eros Djarot menyerahkan film ini ke rumah produksi Christine Hakim Films sejak 1990-an. Kami hanya memberi izin untuk restorasi. Namun, yang direstorasi adalah salinan film, bukan master-nya,” kata Christine Hakim.
Film versi master yang hendak direstorasi selama ini disimpan di Australia. Namun, pihak penyimpanan di Australia telah tutup. Master film pun tidak ditemukan. Restorasi akhirnya dilakukan terhadap salinan film berdurasi 1 jam 50 menit, sementara versi master-nya 2 jam 15 menit.
Kendati demikian, semangat film tersebut menjadi dorongan baru bagi pemulihan industri film dari pandemi Covid-19. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyiapkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) khusus sektor perfilman.
"Ini seperti value dalam film Tjoet Nja\' Dhien yang pantang menyerah sampai titik darah penghabisan,” kata Menparekraf Sandiaga Uno, Minggu (30/5/2021) seusai agenda nonton bareng di Jakarta.
Menurut Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Ekonomi Kreatif Kemenparekraf Neil El Himam, program PEN khusus perfilman sedang dalam tahap finalisasi. Program lain seperti kampanye #KembalikeBioskop dan promo tiket bioskop tetap berjalan.
“Program PEN untuk perfilman ditargetkan dapat berjalan tahun ini. Karena bentuknya bantuan pemerintah, maka harus benar-benar memperhatikan sisi akuntabilitas dari program tersebut,” kata Neil melalui keterangan tertulis.
Berkaca dari sosok dan film Cut Nyak Dien, jiwa yang pantang menyerah dan setia pada nilai niscaya dianugerahi jalan keluar. Semangat itu bisa diteladani, baik untuk generasi muda penerus bangsa maupun pelaku industri film.