Pastikan Koalisi Tetap Memberikan Masukan Konstruktif
Dengan PAN yang mendukung pemerintah, koalisi memang akan lebih gemuk dan dominan di parlemen. Kendati demikian, hal ini dinilai tidak berarti semua kebijakan pemerintah akan mulus saat dibahas di parlemen.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan merapatnya Partai Amanat Nasional ke dalam koalisi pemerintahan, partai pendukung pemerintah akan menjadi kelompok mayoritas di DPR. Di satu sisi hal ini akan memudahkan konsolidasi dalam kebijakan, termasuk dalam penanganan pandemi. Namun, di sisi lain, hal ini dikhawatirkan mengurangi daya kritis parpol dalam mengawal kebijakan pemerintah.
Sebelumnya, parpol-parpol pendukung koalisi pemerintah diundang oleh Presiden Joko Widodo untuk bertemu di Istana Kepresidenan, Rabu (25/8/2021). Mereka yang diundang ialah ketua umum dan sekretaris jenderal parpol, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, hingga Sabtu (28/8//2021), belum ada pimpinan PAN yang mengonfimasi kepastian partai berlambang matahari itu masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay juga tidak berkenan memberikan keterangan apa pun soal peran fraksi nantinya di parlemen setelah PAN disebutkan bergabung dalam koalisi pemerintahan. ”Saya tidak berkomentar dulu, ya, soal ini,” ungkapnya.
Dalam beberapa kali kesempatan, Sekjen PAN Eddy Soeparno menegaskan, partainya memang mengambil sikap untuk mendukung pemerintah, tetapi tetap memberikan masukan dan kritik konstruktif kepada pemerintah jika memang ada kebijakan yang dirasa perlu untuk diberikan kesempatan.
Dihubungi terpisah, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, semua pimpinan parpol koalisi menyadari pentingnya meningkatkan kualitas demokrasi melalui pengambilan keputusan politik. Keputusan politik itu selain memfokuskan diri pada upaya menanggulangi pandemi juga diperlukan untuk menyiapkan berbagai kebijakan pascapandemi dan bagaimana bergerak secara cepat untuk masa depan.
Dalam perspektif itu, menurut Hasto, dukungan parlemen yang kuat memang penting guna memastikan stabilitas politik di masa yang krusial. ”Checks and balances melekat sebagai salah satu fungsi DPR. Fungsi pengawasan, misalnya, dapat dicermati pada saat rapat kerja di pemerintah. Berkaitan dengan urusan rakyat, urusan hajat hidup orang banyak, semua fraksi di DPR sangat kritis meski posisi politiknya mendukung pemerintah,” ucapnya.
Meskipun pada akhirnya keputusan pemerintah akan didukung DPR, Hasto meyakini, dalam prosesnya akan tetap terjadi perdebatan kritis guna mengungkapkan landasan setiap kebijakan yang diambil, orientasi dan capaian yang ditargetkan atas kebijakan tersebut.
Hasto menilai konsolidasi politik yang terjadi di antara parpol-parpol parlemen juga senapas dengan cita-cita persatuan dan menggambarkan karakter musyawarah serta gotong royong.
”Karena itulah cara pandangnya harus dibalik. Dalam situasi pandemi seperti ini, bagaimana jika kalau hanya mementingkan aspek perdebatan, tampaknya bagus secara demokrasi, tetapi proses pengambilan untuk keputusan pemerintah lambat karena hanya diisi pertarungan politik akibat lemahnya dukungan pemerintah. Mana yang dipilih?” katanya.
Terkait posisi dua parpol yang sejak awal memutuskan sikapnya di luar pemerintah, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menurut Hasto, akan dihormati oleh PDI-P. ”Kalau bagi PDI-P, PKS dan Demokrat sejak awal telah memutuskan sikapnya di luar pemerintah. Itu yang dihormati oleh PDI-P,” katanya.
Menguatkan posisi
Terkait sikap PAN, peneliti Charta Politica, Ardha Ranadireksa, mengatakan, langkah untuk bergabung dengan koalisi besar pemerintahan merupakan langkah strategis yang diambil oleh PAN. Sebab, jika menilik sejumlah hasil survei dalam beberapa waktu terakhir, elektabilitas PAN memang belum terlalu menggembirakan. Oleh karena itu, langkah bergabung dengan koalisi besar adalah upaya rasional untuk mengamankan posisi PAN.
”Karena suka atau tidak suka, berbicara politik itu ujung-ujungnya adalah 2024. Jadi, daripada berseteru, saya pikir PAN dari beberapa hasil survei Charta Politica, elektabilitasnya semakin rendah sehingga kebijakan rasionalnya ialah mengikuti arus terlebih dulu,” ucapnya.
Dengan PAN yang mendukung pemerintah, koalisi memang akan lebih gemuk dan dominan di parlemen. Kendati demikian, Ardha menilai hal ini tidak berarti semua kebijakan pemerintah akan mulus saat dibahas di parlemen. Semua tetap akan kembali pada kepentingan partai masing-masing. Sebab, koalisi gemuk juga akan berdampak pada makin banyak pembagian ”kue” yang harus dilakukan.
”Dengan koalisi yang begitu besar, kue kepentingan yang harus dibagi juga semakin besar. Sementara porsi untuk dibagi-bagi itu, kan, sudah tidak banyak sehingga saya pikir akan sulit untuk memenuhi keinginan setiap partai ini, sekalipun mereka ada di dalam koalisi,” katanya.
Oleh karena itu, koalisi parpol pendukung pemerintah diyakini tidak akan serta-merta memuluskan 100 persen kebijakan pemerintah di parlemen. Tetap akan ada perhitungan kepentingan parpol di sana yang juga akan dipertimbangkan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, dalam sistem presidensiil, kekuasaan eksekutif dan legislatif terpisah dan sama-sama dipilih rakyat. Oleh karena itu, mereka yang duduk di eksekutif ataupun legislatif sama-sama mendapatkan mandat dari rakyat dan tidak perlu ragu melakukan fungsi checks and balances dalam pemerintahan.
”Harus tetap ada sikap kritis dari parlemen kepada pemerintah, demikian pula sebaliknya pemerintah memiliki kekuatan 50 persen dalam pembentukan legislasi sehingga peran saling kontrol itu mesti dijalankan keduanya,” ucapnya.
Makin besarnya koalisi pemerintahan saat ini, menurut Fadli, memang akan menguatkan dukungan di parlemen. Kendati demikian, peran pengawasan dan kontrol oleh DPR juga diharapkan tidak lumpuh karena koalisi politik itu.
”Seharusnya tetap ada kontrol karena mereka dipilih juga oleh rakyat secara langsung dan ada mandat rakyat yang juga disematkan kepada mereka sehingga mereka harus menjaga itu. Ketika presiden mengeluarkan kebijakan yang mengganggu dan tidak sejalan dengan mandat yang mereka terima, ya, peran kontrol itu harus dimainkan oleh DPR,” katanya.