Tak hanya berpengalaman di segala medan, Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo juga cakap dalam menyiapkan konsep dan strategi untuk perbaikan TNI. Gubernur Lemhannas itu pun dikenal dengan julukan ”jenderal pemikir”.
Oleh
KURNIA RAHAYU
·4 menit baca
Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan pada Juni 2016 merupakan sejarah dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Untuk pertama kalinya, negara mempertemukan para korban, mantan jenderal Tentara Nasional Indonesia, sejarawan, dan sejumlah tokoh yang ada dalam pusaran peristiwa itu. Momen tersebut mungkin tidak akan tercipta tanpa peran Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo.
Upaya Letjen (Purn) Agus Widjojo untuk mengungkap kebenaran dan mendorong rekonsiliasi antarpihak yang terlibat dan terdampak peristiwa 1965 sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum itu. Pada 2003, ia mendirikan Forum Silaturahmi Anak Bangsa untuk mempertemukan anak-anak korban konflik politik tersebut. Agus sendiri merupakan putra dari Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, satu dari tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh pada rangkaian tragedi itu.
Peristiwa itu terjadi saat Agus berusia 17 tahun. Meski mengalami duka mendalam, ia berhasil mengatasinya. Ia tumbuh sebagai pribadi yang berpikiran terbuka dan selalu mengusahakan perdamaian.
”Agus Widjojo adalah man of peace and reconciliation,” kata Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 dan 2010-2014, dalam acara peluncuran buku biografi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo berjudul Tentara Kok Mikir? yang diselenggarakan secara hibrida pada Rabu (25/8/2021).
Dalam acara yang digelar Penerbit Buku Kompas bersama Lembaga Ketahanan Nasional itu hadir, antara lain, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan sejumlah purnawirawan TNI. Selain itu, hadir pula penulis buku Tentara Kok Mikir? Bernada Rurit, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto, dan Ketua Perkumpulan Kader Bangsa Dimas Oky Nugroho.
Hassan menambahkan, selain pada peristiwa 1965, Agus juga berkontribusi untuk mencari titik terang peristiwa kerusuhan pasca-penentuan pendapat Timor Timur. Ia menjadi salah satu anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang dibentuk pada 2005. Itu merupakan hal yang tidak mudah karena terdapat penolakan dari kalangan internal TNI terhadap proses rekonsiliasi.
Keterbukaan pikiran itu juga mendorong Agus tumbuh menjadi pribadi yang kritis. Ia merupakan tokoh yang ada di balik konsep reformasi TNI yang dirintis sejak 1998 dan terus berlangsung hingga saat ini.
Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, kritisisme itu terbangun sejak lama. Hampir 10 tahun ia bekerja bersama Agus di satuan lintas udara Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Selama itu pula, Agus yang merupakan senior Yudhoyono selalu mengajak dia untuk memikirkan perbaikan satuannya agar semakin maju.
Kebersamaan dan diskusi mengenai sejumlah koreksi untuk perbaikan TNI AD kembali terjadi ketika keduanya sama-sama menjadi pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad). Kebersamaan itu memuncak pada 1998/1999, saat Yudhoyono dan Agus menjadi perwira yang diminta untuk menyiapkan konsep reformasi TNI. Tugas itu pula yang membuat Agus kemudian dikenal sebagai ”jenderal pemikir”.
”Harus diakui bahwa pemikiran Pak Agus memang kuat dan sering extraordinary sejak ia masih muda, bahkan hingga sekarang sudah purnatugas,” kata Yudhoyono.
Namun, pengakuan banyak pihak mengenai Agus sebagai ”jenderal pemikir” tidak serta-merta berarti bahwa ia hanya seorang pemikir yang lemah dalam kemampuan di lapangan. Sebab, semua perwira dilatih berpikir taktis dan strategis untuk melaksanakan penugasan, baik di masa damai maupun perang.
Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga teman satu angkatan Agus di Akademi Militer, mengatakan, sejak dulu Agus tak pernah lepas dari membaca buku. Pemikirannya pun kerap kali melampaui zaman. Hal itu membuatnya sering berbenturan dengan sejumlah pihak.
Harus diakui bahwa pemikiran Pak Agus memang kuat dan sering extraordinary sejak ia masih muda, bahkan hingga sekarang sudah purnatugas.
Menurut Tri Agung Kristanto, kemampuan Agus menjadi tentara pemikir membuatnya lebih lentur dalam menghadapi situasi dan membaca keadaan. Oleh karena itu, ia selalu berkontribusi pada setiap rezim yang tengah berkuasa. Dalam konteks kepemimpinan, kemampuan untuk membuat perencanaan dengan bekal kemampuan menganalisis keadaan itu umumnya terbukti dapat bertahan dalam waktu panjang.
Dimas Oky Nugroho mengatakan, Agus merupakan sosok multidimensi yang dapat menjadi jembatan antargenerasi. Kemampuan itu tidak banyak dimiliki tokoh nasional saat ini.
Bernada Rurit menuturkan, di tengah pandemi Covid-19 yang menghadapkan masyarakat pada berbagai kesulitan, pengalaman hidup Agus dapat menjadi inspirasi. Anak bangsa hendaknya dapat keluar dari masa sulit tanpa dendam terhadap masa lalu dan menjadi bagian dari perbaikan masa depan.