Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme diharapkan memuat substansi yang dapat meningkatkan profesionalisme TNI secara militer. Salah satunya, pentingnya kerja sama internasional.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme seharusnya memuat substansi yang dapat meningkatkan profesionalisme TNI secara militer.
Hal ini menjadi salah satu yang ditekankan dalam diskusi daring bertajuk ”Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme”, yang diselenggarakan MARAPI Consulting dan Departemen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin, Rabu (14/10/2020).
Salah satu pembicara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin SM Noor MA, menyoroti pentingnya tambahan substansi tentang kerja sama militer internasional dalam operasi penindakan dan pembebasan. Pasalnya, kerja sama yang bersifat ad hoc sangat perlu diatur agar negara-negara di ASEAN, misalnya, dapat bekerja sama mengatasi terorisme yang sifatnya lintas negara.
”Misalnya, kalau perlu ada pengejaran yang dilakukan masuk ke luar wilayah yuridiksi sebuah negara, bagaimana mekanismenya,” kata Noor. Hal ini menurut dia perlu didiskusikan lebih lanjut serta perlu kemampuan diplomasi militer dari perwira-perwira yang mumpuni.
Perlunya kerja sama antarnegara-negara ASEAN ini juga disampaikan Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin Darwis. Ia mengatakan, kerja sama antara ASEAN dan Australia untuk memberantas terorisme bisa menjadi satu contoh.
Darwis mengatakan, keberhasilan Polri bisa menjadi contoh keberhasilan untuk negara-negara di ASEAN.
Otoritas sipil
Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Hasanuddin Makassar, Agussalim Burhanuddin, menegaskan, penanganan aksi terorisme oleh TNI merupakan bentuk operasi militer selain perang (OMSP) yang menurut undang-undang harus berdasarkan perintah otoritas sipil, sebagai wujud supremasi sipil dalam negara demokrasi dan sudah menjadi amanat Undang-Undang TNI.
Oleh karena itu, Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang merupakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Tindak Pidana Terorisme tidak boleh bertentangan isinya dengan undang-undang yang sudah ada.
Selanjutnya Agussalim menyatakan bahwa prinsip menjunjung tinggi supremasi sipil dan profesionalitas TNI adalah mutlak sebab militer merupakan kekuatan yang memiliki potensi penggunaan kekuatan eksesif dan melanggar hak-hak sipil jika tidak dapat dikendalikan oleh otoritas sipil dan dalam koridor TNI yang profesional.
Senada dengan Agussalim, pembicara dari Marapi Consulting & Advisory, Beni Sukadis, mengingatkan tentang pekerjaan rumah yang belum selesai dalam mendorong reformasi TNI. ”Konsep OMSP sendiri belum jelas, terutama yang bersifat perbantuan kepada instansi lain, seperti Polri,” kata Beni.
Di sisi lain, UU No 5/2018 mengedepankan pendekatan penegakan hukum. Dalam situasi yang demikian, sebenarnya perlu dipertanyakan peran TNI seperti apa yang diperlukan. Beni mengingatkan potensi tumpang-tindih peran dengan Polri yang juga akan mengganggu profesionalitas TNI jika tidak diatur dengan baik.
Beni mengingatkan bahwa OMSP bukan merupakan tugas utama TNI sebab tugas utama TNI adalah operasi militer untuk perang. Di tengah proses reformasi yang belum tuntas, perhatian utama yang berlebihan pada OMSP justru akan mengganggu fokus utama TNI untuk bersiaga terhadap ancaman yang berdimensi pertahanan. ”Jangan sampai semua dikerjakan kecuali tugas pokoknya,” kata Beni.