Eksepsi Terdakwa Kasus Asabri: Pengadilan Tipikor Tak Berwenang Mengadili
Para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri menilai pengadilan tipikor tak berwenang mengadili perbuatan mereka. Perbuatan terdakwa yang diduga melanggar transaksi di pasar modal seharusnya digugat secara perdata.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eksepsi para terdakwa dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia atau Asabri (Persero) meminta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membatalkan dakwaan jaksa penuntut umum. Sebab, perbuatan mereka bukan ranah pengadilan tindak pidana korupsi untuk mengadilinya. Selain itu, penentuan kerugian negara sebesar Rp 22,7 triliun dinilai tidak tepat.
Hal itu terungkap dalam sidang kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) dengan agenda eksepsi para terdakwa, Senin (23/8/2021), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Ig Eko Purwanto dengan didampingi empat hakim anggota, yaitu H Saifuddin, Rosmina, Ali Mutharom, dan Mulyono Dwi P.
Adapun terdakwa yang mengajukan eksepsi adalah Direktur Utama Asabri Maret 2016-Juli 2020 Sonny Widjaja, Direktur Utama Asabri 2011-Maret 2016 Adam Rachmat Damiri, Direktur Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Direktur Asabri 2013-2014 dan 2015-2019 Hari Setianto, Direktur PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra Heru Hidayat, serta Direktur Utama PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi.
Khusus terdakwa Direktur Keuangan Asabri Oktober 2008-Juni 2014 Bachtiar Effendi baru akan mengajukan eksepsi pada pekan depan karena pada sidang pembacaan dakwaan pekan lalu sedang sakit. Dakwaan Bachtiar baru dibacakan hari ini.
Penasihat hukum Sonny Widjaja, MT Heru Buwono, mengatakan, perbuatan terdakwa bukan wewenang pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengadili perkara tersebut.
Menurut penasihat hukum, perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dengan diterapkan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sebab, perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka melakukan transaksi di pasar modal.
Heru mengungkapkan, berdasarkan dakwaan dari jaksa penuntut umum, perbuatan Sonny adalah pengaturan transaksi saham tanpa mempertimbangkan unsur kehati-hatian dan aspek likuiditas, pengaturan penjualan saham, analisis penempatan dana yang dibuat secara formalitas, pembelian saham berisiko tanpa menilai hasil analisis atas aspek fundamental dan teknikal, serta pengaturan pembelian saham yang mengalami penurunan harga.
Oleh karena itu, tim penasihat hukum Sonny berpendapat bahwa yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah pengadilan umum di lingkup pengadilan negeri. Alhasil, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini.
Selain itu, mereka menilai, penentuan kerugian negara tidak cermat. Jaksa penuntut umum hanya mendalilkan surat dakwaan berdasarkan hasil laporan investigatif dalam rangka penghitungan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp 22,7 triliun.
”Penentuan dasar tersebut menjadi tidak jelas dan tidak cermat karena memaparkan apa yang menjadi hasil dari laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK tersebut. Metode penghitungan kerugian negara dari auditor BPK tidak memberikan perhitungan kerugian negara yang nyata dan pasti,” kata Heru.
Hal senada diungkapkan tim penasihat hukum Adam Rachmat Damiri. Mereka menilai perbuatan yang dilakukan Adam diduga merupakan pelanggaran transaksi di pasar modal.
Penasihat hukum Adam, Michael R Pardede, mengatakan, dalam dakwaan, jaksa penuntut umum menguraikan tindakan terdakwa yang melakukan aktivitas di bidang pasar modal. Mereka melakukan kegiatan di antaranya jual beli saham, penempatan investasi di saham-saham, dan reksa dana.
Menurut Michael, perbuatan tersebut diduga melanggar UU No 8/1995 tentang Pasar Modal. Ia menjelaskan, dakwaan dari jaksa penuntut umum adalah transaksi di pasar modal sehingga pelanggarannya pun berada di ruang lingkup pasar modal.
Hal senada diungkapkan penasihat hukum terdakwa lainnya. Penasihat hukum Jimmy Sutopo, Herdian, mengatakan, dakwaan yang disampaikan salah dan cacat. Sebab, UU Pasar Modal bersifat keperdataan. Jaksa penuntut umum keliru mendakwa Jimmy dengan tindak pidana korupsi.
Tim penasihat hukum Benny Tjokrosaputro juga menyatakan hal serupa. Mereka menyatakan, hubungan hukum antara terdakwa dan PT Asabri adalah perkara perdata sehingga pengadilan tindak pidana korupsi tidak memiliki wewenang mengadili perkara ini.
Sementara itu, Heru Hidayat menyampaikan eksepsi pribadi dan penasihat hukum. Ia mengatakan, dugaan kerugian Rp 22,7 triliun yang dialami PT Asabri tidak berdasar karena PT Asabri masih mendapatkan keuntungan.
Heru pun mengelak bahwa dirinya telah memperkaya diri sebesar Rp 12 triliun dan memperkaya orang lain di PT Asabri. Heru pun menuntut jaksa penuntut umum menyajikan bukti-bukti otentik. Adapun Benny dan Heru telah dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus korupsi PT Jiwasraya.
Sebelumnya, jaksa Saeful Bahri Siregar, Yadhyn, TM Pakpahan, Retno Liestyanti, dan Ibnu Firman mendakwa para terdakwa telah melakukan pengaturan transaksi berupa investasi saham dan reksa dana yang dilakukan jajaran manajemen PT Asabri dengan para pihak swasta yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 22,7 triliun.
Perbuatan itu diduga telah memperkaya terdakwa hingga triliunan rupiah. Ketua Majelis Hakim Ig Eko Purwanto memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk menanggapi dalam bentuk pendapat pada 30 Agustus 2021.