AHY: Pandangan yang Berbeda Dianggap Tidak ”Merah Putih”
Kelompok tidak ”Merah Putih” adalah mereka yang berdiam diri ketika tahu ada yang keliru di negeri ini atau yang berdiam diri menunggu pemimpinnya berbuat salah. Bukan karena sikap kritis pada pemerintah.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menilai, sikap kritis Demokrat sering kali disalahartikan sebagai bentuk serangan untuk kepentingan politik tertentu. Bahkan, masukan dan pandangan yang berbeda dianggap sebagai bentuk perlawanan dan tidak ”Merah Putih”.
Agus mengatakan, selama pandemi Covid-19, Demokrat secara paralel, di parlemen dan di ruang-ruang publik, selalu konsisten untuk terus memberikan masukan-masukan yang konstruktif untuk pemerintah. Ini sekaligus untuk menyuarakan harapan dan aspirasi rakyat karena semua masukan itu berdasarkan fakta dan realitas di lapangan. Sikap dan posisi kritis tersebut adalah sesuatu yang fundamental karena Demokrat ingin pemerintah sukses mengatasi pandemi.
Ia mencontohkan, sejak awal pandemi, Demokrat tegas mengingatkan untuk fokus pada kesehatan karena tidak ada yang lebih berharga dari nyawa, sedangkan ekonomi bisa dipulihkan secara bertahap. Bahkan, dalam kondisi seperti ini, masih ada yang mempertahankan agenda-agenda lainnya. Selain tidak relevan, agenda itu sebenarnya masih bisa ditunda karena tidak mengandung kegentingan yang memaksa.
Selain itu, lanjut Agus, Demokrat sering memberikan masukan atas berbagai permasalahan terkait kebijakan-kebijakan yang tidak dijalankan secara terintegrasi dan tersinkronisasi dengan baik. Mereka juga mengingatkan agar tidak terjadi kesalahan prosedur dan penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi pada terjadinya kerugian negara.
”Sayangnya, niat baik seperti itu sering kali disalahartikan. Pandangan atau masukan kritis dianggap sebagai bentuk serangan atau gangguan untuk kepentingan politik tertentu. Lebih menyakitkan jika setiap masukan dan pandangan yang berbeda dianggap sebagai bentuk perlawanan, dianggap tidak ’Merah Putih’,” ujar Agus saat Pidato Kebangsaan Ketua Umum Partai Politik memperingati 50 tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang diselenggarakan secara daring, Senin (23/8/2021).
Pidato dihadiri oleh para pengurus CSIS, seperti Ketua Umum Pembina CSIS Harry Tjan Silalahi, Wakil Ketua Pembina CSIS Jusuf Wanandi, Ketua Dewan Direksi CSIS Djisman Simanjuntak, Sekretaris CSIS J Kristiadi, Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, serta Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes.
Menurut Agus, kelompok yang tidak ”Merah Putih” adalah mereka yang hanya berdiam diri ketika tahu ada yang keliru di negeri ini, atau mereka yang hanya berdiam diri menunggu pemimpinnya berbuat salah dan negaranya gagal.
”Saya rasa, alasan kami tersebut sama seperti alasan yang dimiliki oleh berbagai elemen bangsa lainnya saat menyampaikan pandangan kritisnya, termasuk para insan pers dan media, para mahasiswa dan kalangan kampus, serta para aktivis dari berbagai kelompok masyarakat sipil,” tuturnya.
Jika memang suara parpol dianggap mengandung agenda kepentingan politik tertentu, lanjut Agus, para pemimpin dan pemerintah semestinya mau mendengarkan langsung suara hati rakyat di akar rumput. Ia berharap para pemimpin dan wakil rakyat bisa berbesar hati untuk terus melakukan evaluasi, karena faktanya memang masih cukup banyak hal yang perlu dan bisa dibenahi, diperbaiki, serta ditingkatkan dalam mengatasi pandemi.
Dalam konteks demokrasi, menurut Agus, Indonesia tidak perlu membela diri ketika sejumlah lembaga dunia menilai telah terjadi kemunduran demokrasi.
Dengan penilaian itu, justru semestinya sebagai bangsa perlu terus mengevaluasi dan membenahinya. Sebab, hal ini telah berdampak pada kualitas demokrasi, di antaranya dalam praktik politik uang, politik identitas, serta politik fitnah dan pembunuhan karakter.
”Demokrasi seharusnya menjadi penggerak pembangunan dan kemajuan bangsa, sebaliknya bisa membuat kita mundur ke belakang jika demokrasi dijalankan secara serampangan, apalagi jauh dari nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan,” tuturnya.
Menurut Arya, Agus menegaskan peran penting tentang komitmen Demokrat untuk mendorong demokrasi yang beradab dan bertanggung jawab. Apalagi pasca-Pemilu 2019, Indonesia berada dalam situasi kepercayaan publik, toleransi, dan partisipasi cenderung menurun akibat kontestasi yang cukup ketat.
Seandainya ada peluang untuk merevisi Undang-Undang Pemilu, Demokrat diharapkan bisa mendorong diberlakukannya sistem proporsional tertutup untuk pemilu legislatif. Sebab, dalam beberapa studi, sistem proporsional terbuka seperti yang dianut saat ini mendorong penggunaan politik uang yang tinggi dalam pemilu.
Politik identitas dan fitnah juga menjadi tantangan yang berat karena penetrasi dunia digital terus meningkat.
”Mudah-mudahan Demokrat bisa mendorong diskualifikasi kepada calon yang maju dalam pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah yang terbukti secara hukum menyebarkan fitnah karena berbahaya dan memecah belah,” kata Arya.