Jalan Sunyi Paskibraka Nasional
Menjadi anggota paskibraka di tengah pandemi bukanlah hal mudah. Mereka harus menjalankan protokol kesehatan yang ketat sejak menjalani seleksi di tingkat kota hingga nasional.
Digelar pada masa pandemi Covid-19, pasukan pengibar bendera pusaka atau paskibraka di Istana Merdeka kembali tampil dalam formasi lengkap 17-8-45. Untuk menghadirkan formasi lengkap, ada ”harga” yang harus dibayar oleh paskibraka dari 34 provinsi ini. Mereka harus menempuh ”jalan sunyi” ketika menerapkan protokol kesehatan yang superketat.
Meski demikian, disiplin ketat itu berbuah manis. Sebanyak 68 anggota paskibraka, yang dijuluki sebagai Tim Indonesia Tangguh ini, menyuguhkan penampilan prima pada Upacara Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka pada Selasa (17/8/2021). Pandangan mata seluruh masyarakat Indonesia tertuju pada derap langkah mereka.
Mery Agustina, anggota paskibraka dari Nusa Tenggara Barat, menyebut mereka sudah dilatih disiplin, susah bersama, sedih bersama, dan senang juga bersama.
Di saat akhir menjelang tugas di Istana Merdeka, Ginaya Desembria Muliadi dari Sulawesi Selatan menyebut betapa tidak enaknya disiplin ketat yang harus dijalani. Mereka tidak lagi bisa berbicara dengan bebas dan tidak lagi makan bersama di ruang makan.
Semua anggota paskibraka juga harus menahan rindu. Mereka tak bisa ditemui oleh siapa pun, termasuk orangtua.
Rasa haru lantas mengalir ketika mereka mengucapkan terima kasih kepada orangtua, seperti yang dilontarkan Abdi Ramashie asal Banten, Yasser Ramadhani dari Nusa Tenggara Timur, Nabila Nurya Rahmi A Kelrey dari Maluku, dan Falentina Nafurbenan dari Papua Barat.
”Terima kasih kepada Mama karena sudah mendukung saya untuk sampai ke Jakarta ini. Terima kasih Mama untuk doa dan dukungannya,” tambah Falentina.
Baca juga: Derap Merah Putih, Langkah Paskibraka
Rifaldi Prayoga, wakil dari Sumatera Utara, mengaku sangat bangga setelah dikukuhkan dan kemudian mengemban tugas negara sebagai seorang anggota paskibraka nasional. ”Tidak semua pelajar bisa berada di sini. Saya bersyukur dan bangga,” ujarnya dalam video yang diunggah di laman Youtube Sekretariat Presiden.
Perasaan bangga juga dilontarkan oleh Jossy Reggyandro Lobo dari Nusa Tenggara Timur dan Valentina Dyastika dari Bali.
Sesaat menjelang Upacara Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, pelajar SMA Harapan I Medan, Ardelia Muthia Zahwa (16), wakil dari Provinsi Sumatera Utara, terpilih sebagai pembawa bendera Merah Putih.
Berbeda dengan masa sebelum pandemi, Ardelia tak lagi menerima bendera langsung dari tangan Presiden Jokowi. Namun, ia mengambilnya dari meja di hadapan Presiden.
Tiga anggota paskibraka lainnya dari Kelompok 8 yang bertugas mengibarkan bendera ialah Aditya Yogi Susanto sebagai Komandan Kelompok 8 yang mewakili Provinsi Gorontalo, Dika Ambiya Rahman sebagai pembentang bendera yang mewakili Provinsi Jawa Barat, dan Ridho Hadfizar Armadhani sebagai pengerek bendera yang mewakili Provinsi Lampung.
Berbeda dengan masa sebelum pandemi, Ardelia tak lagi menerima bendera langsung dari tangan Presiden Jokowi. Namun, ia mengambilnya dari meja di hadapan Presiden.
Menguras energi
Komandan upacara adalah Kolonel (Pnb) Putu Sucahyadi, lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1999. Saat ini ia menjabat sebagai Asisten Operasi Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional (Asop Kosekhanudnas) II Makassar.
Bertindak sebagai komandan kompi paskibraka ialah Kapten (Inf) Suryadi Nataatmaja. Saat ini pria lulusan Akademi Militer tahun 2012 tersebut bertugas sebagai Komandan Kompi Pandu Udara Denpandutaikam Brigif Para Raider 18/2 Kostrad.
Baca juga: Sebanyak 23 Anggota Paskibra Langkat Positif Covid-19
Perwira upacara ialah Brigadir Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya. Lahir di Bangkalan, 10 November 1971, lulusan Akademi Militer tahun 1993 ini menjabat sebagai Kepala Staf Garnisun Tetap I/Jakarta.
Menghadirkan paskibraka nasional dengan formasi lengkap, menurut Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Asrorun Ni’am Sholeh, lebih menguras energi dan emosi.
Selain konsentrasi pada teknis pendidikan dan pelatihan sebagaimana biasa, penyelenggara juga harus berkonsentrasi untuk menjaga protokol kesehatan Covid-19. Ditambah lagi adanya tantangan untuk menjaga berbagai kemungkinan dan langkah-langkah antisipasinya.
Dari segi prasarana, persiapan paskibraka juga lebih banyak dari biasanya. Ketika menjalani diklat di Cibubur, Jakarta, setiap anggota paskibraka tinggal satu orang satu kamar dari sebelumnya satu kamar dua orang.
Perbedaan juga terjadi dari tata cara makan dan pola interaksi keseharian. Semua dilakukan dengan adaptasi baru menyesuaikan protokol kesehatan.
Di samping baris-berbaris, materi diklat juga meliputi kepemimpinan, wawasan kebangsaan, kewirausahaan, penguatan ideologi pancasila, dan literasi digital.
Asrorun menyebut protokol kesehatan ketat telah diberlakukan sejak seleksi calon anggota paskibraka nasional di daerah, karantina dan pelatihan, hingga bertugas di Istana Merdeka.
Menjelang keberangkatan ke Jakarta, mereka diminta karantina di rumah selama 10 hari dan lanjut karantina dua hari di ibu kota provinsi. Semua calon anggota paskibraka juga divaksinasi tahap pertama sesaat sebelum berangkat ke Jakarta.
Sebanyak 68 anggota paskibraka disebut disiplin mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan. Sebelum berangkat ke Jakarta, mereka juga menjalani tes usap dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR).
Ada beberapa yang positif Covid-19 dan kemudian gagal. Begitu tiba di lokasi diklat, mereka kembali menjalani tes PCR. Setelah isolasi mandiri selama tiga hari, mereka baru bisa efektif latihan.
Mereka setidaknya harus menjalani sembilan kali tes PCR dan lima kali tes antigen. Sebelum upacara HUT Ke-76 RI di Istana Merdeka, mereka juga kembali menjalani tes PCR pada 16 Agustus 2021.
Ketika bertugas pada Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI, protokol kesehatan ketat tetap dijalankan. Setiap anggota paskibraka harus menggunakan masker dua lapis, menggunakan sarung tangan, jarak antar-anggota dalam pasukan adalah dua meter.
Seluruh pasukan pengibar bendera berasal dari tim paskibraka ditambah lima orang dari pasukan pengamanan presiden (paspampres) sebagai pengawal bendera. Tim pendukung sangat minimalis dan tidak ada interaksi yang berdekatan.
Bambang Tedjo Baskoro, yang menjadi anggota paskibraka nasional pada 1979 di era Presiden Soeharto, yang hingga kini menjadi motivator bagi anggota paskibraka dari tingkat kota, provinsi, dan nasional, mengaku sempat menangis ketika paskibraka formasi lengkap tidak ada tahun lalu. Ia kemudian menyambut gembira kembalinya formasi lengkap paskibraka tahun ini.
Paskibraka, menurut Bambang, merupakan kebanggaan sekaligus menjadi unsur perekat bangsa. Hadirnya formasi lengkap paskibraka ini juga menjadi bagian dari edukasi bahwa masyarakat bisa hidup berdampingan dengan pandemi.
”Tantangannya memang terletak pada pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat,” tambah Bambang.
Paskibraka, menurut Bambang, merupakan kebanggaan sekaligus menjadi unsur perekat bangsa. Hadirnya formasi lengkap paskibraka ini juga menjadi bagian dari edukasi bahwa masyarakat bisa hidup berdampingan dengan pandemi. (Motivator bagi anggota paskibraka)
Perjuangan bangsa
Pasukan pengibar bendera pusaka atau paskibraka tak lepas dari peran Husein Mutahar, ajudan Presiden Soekarno, yang atas permintaan Presiden membentuk tim pengibar bendera mulai dari formasi lima orang pada 1946. Pada 1950 sampai 1966, pengibaran bendera ditangani Bagian Rumah Tangga Kepresidenan. Pada 1967, H Mutahar mengembangkan formasi menjadi pasukan 17, 8, dan 45.
Almarhum Idik Sulaiman, yang juga membidani pendirian paskibraka bersama Husein Mutahar, pada 2011 pernah menjelaskan kepada Kompas. Paskibraka, menurut Idik, adalah pembekalan generasi muda untuk menjadi pemimpin masa depan.
Paskibraka dipersiapkan untuk tugas jangka pendek, mengibarkan bendera pusaka dalam puncak peringatan hari jadi Indonesia. Adapun tujuan jangka panjangnya adalah membentuk karakter generasi penerus bangsa.
Karena itu, kurikulum latihan paskibraka pun tak melulu baris-berbaris. Sebaliknya, penyiapan mental, ideologi, etika, dan kepemimpinan disampaikan juga dengan suasana pembinaan yang disebut Desa Bahagia. Hubungan pembina dan calon paskibraka adalah kakak-beradik, dilandasi persaudaraan dan cinta kasih, bukan senior dan yunior.
Bendera pusaka, menurut Bambang, merupakan wujud perjuangan bangsa yang diraih dengan pengorbanan jutaan nyawa dan darah. Bendera pusaka berukuran 2 meter x 3 meter yang dijahit Ibu Fatmawati tahun 1944 ini dibawa di koper pribadi Presiden Soekarno saat Presiden mengungsi ke Gedung Agung Yogyakarta pada 1946.
Akhir tahun 1948, karena agresi militer Belanda, bendera ini sempat dibuka jahitannya oleh H Mutahar, bagian kain merah dan putih dipisahkan. Tujuannya, mengamankan bendera simbol kemerdekaan Republik Indonesia dari Belanda.
Bendera baru dijahit kembali oleh H Mutahar saat Presiden Soekarno berada di pengasingan di Pulau Bangka pertengahan tahun 1949. Bendera pusaka baru dikibarkan pertama kali di Istana Merdeka saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan tahun 1950.
Di era Presiden Soeharto, kata Bambang, bendera pusaka dijaga dengan cara disimpan di kediaman Presiden Soeharto. Bendera itu baru akan dibawa ke Istana Merdeka menjelang 16 Agustus sore, lalu ditaruh di ruang bendera pusaka di Istana Merdeka dengan dijaga paspampers.
Penghormatan yang sama terhadap lambang negara itu terus terjadi hingga hari ini. Bendera pusaka tidak dilipat lagi, tapi digulung.
Sejak era pemerintahan Presiden Jokowi, bendera diambil dari Monumen Nasional untuk dibawa ke Istana Merdeka. Bendera pusaka bukan hanya milik negara, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, bendera yang dikibarkan di lapangan Istana Kepresidenan ini berukuran 200 cm x 300 cm.
Dari sejak pertama kali Indonesia merdeka hingga saat ini, tak putus-putus sang saka Merah Putih berkibar di bumi Indonesia. Seturut pesan Presiden Soekarno, bendera sebagai lambang negara ini akan terus dijaga dengan nyawa seluruh anak bangsa.