Kisah dan Harapan di Balik Baju Kampret Baduy Presiden Jokowi di Sidang MPR
Baju Baduy luar warna hitam yang dikenakan Presiden Jokowi ialah busana sehari-hari masyarakat Baduy. Ada makna di balik baju itu. Tatkala Presiden mengenakan baju adat itu, diharapkan hal ini tak sekadar simbolis.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan dan Nina Susilo
·6 menit baca
Setiap peringatan hari ulang tahun Kemerdekaan RI dan pidato kenegaraan, semua menunggu-nunggu dan menebak-nebak baju tradisional yang dikenakan Presiden Joko Widodo. Dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD, Senin (16/8/2021), Presiden Jokowi tampil mengenakan pakaian adat masyarakat Baduy.
Berbaju kampret warna hitam, celana berwarna gelap yang diikatkan dengan beubeur (ikat pinggang), dan ikat kepala batik warna biru dan hitam, Presiden memasuki ruang rapat paripurna di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD. Tidak hanya itu, jarog atau koja—tas yang terbuat dari kulit kayu pohon terep terselempang di pundaknya.
”Busana yang saya pakai adalah pakaian adat suku Baduy. Saya suka karena desainnya yang sederhana simple dan nyaman dipakai. Saya juga ingin berterima kasih kepada Pak Jaro Saija, tetua adat masyarakat Baduy yang telah menyiapkan baju adat ini,” tutur Presiden Joko Widodo di akhir pidato kenegaraannya.
Baju kampret hitam tanpa kerah ini digunakan warga Baduy luar. Karenanya, ada pengaruh budaya luar, yakni ada kantong dan kancing. Meski demikian, modelnya tetap sangat sederhana. Warga Baduy dalam biasanya mengenakan baju putih yang disebut jamang sangsang. Baju ini tanpa kerah, kancing, ataupun kantong, seakan sekadar dicantol (disangsang) pada tubuh.
Saya dan semua masyarakat Baduy merasakan gembira. Betul-betul peduli ke adat istiadat kami. (Jaro Saija)
Jaro Saija, tetua adat yang disebut Presiden Jokowi dalam pidatonya, mengaku gembira ketika mengetahui bahwa baju adat Baduy tersebut akhirnya dipakai oleh Presiden ketika membacakan pidato kenegaraan. ”Saya dan semua masyarakat Baduy merasa gembira. Betul-betul (Presiden) peduli kepada adat istiadat kami,” ujar Jaro Saija ketika dihubungi Senin (16/8/2021).
Ajudan Presiden Jokowi, disebut Saija, mengambil pesanan baju adat Baduy luar tersebut pada Kamis (12/8/2021). Sebelumnya, ajudan menghubungi Saija lewat panggilan telepon untuk memesan baju adat Baduy lengkap dengan ikat kepala dan tas koja.
”Kemauan beliau, memakai pakaian adat Baduy. Saya kasih ukuran L, saya perkirakan L yang pas,” tambah Saija.
Baju Baduy luar warna hitam, yang ternyata memang pas dipakai Presiden Jokowi, sejatinya adalah busana sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat Baduy. Warna hitam dipilih di antara pilihan warna lain yang biasa dipakai warga Baduy, yaitu putih. Sementara ikat kepala warna biru meniru alam dan melambangkan kupu-kupu.
”Kalau diceritakan makna, di Baduy, baju yang diwajibkan hitam dan putih. Langsung ke hatinya, harus putih bersih. Maknanya dua-dua: pembentukan bumi dan langit, siang dan malam, cewek dan cowok,” ucap Jaro Saija yang juga merupakan Kepala Desa Kanekes.
Kedisiplinan adat
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin memilih memakai baju adat Suku Mandar asal Sulawesi Barat. Sama seperti adat Baduy yang dipakai Presiden Jokowi, pakaian adat pria Suku Mandar yang dikenakan Wapres kali ini juga kental kesederhanaan. Hal ini dilandasi alasan filosofis bahwa pria Mandar harus gesit dan cekatan dalam bekerja.
Kain tradisional tenun juga menjadi pilihan Wapres. Jas dan celana hitam dipadukan dengan kain sarung tenun warna merah bercorak khas Mandar yang digunakan sebagai ikat pinggang dan penutup kepala yang disebut songkok tabone. Sentuhan tenun menjadikan pakaian adat Suku Mandar ini terlihat elegan dan menawan.
Koordinator Staf Khusus Presiden AAGN Dwipayana menjelaskan, pakaian adat Baduy yang dipakai Presiden Jokowi memang menjadi simbol kesederhanaan. ”Situasi pandemi seperti ini, Presiden harus betul-betul menunjukkan contoh,” tuturnya kepada harian Kompas.
Pakaian adat Baduy memang sangat sederhana dan enak dipakai. Tidak ribet, nyaman, dan sangat fungsional, seperti tas yang biasa digunakan untuk membawa segala keperluan. Pakaian ini berbeda dengan pakaian-pakaian tradisional yang dikenakan Presiden sebelumnya.
Desainer senior Edward Hutabarat, yang akrab dipanggil Edo, menilai, pilihan Presiden Jokowi memakai baju adat Baduy adalah pilihan yang tepat. Pernyataan Presiden bahwa baju tersebut terasa nyaman dipakai juga sangat pas karena baju tradisional Baduy memang memakai bahan kain tenun dari kapas asli yang terasa adem dan lembut di kulit.
”Saat yang tepat memakai baju Baduy. Saya sendiri sangat mencintai kain Baduy karena lembut banget menyatu sama kulit. Dan memang nyaman. Menyesuaikan banget dengan panas. Dan saatnya tenun Baduy di-marketin,” kata Edo.
Buah kapas dipetik dari hutan lantas dipintal satu per satu dengan alat tenun gedok tradisional. Karena ditenun helai demi helai secara sederhana oleh para perempuan Baduy di teras-teras rumah mereka, lebar kain tenun ini umumnya hanya seukuran rentangan tangan orang dewasa, yaitu 70-80 cm.
”Menenun sebagai latihan kedisiplinan adat. Tenunan mereka sangat istimewa karena untuk melengkapi sebuah seremoni adat yang mereka junjung tinggi. Bayangkan mereka gabungkan kepiawaian jari-jemari mereka dengan kedisiplinan. Diciptakan untuk melengkapi sebuah seremoni untuk sang leluhur,” tambah Edo.
Pilihan warna hitam juga tepat karena memberikan kesan elegan. ”Coba Anda lihat dalam penyerahan Academy Award, semua cowok pakai hitam. Apalagi hitam Baduy, story telling-nya kenceng. Welcome to Baduy. It's not just a simple black,” ucap Edo.
Tak sebatas simbolis
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyebut pakaian Baduy mencerminkan sebuah masyarakat egaliter, sederhana, serta sangat mencintai pertanian dan alam. Selain memakai baju Baduy di pidato kenegaraan, Presiden juga diharapkan menunjukkan langkah substantif dalam hal pengakuan dan perlindungannya, bukan sebatas simbolis.
Dengan pakaian adat tersebut, Presiden (perlu) memastikan regulasi ke depan soal masyarakat adat, petani, peladang, dan nelayan tradisional semakin implementatif dalam usaha-usaha perlindungan secara serius dan sistematis
Menurut Dewi, masyarakat adat itu adalah petani, nelayan tradisional, dan orang-orang di perdesaan di pelosok negeri yang sangat bergantung pada tanah, wilayah perairan, dan sumber daya alam lain. Mereka juga semakin bergantung pada alam selama pandemi untuk bertahan hidup.
”Dengan pakaian adat tersebut, Presiden (perlu) memastikan regulasi ke depan soal masyarakat adat, petani, peladang, dan nelayan tradisional semakin implementatif dalam usaha-usaha perlindungan secara serius dan sistematis,” ujarnya.
Dewi juga menyebut perlunya pencegahan kejadian ironi seperti baju adatnya dipakai, tetapi tanahnya dan sumber daya alamnya hilang.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Pembangunan Manusia Abetnego Tarigan menyebut bahwa dengan memakai baju adat Baduy, Presiden Jokowi tidak hanya mengapresiasi keluhuran nilai-nilai adat dan budaya suku Baduy, tetapi juga menangkal stigma negatif terhadap suku Baduy.
”Presiden mengangkat ke tingkat paling tinggi di salah satu acara kenegaraan. Hal ini dapat dimaknai sebagai cara Presiden untuk menghentikan stigma dan makna negatif dari penyebutan suku Baduy,” kata Abetnego.
Sebutan ”Baduy” merupakan sebutan yang disematkan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat adat sub-Sunda yang tinggal di wilayah Lebak, Banten. Namun, penyebutan suku Baduy cenderung mengarah pada makna peyorasi karena kaitan sejarahnya sebagai produk era kolonial Belanda. Masyarakat di era kolonial secara gegabah mengidentifikasi suku Baduy layaknya suku Badawi di tanah Arab yang hidup nomaden dan dianggap liar.
Walaupun kelompok masyarakat ini menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, dalam perkembangannya, istilah Baduy kini tidak lagi bersifat peyoratif.
”Istilah Baduy dilekatkan pada mereka oleh orang luar dan terus berlanjut sampai sekarang. Tetapi saya pun kadang pakai istilah ’Baduy’ karena sangat sering digunakan dan tidak dengan maksud merendahkan,” ujar Hilman Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.