Dibutuhkan Kerja Sama Wujudkan Visi Indonesia Maju 2045
Rendahnya kualitas sumber daya manusia, pendidikan, dan kesehatan masih menjadi persoalan bangsa Indonesia. Korupsi dan penyelenggaraan pemerintah yang tak berorientasi pada rakyat merupakan problem lainnya.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menuju 100 tahun pada 2045 telah menumbuhkan harapan dan mimpi besar sekaligus membawa banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Diperlukan kerja bersama sebagai sebuah bangsa untuk menyelesaikan permasalahan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga kultural, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keindonesiaan.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring yang merupakan pengayaan konten buku Indonesia Menuju 2045, Sabtu (14/8/2021). Terdapat tiga buku Menuju Indonesia 2045 yang disusun Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Center for Strategic International Studies (CSIS), dan harian Kompas.
Gubernur Lemhannas Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo menjelaskan, tiga buah buku Indonesia Menuju 2045 adalah upaya untuk memotret perkembangan bangsa menuju usia 100 tahun. Harapan atau mimpi pada usia ke-100 adalah rakyat yang sejahtera, aman, makmur dan maju. Namun, dalam rentang waktu itu juga, banyak hal bisa terjadi dan mengubah lanskap kehidupan manusia. Revolusi Digital 4.0, pandemi Covid-19, dan masalah kesehatan, persaingan antarnegara, adalah contoh betapa perubahan itu akan terus terjadi.
Betapapun sumber daya alam melimpah, jika tidak didampingi sumber daya melimpah yang berkualitas, tidak akan berarti apa-apa dan tidak berdaya guna.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang di awal kemerdekaan memiliki kondisi dan situasi yang tidak lebih baik daripada Indonesia, kemajuan didapatkan karena pembenahan besar-besaran di bidang pendidikan dan kesehatan. Mereka memastikan generasi mudanya mendapatkan gizi yang baik sejak masih dalam kandungan, mendapatkan pendidikan yang terjamin, selain membangun infrastruktur dan teknologi.
”Betapapun sumber daya alam melimpah, jika tidak didampingi sumber daya melimpah yang berkualitas, tidak akan berarti apa-apa dan tidak berdaya guna,” kata Agus.
Dalam sesi diskusi, menurut Agus, sebuah peta jalan (road map) mungkin bukan sebagai satu-satunya pendekatan yang diperlukan untuk menuju 2045. Namun, bisa jadi yang diperlukan bangsa ini adalah pilihan-pilihan. Bisa jadi bukan tujuannya yang keliru, melainkan metodologi atau cara yang ditempuh yang kurang tepat.
Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte dalam paparannya mengatakan, merujuk Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2045 akan terjadi berbagai hal seperti persaingan perebutan sumber daya alam, perubahan iklim, hingga perubahan geopolitik. Untuk dapat menghadapi berbagai problem di masa depan itu diperlukan pembangunan sumber daya manusia yang berbasis inovasi. Sebab, hanya dengan itu, dampak berganda akan diperoleh.
Dalam bidang ekonomi, diperlukan ekonomi berbasis inovasi dan ilmu pengetahuan. CSIS mendorong dipenuhinya prasyarat riset dan teknologi untuk menyusun kebijakan yang berbasis bukti dan riset, bukan berbasis uji coba.
Sebab, saat ini, tidak hanya anggaran untuk riset yang rendah, budaya riset masyarakat Indonesia pun masih tergolong rendah. Per satu juta penduduk, jumlah peneliti di Indonesia hanya 89 orang. Demikian pula kontribusi swasta dalam riset di Indonesia juga hanya 25,6 persen.
Baca juga: Rp 14 Miliar Dana Prioritas Riset Nasional Disalurkan
Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada tantangan atau kerapuhan sistemik berupa bencana alam. Karena bencana, sebuah pencapaian bisa musnah seketika. ”Solusi kami, apa pun yang kita lakukan, di bidang sosial, politik, science, semua harus berbasis pada riset dan teknologi agar apa pun kebijakan yang diambil itu well informed decision," ujar Philips.
Dalam sesi diskusi, Philips mengingatkan bahwa persoalan kepemimpinan bukanlah merujuk pada satu orang, melainkan kemampuan setiap orang untuk memimpin dirinya sendiri. Philips pun mengajak untuk terus membangun institusi demokrasi. Sebab, melalui institusi demokrasi, berbagai kepentingan yang tarik-menarik dapat dikelola.
Akar korupsi
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, merujuk pada gagasan pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, kebijakan pembangunan sering kali terasa bias terhadap Jakarta dan Jawa. Sementara suara masyarakat di daerah perbatasan belum banyak didengar.
Salah satu kegelisahan yang tecermin dalam buku Indonesia Menuju 2045 adalah persoalan korupsi. Mengutip perkataan Jakob Oetama, Budiman mempertanyakan apakah akar korupsi karena kultur feodalisme yang begitu berakar sehingga tidak bisa membedakan antara milikmu dengan milikku. Sebab, masalah korupsi sudah ada sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) hingga saat ini.
”Apakah impian Indonesia yang sejahtera itu bisa dilakukan jika korupsi tetap merajalela? Dalam perjalanan-perjalanan ekspedisi Kompas ke sejumlah tempat, bertemu banyak orang, bertemu calon-calon bupati, biaya menjadi bupati di sebuah kabupaten itu bisa Rp 300 miliar dan itu adalah panggung belakang politik yang sangat mahal. Kalau itu tidak dikoreksi, apakah mimpi-mimpi bersama 2045 bisa diwujudkan? Mimpi kesatuan, mimpi kesejahteraan, dan mimpi-mimpi yang lain,” tutur Budiman.
Budiman sepakat bahwa membangun manusia Indonesia adalah kunci besar. Hal yang diperlukan adalah mendesain visi pendidikan Indonesia yang tidak hanya sekadar mengubah bentuk, tetapi tidak menjaga keajegan atau kontinuitas.
Warga Peduli dari Komunitas Tetap Merah Putih, Cecilia Sumarlin, mengatakan, sejak 2013 hingga sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah lagi mencapai 6 persen. Pada 2019, Indonesia baru saja mendapatkan status sebagai negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income. Namun, karena pandemi Covid-19, status Indonesia turun kembali menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah atau lower middle income. Padahal, untuk mencapai negara berpendapatan menengah ke atas Indonesia memerlukan waktu 40 tahun.
Demikian pula terkait bidang pendidikan, persoalan kualitas pendidikan bukan soal perbedaan antara sekolah di Jawa dan luar Jawa, tetapi secara lebih spesifik adalah antara sekolah di DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta. Sebagai contoh, dari 100 sekolah menengat atas (SMA), 47 di antaranya berada di DKI Jakarta.
Bagaimana membela suatu pendapat bukan secara emosional, tetapi ilmiah, ini yang kita kehilangan. Bangsa kita mudah sekali berbelok dan tidak fokus.
Dalam sesi pandangan dari penanggap, seniman Nyoman Nuarta berpandangan, berkaca pada lompatan kemajuan yang dilakukan Korea Selatan, salah satunya adalah karena mereka fokus dan gigih. Sementara, lanjut Nyoman, orang di Indonesia sibuk mengurus agama namun abai terhadap alam pemberian Tuhan.
”Bagaimana membela suatu pendapat bukan secara emosional, tapi ilmiah, ini yang kita kehilangan. Bangsa kita mudah sekali berbelok dan tidak fokus. Itu yang saya lihat,” kata Nyoman.
Sejarawan Anhar Gonggong berpandangan, hal yang menentukan pada masa depan adalah pendidikan. Jika tidak ditemukan suatu sistem yang sesuai, mimpi besar untuk 100 tahun Indonesia hanya akan berada di angan.
Anhar pun mengingatkan persoalan Papua yang tidak akan pernah selesai jika tidak mencari jalan keluar yang memanusiakan. Ia pun meminta agar setiap orang Papua dihargai dan dimanusiakan sebagai bagian dari Indonesia.
Baca Juga: Ego Sektoral Hambat Pembangunan Papua
Menurut anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Emil Salim, ketika negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang memiliki tokoh pembaru yang membawa bangsanya maju, Indonesia belum memiliki tokoh seperti itu. Demikian pula terkait dengan korupsi yang merajalela, sebenarnya yang lebih diperlukan adalah kemauan politik dari partai politik dan pemimpin bangsa untuk mengadakan pembaruan.
Anggota Dewan Pengawas Yayasan WWF Indonesia, Natalia Soebagjo, berpandangan, buku-buku Indonesia Menuju 2045 memberikan gambaran mengenai peluang sekaligus memperlihatkan tantangan atau pekerjaan rumah yang besar. Menurut Natalia, diperlukan kepemimpinan politik bangsa yang berpihak pada yang lemah dan berpijak pada visi jangka panjang.
”Tapi, keberpihakan pemerintah tidak bisa tercapai kalau democratic institution tidak dijaga. Democratic institution penting sekali untuk dijaga integritasnya, bersih, bebas dari korupsi, akuntabel, dan mendengar suara rakyat.
Menurut Alissa Wahid, proses pembangunan sebuah bangsa harus terus-menerus dilakukan, bukan semata bonus. Alissa memandang, transformasi sosial dengan berdasarkan pandangan agama saat ini menjadi proses transformasi nilai yang dominan.
Terkait dengan penyelenggaraan negara, lanjut Alissa, permasalahan dalam pemerintahan adalah pendekatan teknokratis yang tidak berbasis data atau data yang ada merupakan data yang dipilih, serta tidak berorientasi pada hasil. Kegiatan yang dilaksanakan tidak berorientasi pada rakyat, tetapi yang penting adalah sudah melaksanakan kegiatan. Melihat kenyataan tersebut, salah satu tantangan ke depan adalah pada strategi pelaksanaan dalam rangka Indonesia menuju 2045.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat berpandangan, masalah agama di Indonesia sangat instrumental dan vital di ranah kultural. Namun, belakangan, agama yang bersifat moral-spiritual dikapitalisasi dan menjadi bagian dari oligarki. Jika pemerintah tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan, masyarakat di bawah dapat membentuk satu gerakan populisme agama karena kekecewaannya terhadap negara.
Di sisi lain, lanjut Komaruddin, dalam konteks kebhinekaan, Indonesia terbentuk bukan hanya dari berbagai etnis, melainkan kerajaan atau kekuasaan kecil di berbagai daerah yang rela bergabung menjadi Indonesia. Mereka berharap akan datangnya keadilan dan kesejahteraan dengan bergabung ke Indonesia.
”Maka, bagaimana kita mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Kalau tidak energi kita banyak terbuang untuk menjaga hal-hal itu,” kata Komaruddin.