Ego Sektoral Hambat Pembangunan Papua
Badan khusus untuk menangani Otsus Papua diusulkan dibentuk. Pembangunan bisa lebih terkoordinasi, termasuk pengawasannya.
JAKARTA, KOMPAS – Akuntabilitas pengelolaan dana Otonomi Khusus Papua menjadi persoalan pelik dan mesti dicarikan solusinya untuk memastikan dana tersebut mampu mengungkit kesejahteraan, khususnya bagi orang asli Papua.
Usulan membentuk badan khusus yang mengawasi dan mengurusi pelaksanaan Otsus Papua mengemuka di internal Panitia Khusus RUU Otsus Papua DPR. Selain itu, ada dorongan untuk memperbaiki tata kelola manajemen dana Otsus Papua, sejak dari pencairan di pemerintah pusat maupun implementasi pemanfaatannya di pemerintah daerah.
Ketua Pansus RUU Otsus Papua DPR, Komarudin Watubun, mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan mengundang pihak-pihak terkait guna menampung aspirasi dari mereka, terutama dari perwakilan rakyat Papua dan Papua Barat mengenai draf RUU Otsus Papua. Sekalipun memasuki masa reses, Pansus meminta izin kepada pimpinan DPR untuk dapat mengagendakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan perwakilan rakyat Papua, seperti Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua, serta pemerintah daerah.
Selain itu, lembaga-lembaga lain akan diundang untuk membicarakan soal Otsus Papua ini. Lembaga yang akan doundang antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kejaksaan, kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan, dan berbagai kementerian terkait seperti kementerian ekonomi, kementerian pendidikan dan kebudayaan, serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Baca juga: RUU Otsus Papua Belum Wakili Aspirasi Daerah
“Pihak-pihak akan kami dengarkan, terutama dari rakyat Papua, serta pihak-pihak terkait itu supaya kita tahu secara komprehensif, bagaimana lembaga-lembaga sektoral itu menangani Papua. Serta apa masukan mereka untuk perbaikan Otsus Papua,” kata Komarudin, saat dihubungi, Minggu (11/4/2021) dari Jakarta.
Idealnya, menurut Komarudin, ada badan khusus di bawah presiden langsung yang menangani Otsus Papua itu, sehingga pelaksanaannya menjadi lebih terkontrol. Sekalipun selama ini telah ada desk-desk atau tim kerja khusus di setiap kementerian dan lembaga terkait dengan kesejahteraan di Papua, tetapi ego-sektoral kerap menjadi persoalan dalam penuntasan masalah. Dengan adanya satu badan khusus, setiap program pembangunan terkait Papua, yakni yang berbasis pada UU Otsus Papua, diharapkan akan lebih terkoordinir dengan baik, termasuk dalam pengawasan pelaksanaannya.
“Idealnya mesti ada satu badan khusus di bawah presiden untuk melakukan berbagai tugas ini, mulai dari pengawasan, edukasi, sosialisasi, sehingga saya kira akan lebih terkontrol. Sebab, selama ini ego-sektoral menjadi kendala. Desk-desk yang mengurusi Papua tersebar di berbagai kementerian, dan menghabiskan banyak uang hanya untuk mengurusi desk-desk itu. Tetapi tidak banyak mengurusi hal-hal substansial di Papua. Kalau ada badan khusus, semoga persoalan ego-sektoral ini bisa diatasi,” kata Komarudin yang juga anggota Frakasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Menurutnya, ego-sektoral yang kuat juga menunjukkan besarnya organisasi yang terlibat dalam urusan Papua. Dengan adanya satu badan khusus, organisasi itu akan lebih sederhana, sehingga kerjanya semakin efektif, dan tidak banyak anggaran terbuang. Hanya saja, usulan badan khusus ini masih belum dibicarakan lebih jauh dengan pemerintahan, serta dalam rapat pansus secara formal.
“Itu idealnya demikian, ada badan khusus. Tetapi saya pastikan nanti teman-teman di Papua juga akan memberikan masukan terkait dengan pelaksanaan Otsus Papua ini. Namanya juga usulan dan saran, tujuannya supaya lebih fokus tangani persoalan Papua,” kata Komarudin.
Menurut anggota Komisi II DPR itu, pansus akan terbuka dalam menerima masukan dan saran, serta memasukkannya sebagai bahan pertimbangan fraksi-fraksi dalam menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Selanjutnya, DIM yang disusun Pansus RUU Otsus Papua itu akan dijadikan bahan pembahasan dengan pemerintah selaku inisiator RUU.
Terkait dengan penyusunan draf RUU itu, menurut Komarudin, itu adalah kewenangan pemerintah. Diakuinya, selama ini terkesan ada komunikasi yang tidak terlalu bagus antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua. Pasalnya, pemerintah telah mengirim surat perihal akan dilakukannya revisi terbatasa terhadap UU Otsus Papua sejak 2019. Dalam surat itu, pemerintah melalui Kemendagri mengharapkan ada aspirasi dan masukan dari Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat, termasuk DPR Papua dan MRP.
“Akan tetapi, yang merespons hanya Pemprov Papua Barat. Adapun Pemprov Papua tidak merespons, dan membuat surat tentang perlunya UU Otsus Papua Plus. Di situ saya melihat ada komunikasi yang kurang baik,” ujarnya.
Revisi terbatas di dalam draf RUU Otsus Papua yang diajukan oleh pemerintah meliputi dua pasal, yakni Pasal 34 tentang dana Otsus Papua yang naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasu umum (DAU) nasional, serta Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.
Baca juga: Perbaiki Tata Kelola Dana Otsus Papua
Tim terpadu
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, sebagai realisasi Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat, pemerintah juga mengeluarkan Keppres No 20/2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat, dan membentuk tim hukum meneliti penggunaan dana Otsus Papua.
Sejauh ini pemerintah menilai pembangunan di Papua masih belum efektif. Penyebabnya antara lain situasi keamanan yang tidak kondusif, masih tingginya korupsi dan belum terintegrasinya sejumlah program pemerintah. Untuk itu, Mahfud meminta agar pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara harus lebih ditingkatkan.
“Saya ingin mengatakan, ke depannya pemeriksaan BPK diharapkan lebih bisa terukur karena dana Otsus akan naik. Kemudian aspirasi penegakan hukum sangat kuat disampaikan dari masyarakat. Dan Kerjasama antara pemerintah dengan BPK sangat penting,” ujarnya.
Terkait dengan Papua, Mahfud mengakui masih ada sejumlah isu yang dipersoalkan. Namun pemerintah terus berupaya menyelesaikan persoalan tersebut. Adanya dorongan kemerdekaan Papua dari kelompok separatis, menurut Mahfud hal itu tidak dimungkinkan.
”Ingin kami tegaskan bahwa hubungan Papua dengan NKRI sudah bersifat final. Tidak bisa diganggu gugat, dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan. Sosial, ekonomi, politik dan keuangan sekalipun, akan kita pertahankan,” tegasnya.
Perbaiki tata kelola
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Pansus RUU Otsus Papua dari Fraksi Gerindra, Yan Permenas Mandenas mengatakan, perlu ada perbaikan dalam tata kelola dana Otsus Papua. Salah satu penyebab penyerapan dana otsus belum maksimal ialah karena rantai birokrasi dan mekanisme pertaggungjawabannya yang panjang. Pemerintah juga tidak menyiapkan mekanisme supervisi terhadap penggunaan dana otsus di daerah.
“Tata kelola dana otsus harus dibenahi, dan diatur ke dalam regulasi yang mengikat. Misalnya, soal penyerapan dana otsus 30 persen untuk pendidikan, dan 15 persen kesehatan itu harua benar-benar konsisten. Harus ada regulasi yang mendukung, sehingga dalam 10-20 tahun ke depan harus ada target kemajuan Papua seperti apa,” katanya.
Yan menuturkan, penambahan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen DAU, bukan merupakan masalah bagi elite politik lokal. Sebab, bagi mereka uang yang makin besar itu akan makin menjamin pembiayaan segala kebutuhan mereka. “Daripada begitu, sebaiknya diberikan bantuan tunai saja kepada rakyat Papua. Dengan begitu, transaksi pasar lokal juga hidup,” ucapnya.
Peneliti Tim Pemantau Otsus Papua DPR Riris Katharina mengatakan, hasil kajiannya tahun 2009-2017 menunjukkan, tata kelola dana otsus memang menjadi kendala terbesar. Selama ini, pemerinah tidak membuat mekanisme pertanggungjawaban dana otsus itu secara tegas. Akibatnya, pemanfaatan dana itu tidak dapat dibedakan dengan dana anggaran pendapatan belanja daerah.
“Artinya, kita tidak tahu apakah benar dana otsus itu dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, ataukah yang sebenarnya dipakai itu dana APBD. Karena keduanya membaur dan mekanisme pelaporannya tidak dibuat jelas,” ucapnya.
Baca juga: Evakuasi Guru dan Tenaga Kesehatan di Puncak, Papua Masih Terhambat
Pada satu sisi, ketiadaan mekanisme pertanggungjawaban yang diatur oleh pemerintah, lanjut Riris, dapat dimaknai sebagai adanya pembiaran oleh pusat dalam pengelolaan dana otsus. “Hal ini harus dibenahi di dalam revisi UU Otsus Papua," ujarnya.