Para Penghuni Penjara yang Terlupakan di Masa Pandemi
Kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sudah menjadi persoalan sejak lama. Tak hanya berpotensi menimbulkan kerusuhan, kondisi itu juga bisa memicu penularan penyakit, termasuk Covid-19.
Cerita mengenai penjara yang penuh sesak atau overcrowded bukan merupakan hal baru di republik ini. Persoalan kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara sudah terjadi di awal tahun 2000-an. Berulang kali masalah tersebut dibahas di dalam rapat-rapat parlemen dengan mitra kerjanya, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Namun, realitasnya, hingga saat ini masalah kelebihan penghuni di penjara belum juga terurai. Masih bisa dijumpai sel berukuran 3 meter x 5 meter yang idealnya hanya diisi tiga tahanan atau narapidana, tetapi harus dihuni oleh 20 orang. Alhasil, tidur pun harus dilakukan secara bergantian. Padahal, standar hunian sebuah sel seperti ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah luas kamar dibagi 5,4. Artinya, jika luas kamar sel 15 meter persegi, idealnya sel tersebut hanya diisi tiga orang.
Mengenai overcrowding LP/rutan ini diakui oleh Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Muji Raharjo dalam diskusi daring pada 24 Juli 2021. Menurut dia, kelebihan penghuni LP dan rutan merupakan isu yang luar biasa. Dari tahun ke tahun, jumlah penghuni LP dan rutan bertambah. Bahkan, dalam lima tahun terakhir terjadi lonjakan yang luar biasa.
Overcrowding pun terjadi hampir di seluruh LP dan rutan di Indonesia. Berikut ini adalah 10 LP/rutan yang paling padat penghuninya per April 2021. Pertama, LP Kelas II A Bagan Siapi-api di mana terjadi kelebihan penghuni hingga 1.012 persen, disusul LP Kelas II B Teluk Kuantan 790 persen, LP Kelas II Bireuen 720 persen, LP Kelas IIB Idi 695 persen, LP Kelas IIB Lhoksukon 681 persen, LP Kelas IIA Banjarmasin 652 persen, LP Kelas IIB Kutacane 626 persen, LP Kelas IIA Balikpapan 602 persen, LP Kelas IIB Tebing Tinggi Deli 585 persen, dan LP Kelas IIB Humbang Hasundutan 542 persen.
Ada gangguan di semua kegiatan pembinaan. Juga masalah keamanan dan psikolosi sosial warga binaan bermasalah. Soal kesehatan, kami khawatir ada penularan penyakit. Dari tidurnya saja sudah bermasalah, yang harusnya 1 kamar diisi 5 orang terpaksa diisi 20 orang.
Saat dilihat di situs resmi Ditjen Pemasyarakatan, Selasa (10/8/2021), jumlah penghuni LP dan rutan pada Juli mencapai 269.183 orang. Padahal, kapasitas yang ada hanya 135.361 orang. Artinya, secara nasional, terjadi kelebihan penghuni hingga 133.822 tahanan dan narapidana.
Baca juga: Rutan dan Lapas Balikpapan Kelebihan Penghuni 300 persen
Apa dampak overcrowding tersebut untuk para penghuni LP/rutan. Kelebihan penghuni di penjara akan berdampak pada pemenuhan pelayanan dasar bagi narapidana/tahanan, rasio petugas dengan penghuni menjadi tak optimal, serta berpotensi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. Selain itu, salah satu hal yang tidak mungkin dihindari adalah tingginya potensi penyebaran penyakit menular akibat kepadatan penghuni serta lemahnya kontrol kualitas kesehatan.
”Ada gangguan di semua kegiatan pembinaan. Juga masalah keamanan dan psikolosi sosial warga binaan bermasalah. Soal kesehatan, kami khawatir ada penularan penyakit. Dari tidurnya saja sudah bermasalah, yang harusnya 1 kamar diisi 5 orang terpaksa diisi 20 orang,” ujar Mugiharjo.
Penahanan yang eksesif
Untuk menunjukkan gambaran situasi di LP/rutan, Kompas coba membandingkan jumlah penghuni pada bulan yang sama dari tahun ke tahun. Ada pertumbuhan jumlah narapidana/tahanan yang cukup besar dari waktu ke waktu. Berikut gambaran tersebut:
Tahun | Penghuni LP/Rutan | Kapasitas | Overcrowded |
Desember 2020 | 249.139 | 135.561 | 84 persen |
Desember 2019 | 265.648 | 135.561 | 96 persen |
Desember 2018 | 255.380 | 135.561 | 88 persen |
Desember 2017 | 232.081 | 135.561 | 71 persen |
Desember 2016 | 204.550 | 135.561 | 51 persen |
Desember 2015 | 176.754 | 135.561 | 30 persen |
Lantas, apa yang membuat penjara semakin penuh dari tahun ke tahun?
Peneliti The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, berpandangan, salah satu permasalahan yang cukup mendasar dan berperan besar dalam masalah kelebihan kapasitas di LP dan rutan adalah situasi penahanan yang cukup ekseskif. Berdasarkan kajian ICJR, sepertiga penghuni LP dan rutan saat ini adalah tahanan, yakni para tersangka atau terdakwa yang belum diputus bersalah dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Pada Juni 2021, jumlah tahanan di LP dan rutan mencapai 54.113 orang. Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang ditahan di sel-sel kantor kepolisian dan kejaksaan mengingat datanya sulit didapat.
”Kalau kita lihat di KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), penahanan itu tidak bersifat wajib. Tetapi dalam praktiknya, untuk tersangka yang dijerat dengan pasal yang ancaman pidananya di atas 5 tahun, maka orang akan ditahan,” ujarnya.
Alternatif-alternatif lain selain penahanan belum cukup diefektifkan, misalnya penangguhan penahanan, tahanan kota, dan tahanan rumah. ”Ketika penahanan sudah diberikan, maka dapat dipastikan hukuman yang diberikan adalah hukuman penjara. Ini meneruskan lingkaran atau siklus LP dan rutan yang terus penuh,” kata Maidina.
Baca juga: Percepatan Pembebasan Napi Dinilai Belum Cukup Atasi Persoalan Kapasitas Lapas
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) RM Dewo Broto Joko P sepakat bahwa saat ini masih sedikit aparat penegak hukum yang menggunakan jenis penahanan alternatif. Padahal, Pasal 22 Ayat (1) KUHAP menyebutkan, selain penahanan rutan, penahanan dapat dilakukan dengan penahanan rumah dan kota.
Alternatif-alternatif lain selain penahanan belum cukup diefektifkan, misalnya penangguhan penahanan, tahanan kota, dan tahanan rumah.
Hal ini tecermin dalam data penahanan di Bareskrim Polri per April 2021. Data itu menunjukkan, jumlah tahanan di seluruh Indonesia mencapai 36.253 orang. Dari jumlah tersebut, 36.179 orang atau 99,79 persen ditahan di rutan. Adapun yang mendapatkan alternatif penahanan hanya 0,21 persen dengan rincian penangguhan penahanan 58 orang, tahanan rumah 5 orang, dan tahanan kota 11 orang.
Baik Maidina maupun Dewo menyoroti tentang banyaknya pengguna narkoba yang ditahan. Seharusnya, pengguna narkoba dikirim ke panti rehabilitasi. Hal ini setidaknya terlihat dari mendominasinya pelaku kasus narkoba di LP dan rutan. Bahkan, LP/rutan bahkan tak mampu menampung seluruh tahanan dan napi kasus narkoba.
Ini karena jumlah tahanan dan narapidana kasus narkotika di Indonesia mencapai lebih dari 138.000 kasus. Padahal, total kapasitas LP dan rutan di seluruh daerah di Indonesia hanya 135.561 orang. Dari jumlah napi dan tahanan kasus narkoba itu, 52.274 orang atau hampir menyentuh 40 persen terkategorikan sebagai pengguna. Sementara jumlah bandar narkotika sekitar 85.000 orang.
Bappenas, kata Dewo, mendorong Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk membangun pusat rehabilitasi berbasis masyarakat. Namun, usulan itu terganjal ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU itu mengatur, hanya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial yang punya kewenangan untuk melakukan rehabilitasi.
Pemerintah sebenarnya punya perhatian terhadap persoalan kelebihan kapasitas di LP dan rutan. Dalam rapat terbatas pada Mei 2018 dan Maret 2020, menurut Dewo, pemerintah telah memutuskan sejumlah langkah, salah satunya menambah kapasitas LP/rutan. Pada 2021, pemerintah membangun tiga LP, dua di antaranya berada di Pulau Nusakambangan.
Sebanyak Rp 2,8 triliun telah dikeluarkan pemerintah untuk kebutuhan pembangunan dan renovasi LP/rutan pada periode 2015-2020. Pada periode berikutnya, masalah overcrowding juga telah dicantumkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024 dengan mengedepankan penerapan keadilan restoratif. Dengan pendekatan itu, diharapkan ada alternatif pemidanaan dan juga penahanan. Pemenjaraan harus dipandang sebagai the last resort atau pilihan paling akhir yang dapat dilakukan untuk tersangka ataupun terdakwa.
Kondisi pandemi
Penularan tidak dapat dihindari meskipun banyak upaya yang kita lakukan, seperti larangan kunjungan secara langsung. Namun, ada potensi (penularan) dari petugas yang pulang ke rumah dan kondisi di dalam (LP/rutan) berimpit-impitan. Namun, meskipun banyak yang terpapar, sebagian besar dapat sembuh dengan adanya koordinasi dengan dinas kesehatan, penerapan protokol kesehatan, rujukan ke rumah sakit, bahkan pemisahan blok.
Pada masa pandemi ini, penghuni LP dan rutan tidak lepas dari paparan virus korona baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Covid-19. Hingga 5 Agustus 2021, terdapat 9.356 kasus positif Covid-19 terkonfirmasi di LP dan rutan. Sebanyak 7.419 kasus di antaranya sudah sembuh.
”Penularan tidak dapat dihindari meskipun banyak upaya yang kita lakukan, seperti larangan kunjungan secara langsung. Namun, ada potensi (penularan) dari petugas yang pulang ke rumah dan kondisi di dalam (LP/rutan) berimpit-impitan. Namun, meskipun banyak yang terpapar, sebagian besar dapat sembuh dengan adanya koordinasi dengan dinas kesehatan, penerapan protokol kesehatan, rujukan ke rumah sakit, bahkan pemisahan blok,” kata Reynhard Silitonga, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, dalam siaran pers 5 Agustus 2021.
Kondisi LP dan rutan yang kelebihan penghuni membuat tingkat penularan mengkhawatirkan. Meskipun angka overcrowding turun beberapa waktu lalu, pada Juni 2021, kelebihan penghuni di LP dan rutan mencapai 101 persen. Artinya, LP dan rutan menampung dua kali lipat dari kapasitas yang tersedia.
Ditambah lagi, jumlah tenaga kesehatan yang tidak memadai. Pada Maret 2020, jumlah tenaga kesehatan di LP dan rutan se-Indonesia 1.083 orang. Artinya, rasio tenaga kesehatan dengan penghuni LP dan rutan menjadi 1:249. Pada bulan Juni, jumlah tenaga kesehatan berkurang menjadi 739 orang sehingga seorang tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan kesehatan kepada 369 napi/tahanan. Angka tersebut terus bergerak pada Juli 2021 di mana rasio tenaga kesehatan dengan penghuni LP/rutan menjadi 1:278.
Mugiharjo mengatakan, tidak setiap LP/rutan memiliki dokter atau paramedis. ”Sebagian besar LP/rutan se-Indonesia belum punya dokter atau paramedis. Kalau ada dokter, paramedis tidak punya. Atau kalau ada paramedis, dokter tidak punya. Bahkan, ada yang dua-duanya tidak punya. Oleh karena itu, kami perlu kerja sama dengan puskesmas untuk pelayanan kesehatan,” ujarnya.
Mengenai biaya perawatan kesehatan narapidana/tahanan, menurut Mugiharjo, setiap orang dijatah Rp 25.000. Dana tersebut digunakan untuk Rp 10.000 untuk biaya opname, Rp 10.000 untuk membeli bahan pakai habis, seperti obat-obatan, dan Rp 5.000 untuk honor tenaga medis.
Dalam situasi pandemi Covid-19 yang merebak di Tanah Air, Ditjen Pemasyarakatan sudah membuat prosedur standar operasi untuk dilaksanakan di tiap-tiap LP/rutan. Menurut Mugiharjo, berbagai langkah antisipasi penyebaran Covid-19 di LP/rutan sudah dilakukan, misalnya penerapan protokol kesehatan secara ketat dan penyemprotan berkala. Ruang isolasi untuk penghuni LP/rutan yang positif Covid-19 juga disiapkan.
Selain itu, protokol kesehatan yang ketat juga diberlakukan bagi narapidana/tahanan baru. Suhu badan tahanan/narapidana baru tidak boleh melebihi 37,5 derajat celsius. Jika lebih dari itu, petugas LP/rutan akan menolak tahanan/napi tersebut. Mereka juga diwajibkan melakukan isolasi mandiri hingga 14 hari, serta hanya menerima narapidana yang sudah inkrah.
”Yang paling utama, bagaimana kita sejak tahun 2020, sekitar bulan Maret atau April, sudah melakukan langkah progresif, yaitu menunda atau membatasi bahkan menyetop kunjungan. Petugas memfasilitasi komunikasi secara virtual,” ujarnya.
Program vaksinasi bagi narapidana dan tahanan pun sudah mulai dilakukan. Menurut Mugiharjo, ada beberapa kendala yang dialami saat program ini dilakukan, yaitu belum memiliki nomor induk kependudukan (NIK). ”Ada di beberapa wilayah walau tidak ada NIK, mereka tetap bisa divaksin karena kita bisa meyakinkan kepada seluruh pihak yang berwenang bahwa data SDP (system database pemasyarakatan) menjadi data yang paling benar. Artinya, di situ tidak ada dobel nama,” ujarnya.
Dalam masa pandemi ini, Direktorat Pemasyarakat Kemenkumham telah berupaya untuk mengurangi jumlah penghuni LP/rutan dengan ”merumahkan” para tahanan. Kemenkumham telah mengeluarkan sejumlah ketentuan untuk mendukung hal tersebut, seperti Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020 terkait pemberian asimilasi dan hak integrasi napi dan anak, Permenkumham No 32/2020 terkait pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat. Alhasil, 74.538 orang mendapatkan hak-hak tersebut, termasuk cuti untuk mengunjungi keluarga.
Sementara pemberian asimilasi sejak April 2020 hingga kini sudah mencapai 92.470 orang. Pengurangan overstay juga sudah dilakukan untuk 28.000 tahanan yang sudah melebihi masa penahanannya dilakukan pembebasan demi hukum.
”Program yang kami buat ini, katakanlah sejak April 2020, sudah membantu pengurangan hampir 92.000 orang ini, tetapi secara grafik mengenai kepadatan isi tetap over kapasitas. Artinya, solusi-solusi ini tidak bisa dipecahkan sektoral, tetapi semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, yang terkait menjalankan kewenangannya,” ujar Mujiharjo.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menilai, persoalan kelebihan penghuni di penjara tidak mungkin diselesaikan dengan pendekatan sektoral, tetapi harus melalui pendekatan sistemik. Ia mengusulkan agar pemerintah, dalam hal ini presiden beserta para pembantunya, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Hukum dan HAM; Jaksa Agung; dan Kepolisian Negara RI; serta Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk duduk bersama-sama membahas overcrowding di LP/rutan.
”Persoalan ini sudah ada 2004. Jadikan pandemi sebagai trigger untuk mengimplementasikan apa-apa-apa yang sudah direncanakan,” ujarnya.